Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makan Kacanglah yang Masih Berkulit Tapi Jangan dengan Kulitnya

30 Juni 2019   22:48 Diperbarui: 30 Juni 2019   23:33 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Saat muda dulu, teman saya terkadang berandai-andai, kalau kami anak orang kaya, tentu kami tak usah bekerja membanting tulang untuk mendapatkan uang. Tinggal meneruskan kekayaan orang tua, maka semudah itulah hidup.

Ada juga teman sesama pengarang berandai-andai tentu akan mudah menjadi pengarang terkenal bila banyak kenal atau pun berkawan redaktur, atau sudah terkenal duluan baru jadi pengarang. Yakin setiap buku yang dikarang terbit, larisnya bak kacang goreng.

Tentu tak ada yang salah dengan "andai-andai" seperti itu. Mungkin saya atau anda pernah memikirkannya juga, who knows?

Tapi pernahkah kita memikirkan pelajaran berharga dari kacang kulit atau kwaci dengan kacang tojin atau kwaci tanpa kulit? Saya yakin bila kita dihadapkan dengan setengah kilo masing-masing makanan berkulit dan tanpa kulit, maka kita mungkin tak sadar menghabiskan makanan berkulit itu dalam sejam-dua. Sementara makanan tanpa kulit mungkin bisa kita  nikmati dengan antusias segenggam dua. Selebihnya akan timbul rasa eneg, kendati kita tetap bisa menghabiskannya karena tak ingin berbuat mubazir.

Dari sinilah bisa kita tangkap, bahwa seni hidup itu adalah berjuang. Semakin keras perjuangan kita untuk berhasil, maka akan semakin sering kita merasakan sensasi kepuasan (biar pun belum tentu puas) pada tahap-tahap keberhasilan itu. Dan dapat dipastikan bahwa orang yang hidupnya hanya meneruskan kemapanan, sama sekali tak merasakan perjuangan. Atau bila pun ada perjuangan, biasanya sedikit dan terasa hambar. Mereka nyaris tanpa merasakan sensasi apa-apa.

Apakah kita juga pernah bertanya kepada orang tua kita yang hari-harinya dilayani, bahkan makanannya disuapi, maka kalau ada "kemampuan", berapa pun harganya, mereka akan beli. Mereka sangat ingin makan dan segala pekerjaan  dilakukan sendiri dengan perjuangan.

Jadi, sebaiknya kita jangan pernah berandai-andai menjadi mapan. Tetaplah berjuang sampai berdarah-darah. Sungguh sensasi keberasilan karena perjuangan itu tak bisa dibeli dengan harga berapa pun. Maka syukurilah bila anda adalah orang yang kelak berhasil mulai dari perjuangan level terbawah. Ingatlah, hidup itu menjadi amat berwarna dengan perjuangan, bukan kemapanan. Makan kacanglah yang masih berkulit, tapi jangan makan dengan kulitnya. Segitu saja!

-----

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun