Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Takjil Abah Uli

6 Mei 2019   16:07 Diperbarui: 6 Mei 2019   16:11 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Hari pertama puasa Ramadan, saat matahari mulai redup, lelaki itu muncul di mushola dekat rumahku. Dia membawa kantong kresek berwarna hitam berisi takjil berbuka puasa. Dilihat dari cara berpakaian, dan takjil itu,  jamaah mushola menebak dia adalah seorang berada. Bau tubuhnya wangi. Mulutnya tak berbau seperti bau mulut orang yang berpuasa.

Dia memperkenalkan diri dari kampung sebelah. Namanya Uli. Dia lebih suka dipanggil Abah Uli. Anehnya,  setelah dia selalu menyambangi mushola setiap menjelang berbuka, seperti terhipnotis, aku juga menjadi jamaah tetap mushola itu. Biasanya di Ramadan tahun sebelumnya, bisa dihitung dengan lima jari, aku berkesempatan berbuka puasa di mushola bersama beberapa jamaah. Selebihnya aku berbuka puasa di rumah, atau berbuka bersama teman-teman di beberapa tempat makan yang tersebar di dekat pemukiman kami.

Senja itu, Abah Uli datang lagi. Kali ini dia membawa rantang tiga tingkat. Aku mengendusnya sambil menelan ludah.

"Heh, nanti puasamu batal!" canda Abah Uli. Aku menyeringai sambil menggaruk-garuk kepala. Saat dia menunjukkan isi rantang itu, aku kembali menelan ludah. Isinya kolak biji salak yang menggoda. Dan memang setiap takjil yang dia bawa selalu menggoda selera. Rasanya selangit. Beda betul dengan takjil berbuka puasa yang terhidang di rumahku.

Selepas shalat maghrib, biasanya Abah Uli belum pulang. Dia suka bercerita. Jamaah jadi betah berlama-lama di mushola. Pernah beberapa kali, jamaah, termasuk aku, dijemput anggota keluarga karena belum pulang untuk melanjutkan makan nasi di rumah. Ah, selain takjil, cerita-cerita Abah Uli telah menghipnotis kami.

"Rumah Abah di mana?" tanyaku penasaran, usai shalat maghrib di Ramadan hari kelima belas. 

"Lho, itu kan pertanyaan yang sudah berulang-ulang kau lontarkan! Rumahku di kampung sebelah. Pintu rumahku selalu terbuka lebar untukmu." Dia mengelus-elus jenggotnya. Kemudian dia memberikanku secarik kertas bertuliskan alamat rumahnya. "Ini kertas yang kedua." Dia tersenyum. Aku meringis karena malu.

"Abah tak capek hampir setiap menjelang berbuka puasa selalu membawa takjil ke mari? Kan jarak dari kampung ini ke kampung sebelah lumayan jauh! Apalagi, maaf, Abah sudah terlalu tua berjalan jauh dengan membawa takjil yang tentu berat."

Abah Uli menghela napas, kemudian bercerita. Semasa muda, dia adalah orang yang malas berpuasa. Terkadang sebulan Ramadan, dia hanya berpuasa dua hari. Pernah malahan tak berpuasa sebulan penuh. Dengan membawa takjil ke mushola setiap menjelang berbuka, dia berharap Allah SWT memaafkan dosa-dosanya yang lalu. Karena seperti yang pernah dibacanya dalam kitab agama, bahwa siapa yang memberi makan orang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang berpuasa itu sedikit pun.

"Jadi Abah berharap dengan pahala memberi makan orang berbuka, bisa menutupi dosa-dosa Abah masa muda yang enggan puasa," katanya menutup pembicaraan.

Mendengar penuturan Abah Uli, seketika aku tersadar. Memang apa yang dia ucapkan telah sering kudengar, bahkan kubaca di kitab. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Abah sangat berbeda. Maka besok harinya sengaja aku membawa takjil berbuka ke mushola. Digabung dengan takjil yang dibawa Abah Uli, lumayan banyak, hingga bisa dinikmati selepas shalat tarawih, bahkan sampai tadarusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun