Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari Krisis Mesir

24 Juli 2013   11:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhirnya, pada tanggal 3 Juli 2013 lalu, kekuasaan Mohamed Morsi pun tumbang. Orang pertama yang jadi presiden Mesir lewat jalur pemilu, dipaksa berhenti oleh militer di bawah Jenderal Abdul Fatah al-Sisi. Tentu saja, ini bukan catatan bagus bagi demokratisasi Mesir. Tapi, Morsi sendiri ternyata berperan besar dalam pembusukan demokrasi di Mesir.

Setelah rejim Husni Mobarak jatuh, rakyat Mesir mengharapkan pemimpin baru yang bisa mempersatukan dan menyejahterakan negerinya. Ketika itu, Morsi di atas angin. Didukung oleh Ikhwanul Muslimin--organisasi terbesar di Mesir--ia juga meraih simpati dari banyak warga lain, termasuk kaum Kristen Koptik dan kaum liberal sekuler. Ini terutama karena janji manis Morsi untuk mengangkat perempuan jadi wakil presiden, dan penganut Kristen Koptik sebagai deputi.

Dalam pilpres pertama tersebut, Morsi pun meraih suara 51,7%. Unggul atas rivalnya, Ahmed Shafik (mantan perdana menteri di era Mobarak), yang kebagian 48,3%.

Tapi selanjutnya, rakyat Mesir dihadapkan pada satu kenyataan pahit: presiden pilihan mereka ternyata mengkhianati amanat. Pertama, dalam hal wakil presiden. Bukan perempuan dan bukan pula Kristen Koptik, melainkan Mahmoud Mekki yang diajukan oleh Ikhwanul Muslimin. Segala muncul gejala yang disebut oleh majalah Time (edisi 22 Juli 2013) sebagai "Morsi ruled as if he were answerable only to his Brotherhood, and to hell with the 48% of the electorate who did not vote for him."

Morsi lupa bahwa demokrasi beda dengan tirani mayoritas (saya sudah pernah menjelaskannya dalam http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/22/kelemahan-demokrasi-429297.html ). Betapapun besarnya suara pihak yang mayoritas, mereka tak pernah boleh menindas hak asasi pihak-pihak yang minoritas. Apalagi, kondisi negara belum stabil seusai revolusi menumbangkan Mobarak.

Ikhwanul Muslimin tidak menyembunyikan ambisinya untuk menguasai segala aspek kenegaraan Mesir, agar ideologinya sendiri berlaku secara mutlak, sementara semua pihak lain yang berseberangan (kaum Kristen Koptik, kaum liberal sekuler, dll) terpinggirkan. Kelompok ini mengisi sebagian besar kursi lembaga pembuat konstitusi baru. Sementara Morsi memayungi agenda tersebut dengan mengeluarkan dekrit yang menempatkan dirinya sendiri di atas lembaga peradilan.


Rakyat Mesir pun terbelah. Ikhwanul Muslimin dan Morsi di satu sisi, sedangkan semua pihak lain di sisi yang berbeda. Kaum Kristen Koptik merasa dikesampingkan. Ini sangat ironis, karena mereka jauh lebih lama eksis di Mesir ketimbang kaum Islam (sekadar informasi, biara Kristen tertua di dunia terdapat di Mesir). Sedangkan kaum liberal sekuler juga tak kalah banyak jasanya dalam melawan rejim Mobarak yang jelas-jelas tidak liberal.

Kondisi ini mirip dengan Iran pasca-revolusi 1979, ketika kaum mullah secara semena-mena meminggirkan serta menindas kaum sekuler yang tadinya bersekutu menumbangkan tirani Shah Reza Pahlevi. Khomeini jadi tirani baru, setelah memecat Presiden Abolhassan Bani Sadr, tokoh sekuler yang dipilih oleh lebih dari dua pertiga rakyat Iran.

Demonstrasi anti-Morsi pun pecah di mana-mana. Kekesalan rakyat makin memuncak ketika Morsi mengangkat gubernur Luxor. Seorang tokoh dari organisasi teroris yang pada tahun 1997 melakukan pembantaian terhadap puluhan wisatawan asing di Luxor, ternyata malah dijadikan gubernur. Saking kecewanya, Menteri Pariwisata di kabinet Morsi sampai mengundurkan diri.

Militer Mesir, yang prihatin terhadap ancaman perpecahan bangsa dan negara, kemudian mengeluarkan ultimatum kepada Morsi. Karena tidak digubris, sebuah langkah berat pun terpaksa diambil: militer memberhentikan presiden hasil pemilu.

Tapi, militer Mesir tidaklah ngawur. Pemerintahan sementara dipegang oleh kalangan sipil. Adly Mansour dari Mahkamah Konstitusi jadi presiden sementara. Wakilnya adalah Mohamed el-Baradei, negarawan yang punya reputasi bagus di mata masyarakat internasional. Lalu, perdana menteri Hazem al-Beblawi pun segera membentuk kabinet baru yang jauh lebih mewakili keragaman rakyat Mesir. Lebih banyak Kristen Koptik, lebih banyak liberal sekuler, dan lebih banyak perempuan. Termasuk perempuan yang memimpin Kementerian Informasi yang perannya sangat vital dalam situasi negara saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun