Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tipe Tetangga Seperti Apakah Kamu di Lingkunganmu?

2 Maret 2019   11:05 Diperbarui: 30 Juli 2019   11:02 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: yourpacesetter.com/dangibson

Saya pernah mengalami ketika akan memasang telepon rumah, karena tempat tinggal saya sebenarnya juga masih saya jadikan sebagai kantor temporer, karena butuh suasana kerja yang tidak berasa lagi "ngantor". Saya merasa butuh layanan mobile paket lengkap untuk memudahkan aktivitas bekerja itu dengan memasang telepon, jaringan wi-fi dan TV kabel (siaran berbayar). 

Sayangnya karena posisi rumah yang ada di pojok menyebabkan rumah saya agak sulit dijangkau dengan kabel yang panjangnya cuma 50 meteran.

Solusinya harus pasang tiang di depan salah satu rumah tetangga dengan syarat membuat surat pernyataan ke RT dan RW terus minta ijin ke pemilik rumah untuk pemasangan tiang tersebut. Karena alasan malas ngurus ijin ini itu meski sebenarnya saya sudah diarahkan dan tinggal melapor saja, tetap saja akhirnya niat memasang tiang telepon itu saya batalkan.

Cuma kadang saya mikir-mikir perumahan itu memang lazimnya hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, agak sulit jika mau disatukan dengan fungsi-fungsi lain misal dijadikan homestay atau kantor temporer sekalipun. Belum kalau dari awal sudah ada tetangga yang tidak senang, maka satu pemicu saja bisa melebar kemana-mana.

Lalu apakah hidup bertetangga itu kurang cocok dengan orang single (tinggal sendiri di rumah)?

Sebenarnya saya mau jawab gampang-gampang susah sih. Pertama saya pernah punya pengalaman buruk ketika masih menyewa rumah di salah satu kota, waktu itu saya disangka ingin menarik perhatian suami tentangga saya (tiap ingat kejadian ini saya rada trauma). Punya pengalaman seperti itu membuat saya agak hati-hati bila bertemu dengan tetangga, apalagi berinteraksi dengan ibu-ibu.

Saya pernah merasa kurang nyaman ketika seorang ibu mengenalkan saya dengan ibu-ibu lainnya dengan membawa embel-embel "masih single loh ibu-ibu?". Mendengar celetukan itu saya merasa ada gap atau jarak ketika berada dalam kerumunan tetangga yang sudah berkeluarga dan ibu rumah tangga.

Entah itu basa basi biasa sebagai pembuka obrolan yang sebenarnya sangat mengintimidasi saya secara personal, yang kadang dilontarkan begitu saja. Tanpa mendiskreditkan peran ibu rumah tangga, kadang saya merasa cara pandang ibu rumah tangga dengan seorang perempuan yang tinggal sendiri itu masih agak sinis apalagi kalau kamu memang perempuan mandiri, kerja menghidupi diri sendiri.

Individualis VS Bersosialisasi

Makin ke sini saya memiliki pengamatan yang mulai abu-abu soal pilihan menjadi individualis atau sangat "terbuka" karena dalam kehidupan bertetangga (bagi saya pibadi) saya memilih menjadi individualis dengan cara saya.

Dulu sering kita mendengar istilah bahwa orang-orang individualis itu adalah orang yang tidak/kurang suka bersosialisasi dengan tetangga. Sementara tetangga yang begitu senang bersosialisasi dianggap orang "baik". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun