Nak, kalau kau ingin memetik bintang di langit, kami tak punya galah panjang menjoloknya. Kami hanya menyerahkan pagi sebagai tangga, kau susun sedepa demi sedepa, tentang kisah lama makhluk berbudi, atau pelajaran baru dari guru baru, bagaimana memoles embun yang masih betah di daun, jatuh ke tanah, seperti menggambar tiada, tapi sebenarnya sedang bekerja menumbuhkan kecambah masa.
Nak, kami hanya bisa membantumu memacul ladang, meski pohon para tertipu harga atas usaha, getah di pasaran bingung memilih seragam sekolah  atau asap di dapur, lebih penting mengisi kepala atau perut, kau sengaja melupa bekal, bekal ilmu lebih penting ketimbang selera perut.
Nak, kami tak memiliki harta yang bisa mewarnai langit, tapi kami memiliki awan menghitam, yang setiap waktu bisa pecah menjadi hujan kasih mengalirmu. Biarlah harga-harga bertarung di pasar, asal harga dirimu kekal selama nyawa mengayom badan, menjaga laci negara kelak tak jebol, karena kau alpa tatakrama bangsa bermartabat.
Kami tak ingin memberi galah instan, kalau saja bintang jatuh pecah ke tanah. Kami yakin kau istiqomah, sedepa demi sedepa, menyusun tangga, saat tangga pertama, kami inginkan guru kau gugu dan tiru.Â
Kami sematkan kata merdeka dari kebodohan naluri, dan akal yang membuatmu bisa membaca dunia. Sesungguhnya kasih itu berwarna.
Harisekolah, 072019