Mohon tunggu...
Rachmat Willy
Rachmat Willy Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat fiksi

Menikmati hidup dengan membaca, menulis, dan ngeblog. Follow saya di @RachmatWilly pasti di follback.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Wisnu Anak Kelas Satu

27 Januari 2017   12:59 Diperbarui: 27 Januari 2017   13:06 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Krincing…krincing…krincing…” Itu suara uang logam beradu satu dengan yang lain di dalam saku. Saku itu punya Wisnu anak sekolah kelas satu di SD Negeri Kosong Satu di desa Muara Batu. Dengan bangga Wisnu membunyikan beberapa keping uang logam itu di dalam sakunya. Setiap hari Wisnu selalu dapat uang dua ribu rupiah dari ibunya. Bentuknya berupa empat uang logam. Masing-masing lima ratus rupiah. Uang-uang logam itu jarang dihabiskan Wisnu. Lebih sering dia kumpulkan sehingga semakin lama semakin banyak. Kalau sudah banyak, dengan bangga Wisnu menaruhnya dalam satu kantong. Entah kantong kiri atau kantong kanan. Yang jelas satu kantong, biar semuanya terkumpul dan saling beradu dan berbunyi ketika Wisnu melangkah.

Sehari-hari Wisnu tak perlu jajan sebenarnya. Ibunya telah membekalinya dengan sekotak makanan. Makanan itu biasa tertata rapi. Diberi bentuk sesuka hati. Sesuka hati ibunya tentu. Dengan pertimbangan, Wisnu pasti suka. Hari ini berbentuk wajah dengan mata dari ketimun dan mulut dari potongan tomat. Di lain waktu bisa berbentuk beraneka ragam hewan dan tumbuhan. Kalau bentuknya seperti pepohonan rindang maka bisa dipastikan menu kali itu ada banyak sayur mayurnya.

Lonceng SD Negeri Kosong Satu sudah berbunyi. Wisnu bergegas pergi. Melangkah cepat-cepat menuju gerbang pengetahuan. Walau masih kelas satu, Wisnu tampak sangat bersemangat. Seolah dia sudah kelas 6 dan sebentar lagi akan ikut ujian nasional.

Pagi itu kelas tampak ramai. Ada murid baru ternyata. Namanya Anto. Pindahan dari Muara Koto. Sebuah kota besar yang jauh lebih ramai dibanding Muara Batu. Anto terlihat berbeda. Masih mengenakan seragam lamanya. Seragam SD Negeri Kosong Satu tapi logonya bukan Muara Batu. Logonya logo kota Muara Koto. Seragam Anto terlihat lebih berwarna. Tidak sekedar putih-merah tapi ada kotak-kotaknya baik di kemeja maupun di celananya. Belum lagi hiasan pada lehernya. Ada semacam syal di situ. Model pandu-pandu jaman dulu. Syal itu berwarna merah polos dengan banyak emblem tertempel. Semua mata memandang Anto. Namanya anak kelas satu. Guru masih di depan, mereka sudah mengerubungi Anto. Senangnya dapat kawan baru.

“Anak-anak… ayo duduk dulu…” perintah ibu guru terdengar.

“Anto, kamu maju ke depan ya… ceritakan tentang diri kamu ke teman-temanmu ya…” lanjut ibu guru. Anto mengangguk. Seraya maju ke depan kelas. Semua terdiam. Menanti kata-kata dari Anto dengan harap-harap cemas.

Anto bercerita panjang lebar. Rupanya dia anak orang kaya. Dia bercerita tentang Muara Koto. Kota yang besar dengan banyak pencakar langit. Anak-anak di kelas tampak bingung. Apa itu pencakar langit? Kok kasihan sekali langit itu dicakar-cakar? Tapi semua diam. Mengangguk-angguk seraya bilang, “Ooo..” Anto terus bercerita.

Di akhir cerita Anto menyampaikan perasaan sedihnya. Sedih karena karena harus meninggalkan Muara Koto. Sedih karena harus meninggalkan teman-temannya. Padahal baru setengah tahun bersama. Baru kelas satu. Harus pindah kota. Baru kelas satu. Harus pindah sekolah. Namanya juga anak kelas satu. Kelas satu SD. Tiba-tiba seorang anak perempuan maju ke depan. Menepuk-nepuk pundak Anto. Mungkin maksudnya memberi Anto semangat. Hebat betul anak itu. Hebat betul orangtua yang mengajarinya berempati.

Lonceng istirahat berbunyi. Namanya juga kelas satu. Kelas satu SD. Banyak istirahatnya. Istirahat pagi, istirahat makan siang, dan istirahat sore. Istirahat pagi 30 menit, istirahat makan siang satu jam, dan istirahat sore 30 menit. Anto ramai dikerubungi teman-temanya. Tapi Wisnu tak di situ. Wisnu masih di kamar mandi. Begitu lonceng berbunyi, langsung berlari ke situ. Sudah kebelet dari tadi.

Keluar dari kamar mandi Wisnu menuju kerubungan teman-teman. Dengan bangga Wisnu berjalan. Suara uang logam disengajanya agar berdencing berdentang. Anto menatap ke arah Wisnu. Pandangannya lain. Pandangan itu pandangan mengejek.

“Wah.. kami di Muara Koto tak lagi pakai uang logam..” kata Anto. “Itu sudah kuno, sudah berat, malas bawa-bawanya...” lanjutnya. Teman-teman sekelas tampak tertawa. Sambil tertawa, semua merogoh kantongnya. Diam-diam memindahkan uang logam supaya tak saling berbunyi berdentang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun