Mohon tunggu...
Muklis Saputra
Muklis Saputra Mohon Tunggu... Guru - Menjalani profesi sebagai penulis, wirausaha, dan guru

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Patriotik Besi

2 Januari 2017   06:59 Diperbarui: 26 Agustus 2017   13:15 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dunia viva | usnews.com

Dua detik setelah anak buahnya sampaikan sebuah kabar, wajah Jaran cerah macam matahari terbit. Agar terlihat lembut dan berwibawa, agar rasa senangnya yang meledak-ledak juga tak terbaca cecunguknya, dengan suara bariton ia bersabda,”Bawa kemari! Biar kupotong tangan dan kakinya secara bersilang.”

Jaran telah menghabiskan sebagian hidupnya untuk berjuang, menyerukan slogan penghasutan yang mampu mengantongi simpati kaum jelata Desa Ngoya. “Tendang rezim pemalas!” teriaknya sepanjang hari. Didatanginya komplotan-komplotan berandal, orang-orang miskin, pemuda-pemuda labil, dan regu-regu rakyat pengangguran, untuk bersatu menuntut pemimpin Desa Ngoya –yang terlanjur mereka juluki Tuan Lumoh- untuk lengser.

“Jalan-jalan tidak selesai dibangun, penduduk kelaparan, anak-anak tak pandai membaca karena kurang gizi, kita tak punya kerja selain main catur dan menghabiskan kopi Bu Sapirah tanpa sanggup membayar. Ini salah siapa? Tentu ini kutukan atas kemalasan pemimpin desa ini, yang kerjanya membuncitkan perut dan mengganggu isteri petani.” Jaran menjadikan kedai “Boleh Ngutang” milik Bu Sapirah sebagai markas, tempat berkumpul mengampanyekan “tendang rezim pemalas”. Awal-awalnya Bu Sapirah saban hari menggerutu, namun lama-lama tersihir pula oleh retorika Jaran yang memang mempesona. Hingga kemudian berserikat dengan ibu-ibu kelas menengah lainnya untuk menyokong logistik perjuangan Jaran dan komplotannya. Tak hanya itu, suami Bu Sapirah pun turut simpati, siap mengangkat golok demi Jaran.

Perjuangan Jaran tak bisa dikata mudah. Ia pernah ditangkap aparat desa dan dimejahijaukan. Namun, Jaran justru tampil heroik di persidangan. Semacam main drama ia semakin menempati hati penduduk dengan pembelaan jitunya. “Beginilah nasibku, menguras peluh mendorong kemajuan Ngoya, tapi malah dirantai oleh kesewenang-wenangan. Mengapa juga pemimpin gusar dikritisi? Tak perlu buang-buang waktu, bangun jalan segera!” Penduduk berbondong-bondong menuntut pemebebasan Jaran, dan tak lupa memperpanjang lidah Jaran, menuntut agar jalan-jalan segera diperbaiki. Jaran lepas, sedangkan Tuan Lumoh -agar tak terus dimaki penduduk- segera bekerja keras membangun jalan. Dan saat jalan desa membaik, Jaran angkat suara lagi,”Bagaimana bisa desa miskin ini dapat membangun jalan begitu cepatnya? Pasti Lumoh dapat sumbangan dari Desa Sukong, desanya para bandit tanah itu. Jangan-jangan desa kita akan dijual pada Sukong oleh Si Lumoh. Benar-benar keterlaluan. Tendang rezim pemalas!” Penduduk pun berapi-api menyambut seruan Jaran. “Tendang ...!”

Penduduk semakin membara ingin menumbangkan Lumoh, yang dituduh tidak becus memimpin desa, yang kenyataannya memang tidak becus. Unjuk rasa menjadi hal baru yang digemari berbagai kalangan, bahkan ibu-ibu yang bisanya hanya meniupi api tungku pun turut serta pula.

Lumoh, meski pemalas dan tak becus mengurus negara, serta suka main perempuan, namun tak sampai hati jika harus menumpahkan darah rakyatnya. Ia pun menggelar diskusi rakyat, dan dalam diskusi itu suara terkuat menghendakinya lengser. Murung wajahnya mendapati kenyataan bahwa dirinya tak jauh beda dengan anjing kurapan yang tak disukai lagi oleh majikannya. Tapi bukankah dialah sang majikan itu? Maka, seolah baru terbangun dari semaput ia mendekat pada Jaran. “Kuwariskan kepemimpinan ini padamu, tapi dua puluh hektar ladang sengon milik desa ini kau administrasikan atas namaku,” bisik Lumoh di telinga Jaran. Pria tegap berkumis itu pun manggut-manggut menyetujuinya.

Jaran resmi menjadi pemimpin baru Desa Ngoya. Untuk merayakannya, Jaran memaksa seluruh penduduk, dari bayi sampai yang aki-aki, untuk pawai keliling desa. Beberapa yang menolak ditandai rumahnya, dan setelah pawai usai dijemputlah penduduk yang tak patuh itu untuk disiksa.

“Ini peringatan! Siapa tak patuh aturan desa, maka ia penghianat. Harus disiksa lalu diusir.” Seru Jaran berapi-api.

Sebagian penduduk Ngoya melongo dengan apa yang ditetapkan Jaran, tentang aturan-aturan desa yang cenderung tidak masuk akal, misalnya tentang larangan tersenyum di depan Jaran. “Muak kulihat senyum palsumu itu, penuh muslihat!” Jaran menjelma macam raja, yang sekaligus merangkap sebagai hakim, pembuat aturan mutlak, komandan pasukan, dan semuanya, semua yang bisa ia kerjakan tak seorang pun boleh mengerjakannya.

Lewat warung “Boleh Ngutang” milik Bu Sapirah, Jaran sengaja menyelundupkan minuman keras, rokok, dan berbagai jenis candu. Harapannya adalah agar penduduk Ngoya menjadi bodoh dan terbelakang. Hal itu ditambah dengan ditutupnya sekolah-sekolah di Ngoya. Anak-anak belum layak kerja, dipaksa bekerja untuk Jaran, tanpa diupah. Jaran berencana akan menobatkan dirinya sebagai pemimpin Ngoya seumur hidup, serta menjadikan keturunannya sebagai pewaris kepemimpinan itu. Maka, rakyat harus bodoh dulu agar rencanya tersebut dapat menggelinding dengan baik.

“Penindasan!” Seorang pemuda, usinya sekitar dua puluh enam tahun, merasa terbakar oleh tingkah laku Jaran. Maka, menginjak enam bulan masa kepemimpinan Jaran, pemuda berwajah tampan, tampak enerjik dan terdidik, yang bernama panjang Gatot Langit Langit itu memimpin perlawanan. Satu blok penduduk yang dilanda kecewa dinobatkannya sebagai Laskar Patriot, pasukan instan yang mencintai desanya karena terpaksa. Karena pada awalnya mereka tak memiliki alasan untuk mencintai desa, yang mereka mengerti bahwa cinta hanyalah perkara uang dan wanita. Maka, di awal masa juangnya, Gatot Langit Langit sempat menggerutu. “Mengapa Tuhan menciptakan manusia-manusia bodoh macam begini?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun