Mohon tunggu...
M.Fuad Usman
M.Fuad Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Food Researcher and Developer

Big Ideas Are Nothing Unless They Are Shared

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Wisdom Menyelamatkan NKRI dari Kehancuran

15 Mei 2019   12:51 Diperbarui: 15 Mei 2019   13:53 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Eksistensi NKRI  tergantung pada wisdom ( kearifan)  para pemimpinnya,  bukan pada mesin hitung yang mudah dimanipulasi, bukan juga pada azas legalitas formal atau retorika subjektif dan  pragramatis jangka pendek; yaitu ambisi untuk berkuasa.  Founding fathers ( para pendiri negara ) telah mewariskan wisdom itu kepada kita penerus bangsa. Wisdom yang diwariskan tersebut adalah Panca Sila dan  Undang Undang Dasar 1945 yang asli, bukan yang diamandemen. Warisan keramat itu terbukti mampu menjaga keutuhan NKRI, meskipun   banyak ombak dan badai menerjang.

     Founding fathers  NKRI adalah orang orang bijak dimana visi mereka untuk menjaga keutuhan  NKRI tak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas. Pemikiran dan wisdom beliau beliau  mampu menembus ruang dan waktu. Karena dalam berfikir dan bertindak,  mereka mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau  kelompok. Demi keutuhan NKRI, mereka tidak hanya rela mengorbankan ide dan prinsip, bahkan jiwa ragapun siap mereka korbankan. Jika karena bukan hal yang demikian,  NKRI tidak akan pernah ada.

     Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua dari sekian banyak bapak bangsa yang banyak mewariskan wisdom yang patut diteladani. Wisdom kedua tokoh bangsa itu memungkinkan berdirinya NKRI serta  mencegah bangsa ini dari perang saudara yang akibatnya sangat mengerikan.

    Nukilan sejarah jadi bukti betapa tingginya nilai wisdom yang mereka miliki.  Mengutip sejarawan Universitas Indonesia, Anhar gonggong, seperti yang ditulis dalam harian republika,  sore hari pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta mempkrolamirkan kemerdekaan Indonesia, seorang opsir Jepang dari Indonesia timur menemui Hatta, yang juga wakil ketua PPKI.  Opsir itu mengatakan, kalau tujuh kata dalam sila pertama Panca Sila dimasukkan ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara, maka umat Kristen dan non- Islam akan keluar dari Indonesia. Lalu Hatta menjelaskan, ini tidak disertai diskriminasi. Pihak opsir tersebut bertahan dengan argumentasinya.

       Anhar menilai Bung Hatta sebagai Muslim yang taat. Tapi, demi kepentingan bangsa, dia tak memikirkan kepentingan golongan. Mendengar penjelasan Hatta, pada hari berikut nya, sejumlah tokoh sempat berdiskusi panjang, antara lain Sukarno, Yamin, Haji Agus Salim, Kahar Moezakir, Kasman Singo dimedjo, dan Teuku Hasan.

      Para tokoh bangsa itu menyepakati hilangnya tujuh kata dalam butir pertama Piagam Jakarta yang menjadi penghalang berdirinya NKRI. "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Sila  pertama hanya mencantumkan " Ketuhanan Yang Maha Esa", sedangkan kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya dihilangkan.

     Kerelaan umat Islam menghilangkan tujuh kata dalam sila pertama, seperti tertulis dalam piagam Jakarta, berhasil menjembatani jurang pemisah antara Islam nasionalis dengan kelompok non- muslim dan sekuler. Jurang pemisah yang hampir menggagalkan terbentuknya NKRI. Sing waras ngalah. Begitulah cara pemimpin sejati mengajarkan wisdom kepada kita.

     Catatan sejarah berikut  mengenai wisdom Bung Karno yang terbukti dapat menghindari perang saudara di Indonesia. Kisah tersebut dikutip dari tulisan  Roso Daras-nya di  wordpress.com. Berikut kutipannya.

     Letjen KKO Hartono adalah satu di antara sekian banyak jenderal loyalis Bung Karno. Dia adalah satu di antara elite militer negeri kita pada masanya, yang begitu loyal kepada presidennya. Ucapan yang terkenal dari Hartono adalah, "Putih kata Bung Karno, Putih kata KKO. Hitam kata Bung Karno, Hitam kata Bung Karno". Akibat statemen itu, tak lama kemudian di Jawa Timur, prajurit KKO berdemo dan membentang poster bertuliskan, "Pejah-gesang Melu Bung Karno"... yang artinya, Mati-Hidup Ikut Bung Karno. Ini adalah nukilan sejarah yang terjadi tahun 1966.

      Kembali ke Hartono KKO. Dia termasuk elite militer yang mengetahui adanya gelagat mencurigakan sebelum peristiwa Gestok. Bukan itu saja, Hartono juga termasuk yang mencurigai Soeharto sebagai "master mind" di balik Gestok. Pernah suatu hari, dia bersama Waperdam Chaerul Saleh diutus Bung Karno untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Soeharto sebagai pelaksana Supersemar. Intinya adalah, meluruskan hakikat Supersemar, termasuk melarang Soeharto mengambil tindakan-tindakan politik yang menjadi wewenang Presiden. Jawab Soeharto, "Sampaikan ke Bapak, itu tanggung jawab saya."

     Sebagai jenderal pasukan elite, mendidih hati Hartono. Meradang amarah demi melihat sesama prajurit (meski beda angkatan) tetapi berani menentang panglima tertinggi. Karena itu pula, tidak sekali dua, Hartono meminta izin Bung Karno untuk mengerahkan kekuatan KKO menggempur Soeharto dan semua anasir militer yang dia kendalikan untuk menggulingkan Bung Karno.

     Peta kekuatan militer saat itu, sangat memungkinkan untuk menumpas Soeharto dan pasukannya, mengingat, angkatan lain, Laut, Udara, dan Kepolisian bisa dibilang mutlak berdiri di belakang Bung Karno. Bahkan beberapa divisi Angkatan Darat, juga tegas-tegas menyatakan loyal kepada Bung Karno. Sejarah menghendaki lain. Bung Karno melarang. Bung Karno tidak ingin persatuan dan kesatuan bangsa yang ia perjuangkan sejak remaja hingga menjadi presiden, kemudian hancur kembali oleh perang saudara, hanya demi membela dirinya. Bung Karno pasang badan untuk menjadi tumbal persatuan Indonesia.

     Begitulah para pendiri bangsa ini mengajarkan kita semua bahwa segala bentuk pertikaian yang berpotensi membubarkan republik ini hanya bisa diselesaikan dengan wisdom. Sangat naif bin naif kalau dalam menyelesaikan pertikaian antar anak bangsa hanya merujuk pada legalitas formal yang bukan warisan para leluhur bangsa, melain warisan dari bangsa lain.

      Krisis politik pasca Pemilu adalah  dialektika dari peristiwa peristiwa  yang terjadi  ketika republik Indonesia  akan dibentuk. Semisal pengulangan sejarah. Dan Bung Karno beramanat kepada penerus bangsa dengan pekikan Jasmerah, atawa jangan sekali kali melupakan sejarah. Karena sejarah akan terlulang kembali, meskipun dalam bentuk lain, tetapi esensinya sama.

      Ada benang merah yang dapat ditarik dari krisis sebelum dan pasca Pilpres tanggal 17 April yang lalu dengan peristiwa yang terjadi ketika republik ini dalam proses pembentukan. Benang merah tersebut adalah adanya dua kubu yang berseberangan ide dan nilai  di republik ini, yaitu kelompok Islam Nasionalis dan Sekular. Benang merah tersebut sungguh nyata dan kita tidak usah  pura pura tidak melihatnya.

    Jurang pemisah tersebut makin hari makin melebar. Dan akibatnya sungguh sangat ngeri kalau dibiarkan terus bergulir seperti bola liar, yaitu pertikaian antara anak bangsa. Jika hal tersebut terjadi, tak ada satupun pihak yang menang, yang ada hanya kehancuran. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Kata pepatah.

     Menurut para pengamat, Pemilu  tahun 2019 merupakan Pilpres yang paling mahal, paling ruwet, paling diragukan keabsahaannya, dan paling brutal jika dibandingkan dengan Pemilu Pemilu yang diselenggarakan sebelumnya. Polarisasi antara kelompok Islam Nasionalis dan Sekular yang dahulu mencair, pada Pemilu 2019 kembali mengkristal. Politik idenitas kembali mewarnai konstelasi politik Indonesia.

      Menurut penulis  penyebab pasca Pemilu disebabkan oleh sebagian elit negeri ini gagal paham dengan esensi demokrasi yang berlaku di negara barat yang liberal, dengan demokrasi panca sila yang diwariskan oleh founding fathers.

      Pemilu merupakan realisasi hak berdemokrasi rakyat  untuk memilih pemimpin mereka. Pemilu di negara yang menganut demokrasi liberal berdasarkan pada prinsip " the winner takes it all ". Rakyat memilih langsung pemimpinnya, atau dikenal dengan istilah Pilpres langsung. Contoh ekstrimya adalah Amerika Serikat. Sedangkan Pemilu di Indonesia berdasarkan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Dasar pemilu di Indonesia tertulis sangat jelas pada sila ke empat Panca Sila; Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi rakyat memilih Pemimpin negeri ini  melalui perwakilan mereka yang disalurkan melalui partai politik, bukan memilih  langsung. Pilpres di negara kita tidak mengenal istilah the winner takes it all, namun berdasarkan azas keterwakilan.

      Sampai disini tentu para pembaca cukup memahami esensi demokrasi liberal dan demokrasi Panca Sila. Akan tetapi sebagian elit politik negeri ini memiliki pola berfikir yang membingungkan. Mereka telah lama terindikasi terjangkit penyakit " contradictio in terminus, yaitu semacam penyakit  ketidaksesuaian antara apa dikatakan dengan yang diperbuat. Istilah santrinya munafik. Orang tua kita atau pendiri bangsa telah menyusun tata cara Pemilu di Indonesia. Mereka mengamanatkan bahwa dalam demokrasi panca sila tidak ada Pilpres langsung, melainkan Pilpres tak langsung. Tetapi pada faktanya, yang dilakukan Pilpres langsung. Mencontoh Pilpres yang berlaku di Amarika Serikat.

     Umpama demokrasi itu dianalogikan sebagai baju, baju demokrasi liberal itu cocok dengan bangsa Amerika yang tubuhnya besar dan tinggi. Sekarang rakyat Indonesia yang tubuhnya kecil dan kebanyakan pendek pendek pula dipaksa oleh pemimpinnya untuk mengenakan baju orang Amerika. Ya pasti kegombrangan dan kedodoran. Jadi lucu kelihatannya.

     Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia, tidak suka dengan demokrasi gaya Amerika. Bukan hanya pada demokrasi Amerika beliau tidak suka, tetapi juga pada makanannya. Ingat kata bung Karno kepada Amerika: " Bangsa    Indonesia tidak suka keju dan susumu itu. Bangsa Indonesia lebih suka peyeum. Go to hell with your aid, pekik bung karno". Pemimpin sejati bangsa yang contoh tauladannya mesti ditiru oleh generasi penerus.

       Memanasnya hubungan antar golongan dalam masyarakat dan mencuatnya kembali politik identitas adalah akibat dari sebuah tindakan yang salah dari elit negeri ini. Sikap arogansi dan " sotoy" mereka, atau sok tahu istilah anak muda, telah  mendorong elit politik menghianati amanat yang dititipkan oleh bapak bangsa, hanya demi meraih kekuasaan. Panca Sila sebagai dasar negera tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. UUD 1945 diubah ubah seenaknya. Krisis politik yang terjadi sekarang adalah akibat penghianatan terhadap nilai nilai yang dititipkan oleh para bapak pendiri bangsa.

       Karena krisis ini terjadi di zaman presiden Jokowi, maka beliau pula yang dapat  menyelamatkan republik ini dari kehancuran yang sungguh nyata ada di depan mata kita. Konflik tidak akan terhindar jika penyelesaianya semata mata mengacu pada azas legalitas formal, melainkan harus mengacu pada wisdom, seperti yang diteladani oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Inilah moment of truth untuk  membuktikan apakah pak Jokowi hanya sebagai presiden atau sebagai  presiden dan pemimpin bangsa.

      Menurut penulis, untuk mencegah konflik yang berkepanjangan ada dua hal yang dapat dilakukan oleh elit negeri ini, yaitu, solusi jangka pendek dan jangka panjang.

1. Solusi jangka panjang : Kembali ke UUD 1945 yang asli, tanpa syarat.

     Ada pihak yang membuat Republik Indonesia tersesat ditengah perjalanan dalam mencapai tujuannya. Mereka lebih suka menggunakan peta jalan  ciptaan bangsa lain, yaitu demokrasi liberal. Padahal founding fathers telah menentukan peta yang menuntun Indonesia ini menuju negara adil makmur bernama  demokrasi panca sila serta UUD 1945 sebagai Juklaknya. Pepatah mengatakan bahwa kalau  tersesat dalam perjalanan, maka kembalilah ke pangkal jalan. Pangkal jalan yang dimaksud adalah Panca Sila dan UUD 1945 yang asli.

2.  Solusi Jangka Pendek: Power sharing

     Power sharing dalam demokrasi liberal tidak ada, karena mereka menganut prinsip the winner takes all. Namun dalam demokrasi panca sila hal itu dimungkinkan.

    Sejatinya konflik sebelum dan pasca Pilpres dipicu oleh "dua pihak" yang mempertahankan nilai nilai yang mereka anut, bukan lagi semata mata pada siapa presiden terpilih. Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto dianggap representasi dari masing masing penganut nilai tersebut. Kekalahan salah satu pihak dalam Pilpres ini diartikan oleh pihak yang kalah sebagai kehilangan martabat. Kehilangan martabat menyangkut harga diri. Jika orang kehilangan harga diri, maka taruhannya besar. Azas legalitas formal tidak akan ada artinya lagi.

     Untuk mengatasi hal itu, maka jika benar Jokowi  memenangi Pilpres tahun 2019, maka beliau harus rela berbagi kekuasaan dengan Prabowo Subianto, begitu juga sebaliknya. Caranya, dengan membagi dua paruh kekuasaan presiden yang berlangsung lima tahun itu. Paruh pertama, 2,5 tahun, pak Jokowi tetap sebagai presiden RI. Paruh berikutnya selama 2,5 tahun, pak Prabowo Subianto mendapat giliran menjabat presiden.  Hanya dengan wisdom yang tidak tertulislah, bangsa ini selamat dari pertikaian yang tak berkesudahan.

    Intinya, konflik yang menyebabkan chaos dapat dicegah dengan wisdom dan menggunakan formula win-win solution. Seperti diajarkan oleh bapak bapak pendiri bangsa. Para pemimpin bangsa harus sesegara mungkin duduk bersama untuk membicarakan power sharing tersebut. Penulis yakin haqqul yakin bahwa dengan kerelaan pak Jokowi dan para petinggi negeri ini dalam berbagi kekuasaan, maka semua pihak di negeri ini  menjadi pemenang. Aceh, Riau, Sumbar, Jambi, Bengkulu dan didaerah daerah lain yang dimenangkan oleh Prabowo pasti menyambut Jokowi sebagai presiden mereka. Sebaliknya daerah daerah Sumut, Lampung, Jateng, Jatim, dan daerah lain yang dimenangkan oleh petahana Jokowi, pasti juga menyambut Prabowo menjadi Presiden mereka. Ngluruk tanpa bala. Perang tanpa tanding. Menang tanpa ngasorake.

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun