Mohon tunggu...
Robby Anugerah
Robby Anugerah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sejarawan. Penikmat Sastra. Tertarik Pada Analisis Wacana dan Historiografi Indonesia. Blog saya: http://rabianbulan.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sersan Mayor Abdul Muis, Pahlawan yang Dilupakan

9 November 2012   02:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:44 5884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mulai mengenal sosok pahlawan daerah Sersan Mayor (Serma) Abdul Muis ketika mengunjungi Desa Batun Baru, Kecamatan Jejawi, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada tahun 2009 lalu. Kebetulan saat itu, saya terpilih menjadi salah satu peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) IAIN Raden Fatah Palembang yang ke-55 untuk Desa Batun Baru.

[caption id="attachment_215438" align="alignright" width="180" caption="Patung Serma Abdul Muis"][/caption]

Hal menarik yang saya tangkap, sesaat tiba di Desa Batun Baru, adalah monumen patungnya. Monumen patung ini ternyata satu-satunya yang dibangun di Kecamatan Jejawi. Padahal Kecamatan Jejawi mempunyai tujuh desa lainnya. Selama di perjalanan pun mulai dari Palembang sampai memasuki Kecamatan Jejawi yang berjarak kurang lebih 32 km─sama sekali tidak tampak monumen patung selain di Desa Batun Baru. Saya menduga, kemungkinan ada kisah menarik yang melatarbelakangi pendirian monumen patung tersebut. Hanya saja, saya belum mempunyai niatan untuk mendalaminya. Sampai suatu hari saya menemukan fakta bahwa monumen patung yang terlihat kokoh itu kondisinya memprihatinkan.

Setahu saya, monumen adalah bangunan atau tempat yang mempunyai nilai sejarah yang penting dan dipelihara serta dilindungi oleh Negara. Tetapi mengapa monumen patung satu ini pengecualian? Ada beberapa bagiannya yang rusak seperti prasasti peresmian monumen, pagar, dan temboknya. Begitu juga di sekitaran monumen, telah ditumbuhi ilalang dan jamur. Jemuran dan drum-drum warga pun bertumpukan─menambah kesan tidak terawatnya monumen patung tersebut. Akhirnya saya pun mendatangi kepala desa (kades) Batun Baru untuk meminta penjelasan darinya.

[caption id="attachment_215456" align="aligncenter" width="300" caption="Prasasti Peresmian Monumen Pahlawan Serma Abdul Muis yang kondisinya telah rusak."]

13524063031418269379
13524063031418269379
[/caption] [caption id="attachment_215457" align="aligncenter" width="300" caption="Monumen patung Serma Abdul Muis tampak kondisinya memprihatinkan. Pagarnya sudah hilang. Bahkan disekitar lokasi monumen dijadikan tempat menjemur pakaian dan penitipan drum warga."]
135240634848541476
135240634848541476
[/caption]

Ada dua pertanyaan yang saya sampaikan kepada kades Batun Baru yakni Bapak Jailani. Pertama, saya ingin mengetahui siapakah sosok patung tersebut? Kedua, mengapa patung tersebut tidak mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Bapak Kades pun menjelaskan bahwa patung tersebut adalah Serma Abdul Muis. Memang katanya, pendirian patung Serma Abdul Muis untuk mengenang perjuangan warga Batun dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947. Hanya saja, dia mengakui bahwa patung Serma Abdul Muis sudah tidak mendapatkan perawatan lagi sejak 2006─disebabkan persoalan klasik, anggaran desa yang tidak mencukupi. Apalagi Desa Batun Baru statusnya masih desa persiapan, banyak infrastruktur yang harus didahulukan daripada mengurusi sebuah monumen patung. Bapak Kades pun lalu menyarankan kepada saya apabila tertarik lebih lanjut untuk mendalaminya, silahkan bertanya kepada Bapak Amidin, dia adalah bekas anak buah Serma Abdul Muis. Rumah beliau berada di desa sebelah, Desa Muara Batun. Tanpa berlama-lama saya pun segera meluncur untuk menemui orang yang dimaksudkan.

[caption id="attachment_215454" align="aligncenter" width="150" caption="Inilah Bapak Amidin Jailani, bekas anak buah Serma Abdul Muis."]

13524056421091834364
13524056421091834364
[/caption]

Dia bernama lengkap Amidin Jailani, usianya kisaran 80-90 tahun, satu-satunya bekas veteran perang yang masih hidup saat ini, tatkala peristiwa penyerangan pasukan NICA (Netherland Indies Civil Administration─Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) di Desa Muara Batun tahun 1947. Pembawaannya tenang dan pendengarannya pun masih baik di usianya yang tergolong uzur. Saya benar-benar diistimewakan beliau setelah mengutarakan maksud dan tujuan saya menemuinya. Beliau memang sudah lama mengharapkan ada warga atau anak muda datang kepadanya lalu bertanya mengenai monumen patung tersebut. “Tetapi apa boleh buat, warga di sini terutama anak mudanya tidak tahu menahu. Mereka lupa dengan apa yang kami perjuangkan dulu,” sesal Bapak Amidin.

Beliau kemudian mengajak saya untuk melihat beberapa catatan perjuangannya bersama Serma Abdul Muis. Sambil membongkar-bongkar berkas yang tampak sudah lusuh dan menguning, dia lalu menyodorkan sebuah map kepada saya. “Di dalam Map ini ada memoar saya ketika berjuang bersama Serma Abdul Muis, memoar ini jugalah yang akhirnya memprakarsai pendirian monumen patung Serma Abdul Muis tahun 1984,” ujar Bapak Amidin.

[caption id="attachment_215459" align="aligncenter" width="240" caption="Naskah memoar Bapak Amidin saat bertempur bersama Serma Abdul Muis tahun 1947. Tampak naskahnya sudah lusuh dan menguning."]

13524131661791022723
13524131661791022723
[/caption]

Dahulu, bekas prajurit perang (veteran) tahun 1947 di Muara Batun kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Makanya, Bapak Amidin dan kawan-kawan menulis memoar ini untuk mengingatkan kepada mereka (pemerintah) bagaimana kerasnya perjuangan mereka dahulu. Apalagi saya masih ingat betul dengan pesan terakhir Serma Abdul Muis sebelum menjadi martir (mengorbankan diri). Dia bilang agar suatu saat nanti dapat menceritakan bagaimana dulunya ia berjuang. Makanya dia memutuskan menjadi orang yang akan meledakkan jembatan itu bila seandainya tidak dapat lagi mempertahankan Batun,” ucap Bapak Amidin panjang lebar.

Saya pun terdiam dan sedikit terkejut, ternyata kematian Serma Abdul Muis dikarenakan martir. Bapak Amidin pun kemudian melanjutkan dengan memperlihatkan foto-foto saat dan sesudah perjuangan. “Jika kamu pernah ke Monpera (Monumen Perjuangan) di Palembang, kamu akan melihat beberapa foto kami di sana. Bahkan pernah bagian kemuseuman Palembang meminta foto dari saya demi menambah koleksi Museum,” kata Bapak Amidin.

Setelah puas melihat koleksi foto-foto perjuangan Bapak Amidin, saya pun mulai bertanya, bisakah Bapak menceritakan kembali kronologi pertempuran di Muara Batun sampai gugurnya Serma Abdul Muis? “Ya, tentu saja”, jawab Bapak Amidin. “Di dalam Memoar yang saya tulis ini ada, atau diorama di monumen patung itu juga ada, tapi jika kamu ingin mendengarkan langsung dari saya, juga boleh,” kata Bapak Amidin memberi pilihan.

Saya pun memilih mendengarkannya langsung, walaupun sekali-kali terlihat Bapak Amidin membolak-balikan naskah memoarnya saat lupa dengan tanggal peristiwa. Menurut penuturan beliau, pertempuran di Muara Batun tahun 1947 tidak lepas dari kalahnya pertempuran yang ada di Palembang tanggal 1-5 Januari 1947 (atau dikenal pertempuran lima hari lima malam). Di mana setelah Belanda (NICA) mendapatkan kemenangan di Palembang, mereka melanjutkan ke daerah lainnya terutama Kayu Agung, Ibu Kota Kabupaten OKI saat ini. Demi menjaga Kayu Agung itulah, pimpinan militer Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk kawasan Sumatera membentuk suatu brigade tempur.

Dalam peta pertahanan OKI, ada dua klasifikasi daerah yang dianggap menjadi titik rawan pada saat itu. Pertama, dari jalur air yakni sungai Komering dan sungai Ogan. Kedua, dari jalur darat yang ditempuh dalam dua rute. Rute pertama, Palembang ― Rambutan ― Jejawi ― Sirah P. Padang ― Kayu Agung. Rute kedua, Palembang ― Simpang Payakabung ― Kayu Agung. Pengamanan keseluruhan daerah tersebut dilakukan dengan membentuk tiga front, yaitu front tengah, front kanan, dan front kiri.

Di Jalur darat pada rute pertama, Belanda berhasil memukul mundur pasukan Indonesia dari simpang Rambutan. Mereka menjadikan Rambutan sebagai pertahanan sebelum bergerak ke Kayu Agung. Setelah itu mereka maju kembali masuk ke dusun Lingkis pada tanggal 23 Januari 1947. Ketika memasuki Lingkis, pasukan Belanda diserang secara frontal oleh pasukan Indonesia. Sehingga pasukan Belanda terpaksa mundur dan kembali ke Simpang Rambutan. Sedangkan pasukan Indonesia sendiri mundur ke Muara Batun untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Belanda yang kedua.

Akhirnya setelah memiliki perencanaan yang matang, pasukan Belanda memasuki kembali dusun Lingkis. Kali ini mereka membawa amunisi lebih banyak dan modern dari sebelumnya. Dengan adanya dukungan senjata seperti itu, pasukan Belanda berhasil menduduki Lingkis dalam waktu yang singkat. Namun pada saat memasuki wilayah Muara Batun, pasukan Belanda benar-benar baru merasakan bagaimana semangat para pejuang Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Taktik gerilya yang diterapkan oleh komando Serma Abdul Muis ternyata membuat pasukan Belanda kesulitan. Belanda benar-benar tidak tahu mana yang pejuang dan mana yang sipil. Senjata modern yang mereka bawa pun seakan tidak berguna. Belanda kalah dengan taktik yang diterapkan Serma Abdul Muis.

Karena gagal menerobos Muara Batun, akhirnya Belanda pun menerapkan strategi kotor. Mereka menembaki semua orang yang ada dihadapannya. Rumah-rumah warga dibakar, dan orang-orang tidak bersalah dianiaya. Tujuannya agar para pejuang Indonesia keluar dari tempat  persembunyian dan menyerahkan diri.

Namun Serma Abdul Muis lebih memilih mengahapi Belanda secara berhadapan ketimbang menyerahkan diri. Sehingga terjadilah tembak-menembak antara pasukan Belanda dan pasukan Indonesia. Karena senjata yang tidak memadai, pasukan Indonesia mundur sampai ke jembatan Sungai Ogan yang memisahkan Muara Batun Barat dan Timur (sekarang desa Batun Baru). Di jembatan Sungai Ogan inilah akhirnya Serma Abdul Muis tertembak saat hendak meledakkan jembatan yang menghubungkan Muara Batun Barat dan Timur. Peristiwa naas tersebut dimulai saat pasukaan Indonesia tidak dapat lagi menahan serangan Belanda. Karena terus terdesak, Serma Abdul Muis pun memasang taktik mengulur waktu dengan cara meledakkan jembatan yang menghubungkan Muara Batun Barat dan Timur. Agar para pejuang kemerdekaan yang masih tersisa bisa melarikan diri ke benteng pertahanan di Kayu Agung.

Dalam usaha peledakan jembatan, Serma Abdul Muis menunjuk dirinya sebagai eksekutor dengan ditemani tujuh rekan lainnya sebagai pelindung. Kemudian Serma Abdul Muis mulai melakukan aksinya. Pertama-tama ia bergerak ke tengah jembatan dan memasang granit, lalu mulai menyalakan api agar efek ledakan bisa melukai Belanda. Namun sayang ketika menyalakan api itulah peluru-peluru Belanda berhasil menembus dada Serma Abdul Muis sehingga gugurlah dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia di jembatan Sungai Ogan. Kematian Serma Abdul Muis itu memukul moril dan keberanian para pejuang dalam mempertahankan wilayah OKI dari pasukan Belanda.

[caption id="attachment_215445" align="aligncenter" width="789" caption="Peta lokasi jembatan yang menghubungkan desa Muara Batun dan Batun Baru saat terjadinya pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan tahun 1947."]

13524016001033462650
13524016001033462650
[/caption] [caption id="attachment_215446" align="aligncenter" width="749" caption="Lokasi jembatan lama yang akan diledakkan oleh Serma Abdul Muis."]
1352401858115061850
1352401858115061850
[/caption]

Setelah bercerita panjang mengenai peristiwa pertempuran di Desa Muara Batun hingga menggugurkan Serma Abdul Muis pada tahun 1947. Saya pun menjadi terkesima dengan sosok Serma Abdul Muis. Ternyata Serma Abdul Muis turut berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Sumatera Selatan. Sayangnya kini, namanya dilupakan banyak orang, terutama bagi warga Muara Batun dan Batun Baru sendiri. Ini terlihat dari banyaknya anak muda yang tidak tahu dengan sosok patung tersebut.

Saya pun sedikit menyinggung kondisi monumen patung Sersan Abdul Muis kepada Bapak Amidin. Beliau langsung menjawab dengan sinis, “Sudahlah nak, saya gerah dengan orang-orang itu, berapa kali saya bicara sama mereka mengenai monumen patung itu. Tapi tetap saja. Cobalah lihat dinding pada monumen patung itu, sudah rusak. Pagarnya pun hilang entah ke mana. Padahal seharusnya ada anggaran untuk merawatnya.” Saya hanya diam tanda tidak mau melanjutkan. Tapi di dalam kepala saya, teringat akan perkataan guru saya dulu, bahwa monumen itu salah satu fungsinya sebagai sites of memory (tempat mengingat warga pada suatu peristiwa di masa lampau) yang bila diabaikan begitu saja maka hilanglah peristiwa di masa lampau itu. Bahkan bila tidak disiapkan untuk diperkenalkan kepada generasi yang akan datang, site of memory menjadi tidak bernilai.

[caption id="attachment_215447" align="aligncenter" width="300" caption="Menurut Bapak Amidin, dulu ada catatan nama-nama pahlawan yang gugur pada tembok monumen ini. Sayangnya sekarang sudah hilang. Cat bewarna merah itulah yang menghapusnya."]

1352402039937973734
1352402039937973734
[/caption]

Puas menghabiskan waktu mendengarkan cerita kepahlawanan Serma Abdul Muis dari Bapak Amidin, saya pun kembali lagi ke posko, tempat tinggal sementara selama mengabdikan diri untuk desa ini. Di posko, saya mencatat beberapa bagian yang rusak pada monumen patung Serma Abdul Muis untuk dilaporkan kepada Kades Batun Baru. Harapannya agar monumen patung tersebut segera mendapat perbaikan. Sebagai tambahan, saya juga mengusulkan agar nama Serma Abdul Muis diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Desa Batun Baru. Tujuannya agar warga Batun terutama generasi mudanya dapat mengenal dan mengingat jasa dan pengorbanan Serma Abdul Muis.

Sebagai langkah kecil untuk memantik perbaikan monumen patung Serma Abdul Muis, saya dan teman-teman yang tergabung dalam posko kelompok enam, melakukan pembersihan monumen dan lingkungan di sekitarnya. Saya berharap dengan apa yang kami lakukan ini dapat memotivasi warga untuk menjaga serta merawat monumen patung tersebut. Saat mengajar di sekolah di Desa Muara Batun pun saya menyempatkan diri bercerita mengenai kepahlawanan Serma Abdul Muis dan mereka antusias mendengarkannya. (Catatan: Di desa Batun Baru belum ada sekolah baik itu SD, SMP, maupun SMA. Maka itu, kami mengajar di Desa Muara Batun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun