Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polarisator Isu Lingkungan Terparah Saat Ini

26 Januari 2020   20:29 Diperbarui: 26 Januari 2020   20:41 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presenter otomotif ternama dunia dan mantan climate change skeptic, Jeremy Clarkson menjadi contoh dari sikap ini. Tahun kemarin, proses syuting serial Grand Tour: Seaman di Vietnam dan Kamboja mengubah sikapnya.

Kini, Beliau percaya dengan urgensi perubahan iklim dan dibutuhkannya berbagai inisiatif untuk mengatasinya. Bahkan, kini Beliau membangun sebuah peternakan sebagai upaya konservasi. Namun, Beliau melontarkan kalimat ini ketika ditanya tentang Greta Thunberg (driving.co.uk, 2019).

"Greta hasn't got any answers. 'Ooh, we're all going to die.' Right, tremendous. Now go back to school. But I genuinely hope people are working on what on earth to do about it." 

Pada kesempatan lain, Clarkson bahkan mendeskripsikan Thunberg sebagai mad and dangerous. Menurut penulis, Thunberg tidak gila, she's mentally healthy youth. Tetapi, penulis setuju bahwa Beliau berbahaya. Mengapa?

Ini berhubungan dengan dampak aksi, retorika, dan posisi politik Beliau. It played into the hands of climate change skeptics and environmental bigots within conservative groups. Suara dan pendirian mereka menjadi semakin dominan dengan munculnya Greta Thunberg. Semua media menyorot mereka. Sehingga, suara konservasionis yang rasional dan ingin menyelamatkan lingkungan ciptaan Tuhan terpinggirkan.

Dengan kata lain, argumen Greta Thunberg diperalat para climate change skeptics. Untuk apa lagi kalau bukan menjauhkan masyarakat dari upaya penyelamatan lingkungan.

Lantas, mereka semakin mampu membingkai isu ini dengan trade-off sederhana nan keblinger, "Kemakmuran melalui pertumbuhan ekonomi atau penurunan standar hidup untuk menyelamatkan lingkungan?" Kini, trik ini berhasil menipu banyak orang konservatif.

Hasilnya, isu lingkungan dan perubahan iklim menjadi semakin partisan. Dan Greta Thunberg menjadi polarisator terparah dari isu tersebut. Kini, semakin kuat stigma bahwa orang-orang konservatif/sayap kanan adalah bigots yang menentang ide perubahan iklim dan konservasi. Mereka hanya peduli soal kemakmuran materi. This is so far from the truth, yet Greta Thunberg foster this stigma among her sympathizers.

Lingkungan bumi ini tidak dimiliki oleh kelompok politik tertentu. Ia milik kita semua. Setiap individu harus menjaganya, tanpa peduli apa aliran politiknya. Namun, Greta Thunberg telah menghancurkan premis ini dengan polarisasi yang dilakukannya. Partisanship rushes in like a tsunami into environmental issues, thanks to her.

Padahal, kerja sama antar kelompok politik adalah kunci kesuksesan peradaban ini untuk menyelamatkan lingkungan dan menyelesaikan krisis iklim ini. Oh God help us all.

SUMBER
https://tekno.tempo.co/read/1250268/suarakan-climate-strike-greenpeace-indonesia-gelar-long-march. Diakses pada 26 Januari 2020.  
https://time.com/5684216/greta-thunberg-un-climate-action-summit-climate-speech/. Diakses pada 26 Januari 2020.
https://www.ecowatch.com/davos-thunberg-trump-climate-change-2644863489.html. Diakses pada 26 Januari 2020.
https://www.driving.co.uk/news/jeremy-clarkson-next-grand-tour-episode-will-eco-documentary/. Diakses  pada 26 Januari 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun