Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Tanah Bumbu

3 Agustus 2019   11:03 Diperbarui: 3 Agustus 2019   11:15 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepada : Pakde Ropingi

Dari ujung jalan kau datang, menjaja kata, membaca dunia, aku larut dalam relung syair.
Beragam resep  kau  bawa, semacam koki  menyihir kata, terkadang aku tersesat  dalam larut makna.
Koki kata yang hebat, dari tanah bumbu, pencipta cita rasa, seberti kuda sembrani aku binal dalam selera
larutku dalam rima mengentak, terkadang membelai dari desir angin pagi.

Kau  kenyangkan nurani, tapi tetap tak bisa puaskan lidah penyair.
Menggores rasa manis, membuat nagih, rasa asin pengurai hambar, dan tetes asam kecut  mengenakkan.
Terkadang kau mengajari tentang pahit getir dalam tabir. Pada kerut usia di bibir tubir. Ada gelambir syair
dari remah-remah kenangan, semoga kau bisa mengikatnya, untuk belajar pada usia.

Tanah bumbu, menyapih masa, nujum bumbu, gelisah makna, meja makan menambah gurih menjangan rasa.
Malam itu di redup cahaya rembulan.  Letup sekerat daging  takut bara. Ketika kita berbicara tentang gelap,
ada bintang di langit, katamu, dipetik untuk meronce rambut seorang dara, pada sela kau semat bintang.
Dia merasa hidup dalam maklumat kata. Seorang koki tua, semangat muda. Mengajar waktu belajar untuk pelajar.
Ayah yang baik, katanya. Koki rumah tangga yang mengerti syair-syair dirindukan, tak pernah mengenyang pada begah.

Tanah bumbu, menyapih embun turun gunun, merpati itu tak pernah ingkar janji, katamu.  Seperti malam tahu pulang
mengajari tangan memeluk bulan, tergelut kata melumat sang bunda, ketika mengeja kasih, ketika peluh adalah lahir
dari syair. Aku tak ingin kau berkata, selain cinta. Melihat menjangan hidup dari bara. Pada lalang dia liar. Pada tubuhnya yang liat,
jinak pula dalam genggaman.

Asam garam usia telah menjadi ahli dari master segala suhu segala  bumbu. Pada papan kau mengajari anak-anak mengeja
satu tambah satu menjadi dua. Tapi melihatmu mengucap satu, satu tuju dari lembar-lembar kata, ketika lonceng mengerat saat
bercerai, ingin syair resep berkupusu. Anak-anak rindu tanah bumbu, tanah yang meramu kata menjadi candu.
Bolehkan aku meminta syair, katanya, khusus untukku malam ini. Ada anak lelaki di sudut iri merindu. Padamu usia merejam masa,
tapi arti kata lebih tampan dari segala, lebih gagah meski di ujung masa. Resep katamu tak akan lupa, raja segala rasa pada tanah bumbu.
Dari pangkal kata  kau datang.

Ujung kata, 0819

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun