Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bertaruh Nyawa demi Sebuah Berita Corona

18 Maret 2020   21:41 Diperbarui: 19 Maret 2020   00:43 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARAFOTO/Muhammad Hamzah

Tidak ada satu pun situasi yang tidak memiliki resiko dan ancaman. Demi sebuah berita akurat virus corona, para wartawan harus mendatangi tim medis, rumah sakit, bahkan pejabat dari daerah terkonfirmasi virus corona. Semuanya bertaruh nyawa. Mengingat wartawan memiliki intekraksi sosial tinggi,  virus akan cepat menyebar kepada beberapa rekan sesama profesi. 

Belum lagi wartawan yang sudah memiliki anak dan istri.  Misalnya pulang ke rumah usai meliput update virus corona dan berkumpul bersama anak dan istrinya. Bayangkan kengerian yang terjadi selanjutnya. Apalagi di saat yang sama, Pemerintah tidak terbuka soal peta penyebaran virus, titik orang yang dalam pengawasan atau bahkan positif Corona.

Sekilas pemberitaan mengenai salah satu rumah sakit lamban memeriksa wartawan istana yang pernah bersama pejabat terpapar virus. Di saat kami cemas takut tertular di lapangan, tidak minimnya ketersediaan alat pelindung diri bagi wartawan peliput berita seram semacam ini. Dari hari ke hari kengerian jadi makanan sehari - hari.

Pemerintah daerah telah mengeluarkan surat edaran untuk bekerja di rumah. Kecuali Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap bekerja di kantor agar pelayanan publik tetap berjalan. Potensi mereka tertular sangat kecil, mengingat ada larangan dinas keluar daerah.

Untuk karyawan swasta sudah memberlakukan kebijakan kerja di rumah. Bagaimana dengan Anda wartawan, tidak mungkin kerja di rumah. Ada rejeki yang harus dijemput, bukan ditunggu.

Bila pembaca ingat di awal Maret, seorang jurnalis salah satu media nasional menggunakan masker saat melaporkan situasi terkini di rumah pasien positif virus corona di Depok, Jawa Barat.

Penampilannya memakai masker itu pun menjadi pembicaraan di media sosial. Masker yang digunakan tampak sophiscated, yaitu masker respirator yang biasanya untuk melindungi diri gas beracun atau partikel berbahaya lainnya.

Para netizen di media sosial pun mempertanyakan. Ada juga yang menganggap berlebihan dan menunjukkan kepanikan. Influencer dr. Tirta turut melayangkan kritik dengan menyebut siaran itu akan membuat publik panik.

Belum lagi Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Dany Amrul Ichdam ikut menyinggung penggunaan masker  yang dinilai menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Semakin tidak enak rasanya muatan kritik membawa-bawa istilah panutan bagi masyarakat. Akibatnya warga pun terpancing membicarakan dan mengolok - olok wartawan karena berlebihan. 

Bukan ingin tampil terkesan heboh atas kabar yang disampaikan, namun karena ketidak sigapan pemerintah memitigasi sejak awal hingga membuat wartawan sulit mendapatkan masker.

Terlepas dari kebobrokan sejak awal, apa yang bisa wartawan lakukan selain berupaya tetap sehat demi sebuah berita update dan terkini langsung dari lapangan. Bukan menunggu rilis pemerintah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun