Mohon tunggu...
Rooy Salamony
Rooy Salamony Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya pelayan masyarakat rooy-salamony.blogg.spot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hutangku Pada Mbah Putri

7 Agustus 2013   19:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:31 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu berlalu begitu cepat. Mungkin sekarang sudah dua atau tiga tahun. Aku lupa. Kelupaan yang fatal. Karena akibat kelupaanku, Mbah Putri diam dalam penantian dan harapan. Semoga beliau bisa memaafkanku.

Kisahnya bermula dari ketidaksengajaan berkembara di situs pencari google. Aku menemukan nama S.Mundingsari, pengarang buku “Manusia Sebagai Pengarang”. Tertera disana nama penerbit, dan tahun 1953 ditandai sebagai tahun penerbitan. Pada halaman selanjutnya ditemukan karya-karya Mundingsari lainnya: Sastera dan Filsafat Tionghoa serta Djaja Widjaya.

Aku menceritakan “temuan” itu pada istriku. Ia girang bukan kepalang. Mundingsari adalah kakek istriku. Ibu mertuaku dilahirkan sebagai anak kedua pengarang yang terkenal pada masanya itu. Sejak kami berpacaran, istriku selalu berkisah tentang sang Mbah Kakung. Betapa ia bangga menjadi cucu Mundingsari. Betapa keras sistim pendidikan dan pengasuhan yang diwariskan. Betapa liat disiplin yang diajarkannya. Betapa pandai dia dimata cucu-cucunya. Aku mendengar penuh kagum. Aku pernah membaca karya Mundingsari saat duduk di bangku SD. Tapi aku tidak pernah bermimpi menjadi bagian dari keluarga pengarang terkenal ini.

Sepotong Asa

Kisah penemuan nama dan daftar karya Mundingsari diceritakan istriku pada Mbah Putri saat kami bertemu di Rembang. Mbah Putri sekarang tinggal di Rembang bersama Ibu mertuaku. Usia lanjut dan kesehatan menjadi pertimbangan pindahnya beliau dari Purwokerto ke Rembang.

Mendengar cerita istriku, Mbah Putri memberi respons positif. Beliau bangga bahwa nama suaminya tetap berjejak di bumi para pengarang. Suatu pagi Mbah Putri bercerita tentang kisah hidupnya bersama Mbah Kakung. Kisah perjuangan sepasang pengarang. Mereka hidup dari cerita, sekaligus menghidupkan dunia cerita. Aku baru tahu bahwa pengarang yang bernama Sri Waluyati Sandi adalah Mbah Putri-ku. Aku salah satu penikmat karyanya saat sekolah dulu. Sekarang aku duduk dihadapannya. Mendengar kisah hidupnya yang tak kalah seru dari karya-karyanya.

Di ujung percakapan kami, Mbah Putri berjanji akan menulis surat. Aku memang menerima surat itu beberapa waktu kemudian bersama beberapa buku hasil karya Mbah Putri dan Mbah Kakung. Selanjutnya, aku berjanji untuk membuat salinan dan membawa salinan surat kepada penerbit.

Mbah Putri tidak mengharap royalti atas karya-karyanya dan karya sang suami dari penerbit. Ia hanya meminta agar ia diakui. Lebih dari itu, ia mengharapkan ada penerbit yang mau mempublikasikan lagi goresan penanya. Juga karya-karya Mbah Kakung yanng masih tersimpan.

Aku masih ingat, Mbah Putri bekerja dengan sebuah mesin ketik. Kemana-mana mesin itu ditentengnya. Beliau beralasan, lebih praktis menggunakan mesin ketik. Mata beliau tidak lagi kuat menerima cahaya dari screen laptop dan PC.

Hutang Tak Terbayar

Aku membawa surat Mbah Putri. Sesampai di Jakarta, aku tidak langsung membuat salinan (copy) dan mengantarnya. Aku pikir, akan ada waktu yang tepat untuk melakukan semua hal itu. Namun semua yang terpikir lebur bersama aktivitasku. Surat itu sendiri entah berada dimana kini.

Hari ini, tanpa sengaja, aku menemukan lagi surat Mbah Putri. Bukan asli. Salinannya. Salinan yang disimpan adik iparku. Aku baru ingat bahwa beliau memang mengamanatkan surat itu pada semua kami cucu-cucunya. Aku membuka. Terkejut. Betapa berdosanya aku. Selama ini aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkan Mbah Putri. Aku bahkan tidak mengenalnya lebih dalam dari apa yang digoreskannya dengan indah dalam rangkaian huruf-huruf suratnya. Betapa aku menumpuk hutang janji pada Mbah Putri. Apa yang kukisahkan selanjutnya adalah ringkasan dari surat Mbah Putri.

Pengarang yang Terlupa

Dilahirkan dengan nama Siti Sundari pada 13 Juni 1934 di Prambanan, putri dari pasangan Rng.Suryokusumo dan Suratmi ini ditakdirkan menjadi pengarang. Setelah tamat S.R tahun 1946, ia melanjutkan ke Taman Dewasa, lalu masuk S.M.A.A Negeri Semarang dan lulus tahun 1954.

Lulus sekolah, Siti Sundari bekerja sebagai wartawan freelance. Ia menulis pada beberapa majalah dan surat kabar sebelum menjadi bekerja di bagian majalah Perpustakaan Negara dari tahun 1956 hingga 1958. Tahun 1957, Balai Pustaka Jakarta menerbitkan bukunya yang pertama “Jurnalistik dari Praktek”.

Pada 8 Nopember 1971, Siti Sundari dan keluarga pindah dari Semarang ke Purwokerto. Tahun 1972, ia menulis cerita “Saya Pilih yang Seminggu Paman” dan diikutkan dalam sayembara nasional tahun buku internasional 1973. Pengarang dengan beberapa nama samaran ini mendapatkan penghargaan panitia atas karyanya itu. Kisah “Saya Pilih yang Seminggu Paman” masih dicetak Balai Pustaka hingga cetakan ketiga, 1988.

Tahun 1974, Sundari menulis kisah “Bebek yang Pandai Menari.” Pada tahun yang sama terbit pula rangkaian karyanya: “Boneka dari Hutan”, “Rahasia Villa di Cigombong” dan “Sapi Keramat”. Bertenaga kuda, Sundari melemparkan lagi satu buah karyanya di tahun itu, “Si Gambir Menjelajah Dunia.”

Setelah itu, karya Siti Sundari membanjiri ruang sidang pembaca. Tahun 1975 terbit tulisannya “Oking Bocah Sunda Kelapa”serta “Ranti, si Piatu.” Disusul kemudian kisah yang berjudul “Liburan ke Kampung”. Buku “Menanti Hujan Turun” dan “Beni Rindukan Ibu” juga terbit pada tahun yang sama.

Penerbit Nusa Indah, Ende, menerbitkan karyanya “Petualangan Seekor Bangau” juga pada tahun ini. Dua buah buku lagi terbit pada tahun 1975, menabishkan kemampuan bertutur wanita cantik ini, masing-masing “Kami Juga Ingin Bebas” dan “Toyo si Anak Buangan”. Keduanya diterbitkan dibawah kibaran bendera BPK Gunung Mulia.

Pada tahun 1976, karya Siti Sundari berjudul “Balas Budi si Anak Angkat” diterima pasar. Disusul kemudian buku berikutnya: “Si Ceplok, Anjing yang Membalas Budi”.

Tahun 1977 tidak ada naskah Sundari yang masuk ke penerbit. Baru pada tahun 1978, terbit karyanya “Cici Sahabat Rukmini.” Disusul karya berikutnya: “Kisah sebatang Pohon”. Sundari juga dikenal dengan nama samaran Sri Waluyati Sandi. Apa yang membekas dari karyanya adalah tampilan karakter tokoh dalam ceritanya. Hampir selalu hadir tokong dengan karakter pejuang kehidupan.

Kisah “Si Kembar dari Hutan Legok” menjadi karya ketiga Sandi di tahun 1978. Setelah itu, Sandi mengambil waktu rehat panjang.

Tahun 1981, Penerbit Nusa Indah, Ende, meluncurkan karya Sandi berjudul “Kerak Bumi Batusugih”. Menyusul kisah “Sebatang Kara di Jakarta” dan “Membuka Rahasia Makam Tua.”

Tahun berikutnya, cerita “Detektip Sekolah” dan “Tidak Sebatang Kara” terbit melengkapi karya-karya Sandi.

Sri Waluyati Sandi masih terus bertutur. Pada tahun 1985 karyanya yang berjudul “Pengawal Kecil di Atas Jalan Baja” diterbitkan CV Yasa Guna Jakarta. Karya berikut pada tahun yang sama adalah “Si Jeger Luput dari Maut” dan “Barang Temuan dan Doa”

Setelah tiga karyanya di tahun 1985, Sandi lebih memilih aktif dalam kegiatan kerohanian. Perubahan pasar dan selera bacaan mungkin salah satu alasan kemundurannya. Di sisi lain arah kebijakan negara tidak selalu menguntungkan para penulis. Total, Sandi meninggalkan 33 buah karyanya bagi anak-anak sekolah,remaja, dan para pembaca. Hanya sedikit dari karya-karya itu yang masih tersimpan dalam koleksi pribadinya.

Dari seluruh perjalanan itu, tahun 1975 adalah saat yang paling dikenangnya. Karyanya diikutkan dalam sayembara Kincir Emas Radio Netherland. Menggunakan nama samaran St.Sundari Sandi, ia memenangkan penghargaan yang ditandatangani Prof.Dr.A.Teeuw.

Istri Seorang Pengarang

Siti Sundari atau Sri Waluyati Sandi adalah pribadi sederhana yang setia mendampingi sang suami kemana saja bertugas. Kesulitan seperti penyesuaian diri dengan lingkungan atau belum adanya tempat tinggal tidak pernah dipikirkan. Sabar dan percaya menjadi inti kekuatannya menjalani kehidupan.

Suami Siti Sundari adalah Suparno Mundingsari atau yang lebih dikenal sebagai S.Mundingsari. Setamatdari H.I.S Mundingsari belajar secara otodidak dan selanjutnya bekerja sebagai wartawan. Pada tahun 1952-1956, Mundingsari menjadi wartawan Daulat Rakyat, Semarang. Karir jurnalis dilanjutkannya di koran Sinar Indonesia, Semarang sejak 1956-1962. Mundingsari yang menguasai 6 bahasa ini kemudian menutup karirnya pada tahun 1964 sebagai wartawan di koran Harian Tempo, Semarang, setelah bekerja disana sejak 1962. Laki-laki berdarah Jerman ini pernah menjabat sebagai ketua PWI cabang Semarang periode 1961-1964.

S. Mundingsari dikenal sebagai pengarang lewat karyanya “Himpunan Sajak Tionghoa” yang terbit tahun 1950. Pada tahun 1952, terbit dua buah karya literalnya berjudul “Djaya Widjaya” dan “Manusia Sebagai Pengarang.”

Mundingsari kemudian memilih format cerita bersambung sebagai media penyampaian tutur kepada publik. Tahun 1968, kisah “Kutuk Bonokeling” dimuat oleh Suara Merdeka, Semarang. Berikutnya, pada tahun 1969, Suara Merdeka kembali mempublikasikan cerbung “Sekali Rebut Betawi”. Sementara Harian Angkatan Bersenjata, Semarang menurunkan karyanya berjudul “Nias” pada tahun yang sama.

Tahun 1972, Harian Angkatan Bersenjata Jakarta memuat cerbung Mundingsari berjudul “Dua Kali Merebut Betawi.” Tiga tahun beristirahat, Mundingsari menghadirkan kembali karyanya berjudul “Cita-cita Dadang” dengan menggunakan nama Muncul Waluyadi.S.P. Menyusul pada tahun yang sama dua karyanya, “Man Doblong” dan “Persahabatan yang Tulus.”

Pada tahun 1979 Muncul Waluyadi S.P. menghadirkan lagi karyanya deretan karyanya, masing-masing: “Panji dan Samawi” serta “Sumi Gadis Teladan.” Di tahun ini, terjadi transformasi penting dalam diri Mundingsari atau Muncul Waluyadi. Pilihannya untuk menerima Tuhan secara pribadi di tahun 1975, mungkin merupakan pelecut dari transformasi itu. Meski tidak selalu dihubungkan dengan transformasi dirinya, penyematan nama Suparno Muncul Waluyadi pada karya-karyanya kemudian menjadi bumbu penyedap kisah hidupnya. Penanda paling kuat dari transformasi dirinya ada dalam karyanya yang terbit pada tahun 1979. Cerita dengan judul “Doa Sepanjang Jalan” serta “Jalan tak Bersimpang” nampaknya bertutur soal pengalaman batiniah pengarang.

Tahun 1980, nama Muncul Waluyadi S.P masih ditemukan pada karyanya “Ingin Menjadi Pengarang”. Namun setahun kemudian, kembali hadir nama Suparno Muncul Waluyadi pada karyanya “Kakak yang Setiawan.”

Pada tahun 1982, karya Suparno Muncul Waluyadi berjudul “Theist Aa” hadir menemui pembaca. Roman setebal 414 halaman ini adalah karya serius dalam konteks pencarian Yang Sejati. Paling tidak untuk masa itu. Masih pada tahun yang sama, karya Waluyadi dengan judul “Orang-Orang Tabah”, “Pucuk-Pucuk Harapan” dan “Mutiara Hijau” diterbitkan.

Uniknya, karya Mundingsari dengan judul “Tumbuhan Yang Mengerikan” serta “Jaan Tak Jadi Pulang” diterbitkan pada tahun 1982 dengan nama Muncul Waluyadi S.P.

Tahun 1984, Mundingsari menghasilkan karya berjudul “Sepanjang Jalan Pulang”. Penulis yang juga memenangi penghargaan Cerpen dalam bahasa Indonesia Radio Nederland 1975 ini menggali ide cerita dari pengalaman orang sehari-hari. Sebagian karyanya dengan setting revolusi kemerdekaan adalah campuran dari pengalaman dan ilusi.

Guna mencari ide baru, Mundingsari kerap melakukan perjalanan jauh. Tahun 1983, ia bersama putra sulungnya, Yuswono Bambang Subekti melakukan perjalanan menggunakan Vespa dari Purwokerto ke Pekan Baru. Perjalanan berikutnya menelusuri rute Purwokerto-Banda Aceh. Kali ini, putra bungsunya Yusesono Bonokeling yang diajak serta. Bersama putra bungsunya, Mundingsari kembali ber-vespa menuju Bali. Banyak karya yang dihasilkan dari “touring” itu. Namun pasar buku tanah air sudah jauh berubah. Banyak penerbit yang sudah gulung tikar. Tinggallah naskah itu tersimpan di ruang kerjanya.

Dalam Pelukan Sang Waktu

Aku mengenal Mbah Putri dengan baik baru pada tahun-tahun belakangan ini. Kedatangannya ke Rembang memberi bagiku lebih banyak waktu untuk mengenalnya. Meski pada kenyataannya kita tidak selalu bercerita tentang buku dan karangan. Sementara aku bertemu Mbah Kakung hanya satu atau dua kali. Saat itu beliau sakit dan menginap di rumah Ibu Mertua.

Mbah Putri dan Mbah Kakung merupakan contoh kecil dari para pengarang yang menemukan dunia kekinian dengan citra yang berbeda. Ada banyak pengarang lain yang mungkin mengalami dan merasakan hal yang sama. Perkembangan ilmu pengetahuan, komunikasi, dan teknologi menghadirkan arena berbeda bagi para penulis dan pengarang. Waktu memeluk Mbah Putri dan menunjukan padanya perbedaan dalam dunia yang bergerak cepat. Mbah Putri selalu tersenyum menatap hari ini. Sambil mengenang memori indahnya di masa lalu.

Masa depan tetap menjadi rahasia. Namun waktu akan berganti memeluk setiap pengarang dan penulis untuk memandang hidup yang berubah, yang penuh kisah, sekaligus penuh warna.

Mohon maaf Mbah Putri. Aku mencintaimu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun