Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wona Kaka, "Pahlawan" dari Sumba yang Terabaikan

24 Desember 2017   11:36 Diperbarui: 25 Desember 2017   00:51 2052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SETIAP kali memperingati Hari Pahlawan, sebagaimana tangggal 10 Nopember 2017 lalu, secara refleks selalu ada gejolak sentimentil, mudah-mudahan hanya dirasakan penulis sendiri, berkaitan dengan penghormatan dan penghargaan terhadap para patriot atau pejuang pendahulu kita yang telah berjasa dalam merinstis dan merebut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari cengkeraman kekuasaan bangsa kolonial (penjajah) Belanda dan Jepang. Semacam ada kesan ketidakadilan atau tebang pilih, mengingat sampai dengan usia kemerdekaan NKRI yang sudah lebih dari 72 tahun ini, masih saja ada para bunga bangsa kita, yang belum diproses sama sekali untuk diberikan rewardgelar "Pahlawan".

Berkaitan dengan momentum peringatan Hari Pahlawan tahun ini, penulis ingin menguntai catatan sejarah salah satu patriot bangsa dari Pulau Sumba, nusa sandelwood, yang sampai sekarang ini belum ada upaya konkret dari pihak manapun untuk dikaji rekam jejak historis kepahlawanannya, sebelum diproses untuk mendapatkan penghargaan gelar "pahlawan". Patriot dari Pulau Sandelwoodyang dimaksud bernama Wona Kaka.

Wona Kaka

Dalam catatan-catatan lepas dan kisah perseorangan yang ada di Sumba, Wona Kaka dikenal sebagai pemimpin laskar rakyat Kodi atau panglima perang Kerajaan Kodi ketika pecah perang antara rakyat Kodi dan kolonial (penjajah) militer Belanda yang sedang menduduki Pulau Sumba. Kini bekas Kerajaan Kodi itu, telah mekar menjadi empat kecamatan yaitu Kodi, Kodi Mbangedo, Kodi Utara, dan Kodi Balagahar, di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Sampai saat ini, nama Wona Kaka ini sangat tersohor, harum dan legendaris, tentu saja masih dalam skala lokal wilayah Sumba. Secara regional Nusa Tenggara Timur (NTT) dan nasional, nama Wona Kaka memang belum populer namun dikenal juga oleh orang-orang tertentu yang bertugas di sektor pendidikan dan kebudayaan, karena mereka telah melakukan survei terbatas berkaitan dengan tokoh Wona Kaka dan sejarah patriotismenya.

 Tokoh Wona Kaka ini, secara lokal diakui eksistensinya, sebagai seorang "pahlawan". Wona adalah pariot atau pejuang rakyat Sumba yang sangat disegani dan ditakuti oleh Belanda, karena strategi gerakan perjuangan dan perlawanan dalam perang yang dipimpinnya, terkenal paling "woest atau liar" di daratan Sumba.

Pemicu Pecahnya Perang

Perang antara Wona Kaka dan Belanda pecah pada awal abad XX. Meskipun pemerintah militer Belanda sudah lama menduduki Pulau Sumba, namun pasukan militer Belanda memasuki wilayah Kerajaan Kodi baru pada 1905. Kedatangan Belanda ini, berkekuatan satu detasemen di bawah pimpinan Kapten Dijckman. Sementara Kerajaan Kodi ketika itu berada di bawah kekuasaan Raja Rato Loghe Kanduyo yang bergelar "Hangandi atau Sangaji".

Sejak itulah, militer Belanda serta merta langsung melaksanakan operasi pendudukan, menaklukan dan menguasai, wilayah Kerajaan Kodi. Selama pendudukan militer Belanda ini, dari 1905  sampai 1910,  telah menyebabkan penderitaan baik fisik maupun moril bagi rakyat Kodi. Sehingga melahirkan gerakan perlawanan rakyat Kodi yang direstui oleh Raja Kodi. Kemudian meletuslah perang antara Laskar Rakyat Kodi dan militer Belanda pada 1911.

Ada sekitar enam faktor pemicu yang menyebabkan pecahnya perang tersebut. Pertama, pemecahan kedaulatan wilayah Kerajaan Kodi secara sewenang-wenang oleh Belanda, hanya dengan suatu Korte Verklaring (pernyataan pendek) menjadi dua bagian wilayah kerajaan (Mbangedo yang mencakup Mbalaghar dan Kodi Bokolo).

Kedua, pajak yang sangat berat, berupa mata uang, termasuk mata uang emas poundsterling.Uang bagi rakyat Kodi saat itu adalah barang langka, sehingga tidak mampu membayar pajak. Akibatnya mereka disiksa dengan cambuk dan kurungan. Disamping itu, juga harta milik mereka berupa ternak diambil paksa oleh petugas pajak.

Ketiga, kerja rodi dalam membangun jalan raya, jembatan dan rumah-rumah jabatan Belanja. Kerja rodi ini, dirasakan sangat berat oleh rakyat Kodi. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, peralatan masih tradisional dan waktu yang dibutuhkan sangat lama.

Keempat, penyiksaan terhadap bangsawan Kodi karena tidak bisa menyelam untuk mengangkat batu-batu besar dari dasar sungai sebagai bahan material utama pondasi jembatan Bondo Kodi yang sedang dibangun ketika itu. Peristiwa ini dianggap sebagai penghinaan status sosial bangsawan yang kedudukannya dihormati.

Kelima, perlakuan kasar dan penghinaan terhadap Hangandi Rato Loghe Kanduyo oleh Dijckman, karena Raja Kodi itu memerintahkan rakyatnya berhenti bekerja setelah mengetahui perlakuan militer Belanda terhadap para bangsawan Kodi.

Dan keenam, pemerkosaan terhadap dua orang perempuan Kodi, yang membawa bekal makanan dan sirih pinang untuk suami mereka yang sedang bekerja dalam pembuatan jembatan Bondo Kodi. Perbuatan biadab Belanda Inilah yang menyebabkan timbulnya reaksi spontan dan cepat dari keluarga dua ibu tadi. Sehari setelah peristiwa itu, suami dan keluarga korban, melakukan operasi balas dendam dengan membunuh dua orang prajurit Belanda, yang walaupun bukan pelaku pemerkosaan.

Musyawarah Perang

Perang melawan militer Belanda dipersiapkan melalui masyawarah adat di Parona (kampung adat) Tohikyo, tempat kedudukan Raja Kodi,  Rato Loghe Kanduyo. Musyawarah adat ini, menghadirkan para bangsawan dan tokoh-tokoh pemberani dari berbagai kampung adat sewilayah Kodi.

Dalam musyawarah tersebut, dibentuklah laskar rakyat atau pasukan perang rakyat Kodi. Pemimpin pasukan perang adalah Raja Kodi sendiri. Wona Kaka diangkat menjadi panglima perang, karena bisa menggunakan senjata. Ketika itu Wona Kaka menerima sepucuk senjata api beserta beberapa butir peluru hasil rampasan dari kedua prajurit yang dibunuh tadi. Anggota pasukan perang rakyat Kodi ini bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga ada sejumlah perempuan patriot, diantaranya yaitu Warata Wona, Raya Raya, Tengnge Mbolu dan Dairo Raya Mbeka.

Pasukan rakyat Kodi tersebut mempergunakan peralatan perang tradisional, yaitu tombak, tombak berkait, tamian runcing, pedang, parang, kayu kudung, ali-ali, sumpit dan perisai kulit kerbau. Mereka juga memperlengkapi diri dengan azimat leluhur, sebagai perisai tersembunyi atau obat kebal dari senjata tajam

Perang Terbuka dan Gerilya 

Selama masa perang yang berlangsung dari 1911 sampai 1913, meskipun tidak ada seorangpun yang sekolah, pasukan rakyat Kodi, menerapkan strategi yaitu perang terbuka dan gerilya. Ada enam perang (pertempuran) terbuka yang terjadi antara pasukan rakyat Kodi dan pasukan militer Belanda. Pertempuran pertama dan kedua dipimpin langsung Raja Kodi dan didampingi Wona Kaka. Karena selepas pertempuran kedua, Raja Kodi, telah ditangkap melalui siasat licik perjanjian damai yang ditawarkan Belanda, maka empat pertempuran berikutnya dipimpin Wona Kaka. Namun yang menjadi motor utama dalam enam pertempuran tersebut adalah Wona Kaka.

Dua pertempuran yang dipimpin langsung oleh Raja Kodi yaitu serangan pagi di jembatan Bondo Kodi, markas militer Belanda, dan Benteng Notor Koki. Kini jembatan Bondo Kodi, yang berada di wilayah Kecamatan Kodi, sudah modern, dan Benteng Notor Koki, yang masih tampak kokoh, berada di Kecamatan Kodi Utara.

Sedangkan empat pertempuran yang dipimpin oleh Wona Kaka, yaitu  Benteng Wikit Ndimu, Pahandango Kalulla, Benteng Kawango Wulla, dan Benteng Rambe Manu. Ketiga benteng yaitu Wikit Ndimu, Kawango Wulla, dan Rambe Manu, yang masih kokoh ini, berada di wilayah Kecamatan Kodi Utara. Bahkan Benteng Rambe Manu sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai situs bersejarah. Sedang pertempuran di Pahandango Kallu tidak ada benteng.

Setelah pertempuran di Benteng Rambe Manu, Wona Kaka merubah strategi perangnya dengan sistem Gerilya. Sistim perang gerilya ini memang sangat efektif, termasuk dapat membangun pengaruhnya ke wilayah suku Loura dan Wewewa, sehingga membuat gerakan perlawanan rakyat terhadap Belanda makin meluas.

Dampak Perang

Perang tersebut membawa dampak kerugian yang sangat besar terhadap kedua belah pihak, baik Belanda maupun rakyat Kodi. Pihak Belanda tidak nyaman melaksanakan proses kolonialismenya di wilayah Kodi dan Sumba umumnya, karena banyak anggota pasukannya yang tewas, markas dan logistiknya sering dihancurkan, serta meluasnya gejolak perlawanan rakyat se-Sumba. Sehingga biaya operasi militer Belanda makin meningkat. Sebetulnya Belanda tidak bisa bertahan lebih lama lagi di wilayah Kodi, jika tidak ada beberapa bangsawan dan tokoh orang Kodi, yang memberikan dukungan pasukan dan logistik kepada Belanda, karena dipengaruhi oleh ambisi kepentingan kekuasaan untuk tahta kerajaan.

Sedangkan pihak rakyat Kodi mengalami dampak yang lebih tragis lagi. Harus kehilangan seorang raja karena ditangkap melalui siasat licik perjanjian damai dan meninggal secara tidak terhormat setelah ditawan di Mamboro, pusat pertahanan Belanda, kini termasuk wilayah Kabupaten Sumba Tengah. Juga banyak anggota pasukan rakyat Kodi yang tewas, termasuk isteri Wona Kaka sendiri, sebagai salah seorang patriot perempuan, tewas tertembak peluru pasukan Belanda pada masa perang gerilya. 

Disamping itu, rakyat Kodi umumnya juga mengalami penderitaan kelaparan yang hebat, akibat blokade ekonomi secara ketat yang diterapkan oleh pihak Belanda. Akibat kelaparan yang meluas inilah, yang meluluhkan hati Wona Kaka, sehingga dengan sangat terpaksa menerima tawaran perjanjian damai dari pihak Belanda, yang saat itu dipimpin oleh Letnan Barendzen.

Perjanjian Damai di Lamete

Perjanjian damai antara pihak pasukan rakyat Kodi yang diwakili oleh Wona Kaka dan pihak Belanda yang diwakili oleh Barendzen ketika itu dilaksanakan di Parona Lamete. Perjanjian ini disaksikan juga oleh Raja Kerajaan Kodi yang baru, Rato Ndera Wulla, keponakan dari Hangandi Rato Loghe Kanduyo, dan J. R. Thedens, telik sandi sekaligus utusan Belanda yang berhasil mempengaruhi Wona Kaka untuk melaksanakan perjanjian damai di Lamete. Perjanjian damai ini menghasilkan keputusan untuk melaksanakan upacara deklarasi perdamaian secara terbuka di Bondo Kodi, kini ibukota Kecamatan Kodi.

Deklarasi di Bondo Kodi pada 1913 itu, berubah rupa menjadi momentum penangkapan Wona Kaka dan anggota pasukan laskar rakyat Kodi yang berjumlah 68 orang. Mereka kemudian diangkut dengan kapal laut untuk ditawan di Kupang, ibukota Keresidenan Timor waktu itu, kini ibukota Provinsi NTT. Dari Kupang mereka dibawa ke Surabaya dan selanjutnya dipisah-pisahkan ke berbagai tempat tahanan di seluruh Indonesia dan ada juga yang bergabung dengan pasukan Belanda yang dikenal dengan sebutan Marcuse ketika melawan Aceh.

Wona Kaka sendiri dibuang ke Nusa Kambangan. Kemudian ia dipindahkan ke Sawah Lunto, Sumatera Barat. Di sana Wona Kaka dipekerjakan pada perusahaan tambang batu bara milik pemerintah Belanda. Di tempat inilah, sekitar tahun 1933, Wona Kaka dan para pekerja lainnya meninggal dunia, terkubur di dalam terowongan tambang tersebut yang longsor akibat terjadinya bencana banjir.

Apresiasi Kepahlawanan

Sampai sekarang ini, apresiasi atas patriotisme kepahlawanan Wona Kaka itu, masih bersifat lokal. Hal ini telah dilakukan oleh Yayasan Persekolahan Nusa Cendana, di bawah naungan Keuskupan Waitabula -- Sumba. Nama Wona Kaka dimeteraikan sebagai nama Sekolah Menengah Pertama (SMP) di bawah Yayasan itu, sejak didirikan pada 1 Agustus 1960.  "SMP Katolik Wona Kaka", demikian namanya, yang  beralamat di Desa Homba Karipit, Kecataman Kodi Utara.

Lembaga pendidikan tersebut tampak sangat menghormati jasa-jasa patriotisme kepahlawanan Wona Kaka. Hal ini dibuktikan dengan adanya lagu Mars SMP tersebut dengan nuansa mengelu-elukan tokoh Wona Kaka. Pada tembok depan emper SMP Katolik Wona Kaka, juga terdapat lukisan Wona Kaka, semacam prasasti, yang terbuat dari pahatan semen. Disamping itu, sebagai bahan muatan lokal, di SMP tersebut, juga diajarkan sejarah perjuangan Wona Kaka ketika melawan Belanda.

Demikianlah sedikit gambaran gerakan perjuangan rakyat Kodi yang dimotori oleh Wona Kaka ketika melawan kolonial Belanda ketika itu. Mudah-mudahan tokoh Wona Kaka ini mendapat perhatian yang layak dan patut dari pemerintah daerah dan pemerintah Indonesia untuk diproses menjadi "Pahlawan Perintis Kemerdekaan". Sehingga jasa-jasa patriotisme kepahlawanan Wona Kaka tidak terlupakan begitu saja ditelan jaman. ***

*Penulis, pemerhati sosial dan politik, tinggal di Sumba Barat Daya )

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun