Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasih Orangtua Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalah

9 Juli 2019   22:31 Diperbarui: 9 Juli 2019   22:55 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Pak Sapto dan Bu Ratmi bertempat tinggal di pinggir sungai. Suatu hari saat mereka sedang bekerja di ladang, langit tiba-tiba berubah gelap. Kilat saling sambar-menyambar. Mereka teringat Samin. Mereka bergegas pulang karena  cemas anak itu ketakutan. Tapi belum sampai di rumah, mereka melihat rumah sudah rata dengan sungai. Bagaimana kondisi anak  mereka si Samin? Apakah dia telah hanyut dibawa arus sungai? Mereka dibantu orang kampung berusaha mencari anak itu.

Tiba-tiba hujan turun sangat deras. Orang kampung berhamburan mencari tempat berteduh. Sementara Pak Sapto dan Bu Ratmi terus berjuang hingga sungai surut pada keesokan harinya. 

Baju mereka sudah compang-camping, kulit pun sudah terbaret di sana-sini. Mereka lupa makan-minum.  Bahkan ketika orang kambung membawa makanan dan minuman, mereka sama sekali tak hiraukan. Di pelupuk mata hanya ada Samin, anak semata wayang.

Beruntunglah di atas sebatang pohon tumbang, mereka berhasil menemukan Samin dengan kondisi mengenaskan. Dia masih hidup, dan perlu pertolongan intensif. Rumah dan ladang tergadai, demi membayar biaya rumah sakit sebulan penuh. Tak pulau sedih walau harus tinggal di rumah kontrakan dan menjadi buruh tani. Semua demi kesembuhan Samin anak mereka.

Puluhan tahun kemudian, di depan sebuah gedung berlantai dua, empat orang manusia menunggu gerbang terbuka. Sepasang tua selalu tertunduk sedih. Sepasang muda tersenyum-senyum dengan kedua hapenya. Berkali-kali suara WA menambah ramai deru kendaraan di depan gedung itu.

Gerbang pun.terbuka. Seorang perempuan yang selalu tersenyum mengajak mereka masuk. Di halaman berumput ada sebuah plang bertuliskan "Panti Werdha Kasih".

Kata si lelaki muda, "Pokoknya kalau perlu uang berapa pun untuk kedua orang tua saya ini, tinggal telepon." Perempuan yang selalu tersenyum itu semakin sering tersenyum ketika amplop tebal berpindah tangan.

Sekitar lima menit basa-basi, hape lelaki muda berdering terus urusan bisnis. WA perempuan muda berting-tong mengabarkan gairah mama-mama  gaul. Maka sepasang muda pun permisi dengan senyum cerah. 

Apa saja bisa diperbuat dengan uang, termasuk menjual orang tua. Sekarang urusan dunia mereka tak ada lagi yang mengganggu. Sepasang tua hanya dapat menangis dalam hati. Anak mereka Samin semakin kecil sehingga menjadi noktah, dan menghilang. Rasa sedih itu berkali-kali lipat sedihnya di banding puluhan tahun lalu dia hanyut dibawa arus sungai.

-----

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun