Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teringat Monas

9 Juni 2019   13:42 Diperbarui: 9 Juni 2019   13:46 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

"Cuma seminggu kita tinggal di rumahnya," ucap Sarifah.

"Aku takut, kalau berdua-dua, yang ketiganya itu setan." Aku mencari alasan lain. Hasilnya, pahaku jadi sasaran cubitan Sarifah. Rencananya dia juga bakal bertandang di rumah Monas. Kau tahu apa yang menyebabkan kawan  satu ini marah?

***

Meski tak ada pilihan lain, akhirnya kami memutuskan ke rumah Monas di Jakarta. Bayanganku rumahnya gedongan berlantai tiga. Mobilnya ada lima. Pembantunya lebih dari lima. Tukang masak, cuci, gosok, bersihin rumah, bersihin halaman, tukang kebun, plus sopir pribadi. Tapi, semua itu tak akan dibawa mati. Lebih baik menjadi guru agama seperti aku, meski hidup pas-pasan, dan masih tinggal di rumah orang tua. Khusus masih tinggal di rumah orang tua, lantaran di usia menjelang empatpuluhan tahun ini, aku masih menjomblo.

Bayanganku tentang kehidupan Monas. sama sekali menipu. Dia tinggal di rumah semi permanen, beratap seng dan berplafon bolong-bolong di beberapa bagian. Ketika dijemput Monas ke rumahnya, kami hanya menumpang mobil ojol. Inventarisnya juga tak memukau. Hanya ada vespa butut di garasi lebar yang membuatnya terlalu longgar.

Rumah Monas berlantai satu, tanpa ac selain kipas angin yang selalu mengalahkan suara tivi. Ada sebuah kulkas satu pintu dengan dinding nyaris menguning di sudut dapur.

Setelah Shalat Maghrib, Monas permisi ke rental komputer. Aku sudah menebak dia akan menulis.  Selain masa kecil yang nakal, Monas giat menulis. Beberapa kali dia menang lomba mengarang. Ternyata bakatnya itu masih terawat hingga sekarang.

"Komputer kantor pakainya untuk urusan kantor, bukan untuk urusan pribadi," jawab Monas ketika aku menanyakan kenapa menulis di rental, sementara dia memiliki komputer.

Saat kami menikmati malam di teras rumah, Monas mementahkan seluruh sas-sus tentang dirinya. Monas itu orang idealis. Sepeser pun dia tak mau disogok. Sas-sus yang tersebar selama ini hanya fitnah. Karena dia  teguh menggenggam kebenaran, para mafia merasa sakit hati dan memunculkan hoax agar nama baik Monas rusak.

Sekarang aku sudah berada di kampungku. Surat dari Monas tadi siang membuatku berdebar. Jangan bilang siapa-siapa dulu, Monas berniat melamarku selepas lebaran. 

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun