Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tipe Tetangga Seperti Apakah Kamu di Lingkunganmu?

2 Maret 2019   11:05 Diperbarui: 30 Juli 2019   11:02 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: yourpacesetter.com/dangibson

Tantangan hidup bermasyarakat memang kadang gampang-gampang susah. Terkadang ada persepsi-persepsi yang begitu mudah terbangun hanya karena soal sepele, misal lupa menurunkan kaca jendela mobil ketika lewat keluar rumah atau sekadar lupa senyum ramah ketika bertemu tetangga. Itu baru kebiasaan-kebiasaan yang tidak sengaja dilakukan karena entah kamu memang tidak dalam kondisi nyaman sehingga lupa bertegur sapa.

Dalam skala yang lebih luas, persinggungan kepentingan pribadi dengan kepentingan publik di lingkungan perumahan itu ternyata bisa menimbulkan sentimen panas dan berujung ke pertengkaran antar tetangga. Lalu kepentingan pribadi yang seperti apa, dan seringkali mengganggu kepentingan umum?

Masalah Parkir Memarkir Kendaraan

Ternyata pergunjingan antar tetangga itu bisa juga ditimbulkan karena urusan parkir kendaraan loh. Kalau motor mungkin tidak jadi soal tapi kalau mobil maka ini urusannya bakalan panjang jika tidak benar-benar tahu tata krama memarkir kendaraan.

Pernah suatu hari WAG dibuat heboh karena salah satu tetangga menanyakan mobil yang ada di rumah si A, karena mobil dia tidak bisa lewat. Lalu bergulirlah bola panas itu karena si yang punya mobil belum membuka WAG-nya. 

Tidak lama setelah kejadian itu seminggu kemudian ketika saya mengikuti kegiatan RT, masalah itu ternyata masih digunjingkan diam-diam di kelompok ibu-ibu yang memang sepertinya kurang suka sama ibu yang menegur tetangga lewat WAG. 


Saya menandai kejadian itu dengan lebih berhati-hati ketika menerima tamu agar kendaraanya tidak mengganggu lalu lalang kendaraan tetangga yang melintas.

Masalah Sewa Menyewa Rumah

Tetangga depan rumah saya kebetulan tidak menempati rumahnya secara permanen dan malah menjadikannya sebagai "Guest House" bagi pelancong yang berlibur di Jogja. Namun karena infromasi yang simpang siur, rumah ini disangka akan menjadi semacam homestay yang beroperasi 24 jam. 

Warga menolak dengan alasan peruntukannya tidak sesuai karena tempat tinggal tersebut statusnya perumahan dan bukan untuk kegiatan jasa. Si pemilik rumah kemudian menjelaskan bahwa rumahnya hanya disewakan ke orang-orang yang dia kenal atau dari kenalan kolega-koleganya, bukan pasangan muda mudi (seperti yang biasa dikhawatirkan warga).

Masalah Pemasangan Tiang Telepon

Saya pernah mengalami ketika akan memasang telepon rumah, karena tempat tinggal saya sebenarnya juga masih saya jadikan sebagai kantor temporer, karena butuh suasana kerja yang tidak berasa lagi "ngantor". Saya merasa butuh layanan mobile paket lengkap untuk memudahkan aktivitas bekerja itu dengan memasang telepon, jaringan wi-fi dan TV kabel (siaran berbayar). 

Sayangnya karena posisi rumah yang ada di pojok menyebabkan rumah saya agak sulit dijangkau dengan kabel yang panjangnya cuma 50 meteran.

Solusinya harus pasang tiang di depan salah satu rumah tetangga dengan syarat membuat surat pernyataan ke RT dan RW terus minta ijin ke pemilik rumah untuk pemasangan tiang tersebut. Karena alasan malas ngurus ijin ini itu meski sebenarnya saya sudah diarahkan dan tinggal melapor saja, tetap saja akhirnya niat memasang tiang telepon itu saya batalkan.

Cuma kadang saya mikir-mikir perumahan itu memang lazimnya hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, agak sulit jika mau disatukan dengan fungsi-fungsi lain misal dijadikan homestay atau kantor temporer sekalipun. Belum kalau dari awal sudah ada tetangga yang tidak senang, maka satu pemicu saja bisa melebar kemana-mana.

Lalu apakah hidup bertetangga itu kurang cocok dengan orang single (tinggal sendiri di rumah)?

Sebenarnya saya mau jawab gampang-gampang susah sih. Pertama saya pernah punya pengalaman buruk ketika masih menyewa rumah di salah satu kota, waktu itu saya disangka ingin menarik perhatian suami tentangga saya (tiap ingat kejadian ini saya rada trauma). Punya pengalaman seperti itu membuat saya agak hati-hati bila bertemu dengan tetangga, apalagi berinteraksi dengan ibu-ibu.

Saya pernah merasa kurang nyaman ketika seorang ibu mengenalkan saya dengan ibu-ibu lainnya dengan membawa embel-embel "masih single loh ibu-ibu?". Mendengar celetukan itu saya merasa ada gap atau jarak ketika berada dalam kerumunan tetangga yang sudah berkeluarga dan ibu rumah tangga.

Entah itu basa basi biasa sebagai pembuka obrolan yang sebenarnya sangat mengintimidasi saya secara personal, yang kadang dilontarkan begitu saja. Tanpa mendiskreditkan peran ibu rumah tangga, kadang saya merasa cara pandang ibu rumah tangga dengan seorang perempuan yang tinggal sendiri itu masih agak sinis apalagi kalau kamu memang perempuan mandiri, kerja menghidupi diri sendiri.

Individualis VS Bersosialisasi

Makin ke sini saya memiliki pengamatan yang mulai abu-abu soal pilihan menjadi individualis atau sangat "terbuka" karena dalam kehidupan bertetangga (bagi saya pibadi) saya memilih menjadi individualis dengan cara saya.

Dulu sering kita mendengar istilah bahwa orang-orang individualis itu adalah orang yang tidak/kurang suka bersosialisasi dengan tetangga. Sementara tetangga yang begitu senang bersosialisasi dianggap orang "baik". 

Lazimnya memang seperti itu, karena siapa sih yang tidak senang kalau tetangganya punya keramahan ekstra. Jadi sosialisasi itu sama dengan keramahan ekstra, dan rajin hadir ke pertemuan-pertemuan RT. Itu sudah jadi standar baku tetangga yang senang bersosialisasi di sekitar saya.

Lalu pemahaman soal tetangga individualis ini agak naik tingkat ke level yang lebih substansi. Contohnya saya memang tidak serutin yang lain ikut pertemuan warga (pengajian dan arisan) atau tidak berinvestasi keramahan ekstra dengan tetangga hanya untuk dilabeli tetangga yang cukup ramah atau terbuka. 

Menurut saya kedekatan-kedekatan yang dibangun tanpa kesamaan orientasi kehidupan sehari-hari itu tidak perlu karena pada akhirnya mereka akan sampai di titik dimana mereka akan mempertanyakan hal-hal pribadi yang tidak ingin saya bahas.

Saya malah membangun kepedulian yang lain dalam kehidupan bertetangga yang jauh lebih substantif ketimbang membangun kedekatan personal. Misalnya dengan memperhatikan rumah tetangga saya ketika dia bepergian selama beberapa hari ke luar kota. 

Saya dengan senang hati akan menawarkan diri memantau kondisi rumah dia dari luar, memperhatikan orang-orang tidak dikenal yang lalu lalang atau sekadar mengingatkan pemilik rumah yang rumahnya disewakan, bila pintu pagarnya semalaman tidak dikunci sama si penyewa rumah.

Ya saya akan senang menjadi tetangga yang ikut mawas dan curiga ketika ada aktivitas-aktivitas mencurigakan atau keanehan dengan rumah tetangga saya ketika rumahnya sedang kosong.

Mengapa demikian?

Pernah tidak kita sadari bahwa kita sebagai tetangga ternyata hanya lebih senang mengetahui berapa gaji suami tetangga kita, berapa biaya cicilan mobilnya, masalah dia dengan suaminya, anaknya diikutkan les apa saja, hingga urusan-urusan yang lebih personal dan parahnya kita menganggap kegiatan itu salah satu bentuk kedekatan dengan tetangga.

Tapi pernah tidak kita melihat di sisi lainnya bahwa memilih menjadi tetangga individualis karena saya tidak tertarik dengan kehidupan privat tetangga saya dan mencegah agar dia juga tidak mencampuri ranah pribadi kita. 

Sebagai gantinya saya akan jadi orang pertama yang akan menjaga kenyamanan dan keamanan rumah dia ketika berada di luar kota misalnya atau saya akan jadi tetangga yang akan sangat hati-hati ketika memarkir kendaraan agar tidak mengganggu ketika dia melintas, atau yang paling sederhana saya memilih menjadi tetangga yang individualis tetapi saya siap jadi orang pertama ketika tetangga saya butuh pertolongan?

Saya memikirkan ini setelah melihat begitu seringnya stigma dan persepsi buruk bermunculan dari kehidupan bertetangga hanya karena persoalan susahnya kita memilah-milah mana ranah publik dan privat atau mana saja kepentingan publik yang harus didahulukan ketimbang mempermasalahkan kepentingan pribadi. 

Mungkin kita cenderung lebih tertarik dengan hal-hal personal ketimbang hal-hal yang substansi dari sebuah hubungan sosial di masyarakat, sehingga tidak sedikit masalah kebrutalan, pembunuhan, perampokan sadis yang berawal dari ketidakpedulian kita sebagai tetangga.

Jadi, tipe tetangga seperti apakah kamu di lingkunganmu?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun