Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hasil Didikan Ayah

26 November 2019   11:11 Diperbarui: 26 November 2019   11:09 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay.com

Ayah seorang pengatur. Di situ aku tak suka. Meski selama ini setiap keinginanku kerap dia turuti. Bahkan,  Ayah lebih cerewet dari Ibu. Apa-apa saja dia atur, mulai dari cari berpakaian hingga menyisir rambut. Jangan kata misalnya aku lupa mematikan kran, sementara  air di bak sudah melimpah. Sementara aku sedang buru-buru berangkat ke sekolah. Yakinlah, kejadian tak mengenakkan ini akan membuatku terlambat tiba di pintu gerbang yang sudah di gembok Pak Saad.

Ayah bertanya mengapa aku tak memandikan kran setelah mandi. Air sampai melimpah itu mubazir. Ayah bukan memikirkan uang untuk membayar iuran. Meski dia  merasa rugi. Tapi coba aku pikirkan berapa biaya perusahaan air minum untuk mengolah banyu butek menjadi jernih dan bisa diminum.

Aku tak pernah berpikir bagaimana orang terkadang tahan bergelut gegara berebut air di lahan tandus. Belum lagi  ketika kemarau, orang-orang harus shalat meminta hujan saking inginnya melihat bumi basah. Apa aku tak pernah berpikir air yang terbuang itu bagi orang lain terkadang lebih berharga dari uang? Bagaimana kalau kemarau panjang, dan air yang hendak dibeli tak ada? Bagaimana? Bagaimana? 

Akibat pekerjaan mubazir itu, aku akhirnya terlambat masuk ke sekolah.  Ibu Kepala menyuruhku merumput di halaman sekolah seperti kambing sebagai hukuman. Memang tak sama dengan binatang itu, karena rumput hanya kucabuti. Tapi aku bekerja bersama kambing Pak Saad di bawah terik matahari. Ibu Kepala  mengatakan siswa yang terlambat sekolah itu sama dengan kambing. Kambing juga baru boleh keluar dari kandang saat matahari mulai terik. Sial!

Belum lagi tentang kipas angin dan barang elektronik lain yang kubiarkan menyala, sementara tak  ada orang yang mempergunakannya. Ayah kembali menjadi hakim di meja makan. Apa jadinya bermubazir listrik. Berapa banyak pekerja listrik berjibaku agar  kami bisa nyaman. Tapi limpahan keringat mereka tak kuhargai.

Belum lagi minyak untuk menghidupkan listrik itu, bukan ibarat air yang setiap hari bisa bersirkulasi dan kemungkinan tetap ada. Tapi minyak bumi pada saatnya tak kering.  Minyak itu berasal dari fosil. Fosil itu baru bisa menjadi minyak bisa jutaan tahun lamanya. Apa aku tak berpikir?  Asal memakai saja sambil berkata bahwa itu bisa dibayar atau dibeli. Hidup ini bukan sebatas uang dan uang, Anno!

Juga urusan kamar yang tak rapi. Kalau masuk ke rumah harus menutup pintu. Selalu meletakkan barang pada tempatnya, hingga jika sedang perlu tidak susah mencarinya. Semua harus terkontrol, semua, semua. Bla bla bla. Aku terkadang malu jika Ayah berlaku begitu saat temanku bertamu. Kalau habis minum, gelas kotor letakkan di dapur. Kan ada Bik Nem? Malu kan didengar kawan? Aku terkadang diledek mereka, karena Ayah seperti emak-emak.

"Aku sudah besar. Kuliah. Sebentar lagi sarjana." Gerutuku kepada Ibu yang sedang menjemur pakaian. Hari itu aku kesal betul karena Ayah menyuruhku membersihkan motor. Hidup itu jangan hanya bisa memakai saja, tapi harus pintar juga merawat. Kan enak kalau bertemu cewek, dia akan kagum melihat motorku yang kinclong.

Biasanya cowok yang selalu motornya bersih, mustahil orangnya urakan dan jorok. Mudah-mudahan hatinya juga bersih. Ayah mengatakan itu dengan nada bercanda. Tapi membuat emosiku naik ke ubun-ubun. Tapi semarah-marahnya aku, aku hanya diam, dan membiarkan Ayah berkicau seperti cucakrawa.

"Jadi apa masudmu, Anno?" tanya Ibu. Amel menggodaku dengan handuk buduk. Alhasilnya tangki minyak yang sudah kinclong menjadi buram kena hantam handuk itu. Tumbuh tanduk di kepalaku. Api menyembur dari lobang hidung.

Ingin kuhajar perempuan itu. Dia mengadu kepada Ayah. Dia takut  melihat matamu seakan memiliki taring. Seperti biasa suara Ayah akan terdengar hingga ke halaman, "Anno!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun