Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bandung Raih Indeks Persepsi Korupsi Tertinggi, Ridwan Kamil Belum Layak Jadi Gubernur

14 Desember 2017   23:03 Diperbarui: 15 Desember 2017   19:34 12671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ridwan Kamil akan mencalonkan diri menjadi gubrnur Jawa Barat pada pemilihan kepala daerah 2018 yang akan datang (tribunnews.com)

Menurut laporan dari Transparansi Internasional Indonesia (TII) menyebutkan bahwa Kota Bandung merupakan kota yang dikontrol oleh suap. Laporan tersebut juga menunjukan bahwa Medan adalah kota yang paling koruptif di Indonesia.

Masih menurut paparan TII itu, biaya suap di Bandung membebani hingga 10.8 persen ongkos produksi. Disimpulkan, jika harga barang Rp 1 juta, dipastikan nilai suap di dalamnya mencapai Rp 108.000. Terjadi pembengkakan dari harga seharusnya. Lalu siapa yang akan menanggungnya? Ini tentunya akan dibebankan kepada pembeli. Lalu, harga menjadi tidak kompetitif.

Laporan ini dipaparkan pada Transparansi International Indonesia pada Rabu 22 November lalu di Jakarta.

Jika diasumsikan, segala sesuatu yang terjadi di sebuah kota merupakan tanggung-jawab wali kotanya, seharusnya demikian. Maka dalam konteks ini, Wali Kota Bandung tampaknya belum dapat menghilangkan praktik-praktik suap yang tentunya memperburuk citra kota ini. Pada gilirannya, memperburuk kualitas layanan publiknya. Ujung-ujungnya masyarakat Kota Bandung menjadi korban.

Dari nilai 100 paling tidak korupsi, Bandung bertengger di angka 53,4. Bandung yang berjulukan kota pelajar dengan menjamurnya berbagai perguruan tinggi tidak berkorelasi positif dengan indeks korupsinya. Sungguh ironis rasanya.

Lalu, apa yang telah dilakukan pemerintah Kota Bandung terhadap kondisi ini? Tampaknya, Wali Kota Bandung tidak banyak terberitakan terkait proses pemberantasan korupsi. Apakah di Bandung tidak ada korupsi, sehingga tidak ada upaya "pertarungan di sini"? Dari angka itu saja, sudah dapat disimpulkan bahwa korupsi terjadi. Dari laporan itu saja, sudah nampak ada "borok" pada jalannya pemerintahan.

Justru di situlah kelemahan dari Ridwan Kamil terkait upaya yang pastinya akan berbenturan dengan berbagai kalangan. Upaya ini bisa jelas kita lihat dalam pengalaman Risma sebagai Wali Kota Surabaya dan Ahok sebagai Gubernur Jakarta.

Risma pernah diminta mundur karena proses yang dikerjakan harus sesuai dengan kepentingan masyarakat. Pelarangan iklan di ruang terbuka karena tidak memperindah Kota Surabaya, berujung pada perang terbuka antara DPRD Kota Surabaya dan Risma. Pertarungan itu dimenangkan Risma. Di akhir pertarungan, tercium bau amis bahwa bisnis reklame luar ruang itu milik salah satu anggota "yang terhormat" tersebut.

Di Jakarta, Ahok menggunakan narasi yang sangat kasar. "Pemahaman Nenek lo" menjadi mantra untuk menyelesaikan permasalahan terkait APBD, sebuah anggaran yang akan "digarong" anggota DPR.

Ridwan Kamil juga tidak pernah terlibat "peperangan" dengan para pejabat di Kota Bandung terkait besarnya biaya suap yang menjadi komponen unit cost suatu produk. Pun pada kejadian di 2016 terkait pembelian alat fitness DPRD Kota Bandung, Ridwan Kamil seperti tidak peduli.

Padahal uangnya dari anggaran APBD Kota Bandung yang tentunya di bawah kekuasaannya. "Jangan tanya saya" ujar Wali Kota Bandung yang didukung PKS ini ketika ditanya soal anggaran pembelian alat kebugaran itu. Seperti diberitakan detiknews.com (29/09/2016).

Prestasi dalam bidang pengamanan APBD dan praktik-praktik korupsi dan penyuapan tentunya menjadi salah satu kunci penting pelaksanaan pelayanan publik. Ini terkait dengan transparansi, akuntabilitas, dan juga kejujuran pelaksananya.

Jika pemerintahan dan pemimpinnya gagal dalam menerapkan transparansi dan akuntabilitas, sudah selayaknya pemimpin dan perangkat dibawahnya berkaca atas prestasi buruk ini. Kesejahteraan rakyat di atas segala-galanya. Sudah seharusnya pemberantasan segala bentuk kecurangan penggunaan uang rakyat menjadi komitmen utamanya.

Toleransi di Bandung juga patut dipertanyakan. Kota yang terkenal dengan keramahan warganya, ternyata tidak berkelindan lurus dengan tingkat toleransi di masyarakatnya. Prestasi-prestasi pemimpinnya selama ini menjadi terpatahkan. Sifatnya sepertinya superfisial. Prestasi tampak di permukaan, tetapi tak substantif. Memimpin tidak dengan menerapkan kepemimpian esensial.

Kepemimpinan esensial dicirikan adanya basis nilai-nilai dan kepentingan kemanusian, bangsa, umat manusia, dan rakyat. Dilansir dari Kompas cetak (25/11/2017).

Pada Laporan Setara Institute yang mengukur tingkat toleransi di 94 Kota di Indonesia, Kota Bandung mendapat nilai 59%. Angkanya di 4,02 dari skala 7. Angka ini menurun dari indeks di 2015, besarnya 4,16. Laporan Indeks Kota Toleran 2017 ini diluncurkan pada 16 November 2017 lalu di Jakarta.

Kajian ini antara lain melihat perilaku positif pemerintah kota terkait promosi toleransi, baik yang diwujudkan berupa kebijakan, pernyataan resmi, respons atas peristiwa, termasuk membangun budaya toleransi masyarakat. Dua indikator ini -- korupsi dan toleransi-- menjadi sangat penting dalam konteks pemerintahan di Indonesia. 

Kondisi Indonesia saat ini diancam oleh dua kekuatan negatif itu. Jika di dua indikator terseubt Ridwan Kamil memiliki nilai yang buruk, maka rasanya beliau belum layak menjadi gubernur. Harusnya tidak usah ikut di pemilihan gubernur Jawa Barat 2018. Harus membuktikan diri dulu di Kota Bandung untuk menjadi lebih baik. Tetapi, jika tidak memungkinkan, sepertinya harus sudah menyusun exit strategy.

Dengan modalitas "negatif" itu, tidak mungkin rasanya Ridwan Kamil akan melakukan loncatan prestasi dalam dua elemen esensial sebuah kepemimpinan dan pemerintahan. Loncantan itu sangat tidak mungkin melihat pada gerak-geriknya selama di Bandung yang sering mengomentari hal-hal kurang esensial. Misal, soal kejombloan, jomblo, dan persoalan malam minggu yang sendirian. Kalau tidak salah.

Untuk itu, perlu kalibrasi ulang gaya kepemimpinan Ridwan Kamil menjadi lebih esensial, termasuk juga ketegasan yang lebih tinggi kadarnya. Sebab, medan "perjuangannya" jika katakanlah terpilih, sangat jauh lebih besar.

Tetapi, karena gaya kepemimpinan, karakter dan personality bukanlah hal bisa diubah dalam waktu singkat, rasa-rasanya Ridwan Kamil haruslah menahan nafsu untuk bertarung di Pilkada Provinsi Jawa Barat tahun 2018. Persoalannya, masalah korupsi dan intoleransi sangatlah serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun