Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nggak Gemblung Nggak Rame

24 Februari 2017   16:13 Diperbarui: 25 Februari 2017   02:00 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sori ya, saya nulis ini nggak ada urusan dengan Ahok, Ahong, Basuki, Basoka, Anies, Anus, nggak kabeh.  Saya bukan Ahoker apalagi Anieser (Anies who? no thanks!). Nulis ya nulis aja. 

Tulisan ini adalah refleksi dari ke-lebay-an oknum rakyat negeri ini bla bla bla bla bla...Ya sudah, langsung saja...crewet!

Saya nggak paham dengan kelakuan muslim sekarang ini. Kelihatannya paham Al Qur'an, tapi kok gampang banget nuding orang 'munafik!', 'kafir!'. Pokoknya orang lain harus sepaham dengan dia, kalau tidak, bakalan dituding, "PKI kafir!".

Sudah PKI, kafir pula...pusing pala babi. *_*

Cap kafir, munafik pada seseorang itu hak prerogatif Tuhan. Memang ada ayat yang menjelaskan ciri-ciri orang kafir dan munafik, tapi itu buat pemahaman dan bekal kita dalam beragama. Nggak usah dituding-tudingkan ke orang lain. Kata pun ada 'aurat'nya juga. Kalau itu menyakitkan orang, jangan diucapkan. Agama mana pun melarang menyakiti hati manusia.

Tiap muslim punya ulama panutan. Dan tiap ulama berbeda dalam menafsirkan ayat, termasuk Surat Al Maidah 51. Ini soal madzhab. Terserah masing-masing umat untuk menentukan pilihan ulama dan madzhabnya. Dan itu tidak bisa disebut munafik atau kafir.

Jadi, kalau ada kyai atau ulama yang membolehkan memilih gubernur non muslim, ojok ngamuk, dipertanyakan keIslamannya, apalagi dicap munafik. Gayamu koyok Tuhan ae. Letak keIslaman seseorang itu ada di dalam hati, bukan di tampilan fisik luar. Gak koyok raimu, shalat Dhuha diketok-ketokno. Alim ni yeeee.

Anak kemarin sore menanyakan keIslaman seorang Kyai, oalaaa. Boleh-boleh saja mengkritisi kebijakan Ulama, tapi yo ojok nemen-nemen. Opo maneh menyebut mereka 'munafikun!'. Kualat gak iso ngaceng koen!

Gara-gara pilihan gubernur nggak sama, terus dituding munafik, kafir, Anti Islam. Padahal ada madzhab yang beda dalam menafsirkan Al Maidah 51 (kata 'aulia' ). Kalau ada yang meyakini Pilgub itu milih petinggi administrasi, bukan imam agama..ya jangan dibilang munafik. Itu namanya sombong dengan madzhabmu, aliranmu, sektemu.

Sebaliknya, kalau menurutmu haram hukumnya memilih gubernur non muslim, maka jangan memilih Lurah Kristen, ketua RW Katolik, ketua RT Kejawen, dan seterusnya. Kalau nggak begitu berarti nggak konsisten. Dan itu bisa disebut munafik.

Rasakno melbu neroko, gosong, kapok koen...salahe, sopo sing ngejak gemblung disik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun