Mohon tunggu...
Muklis Saputra
Muklis Saputra Mohon Tunggu... Guru - Menjalani profesi sebagai penulis, wirausaha, dan guru

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Berteman Hujan

11 Mei 2017   10:44 Diperbarui: 11 Mei 2017   11:26 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan tidak pernah mengenalnya, namun ia begitu mengenal hujan. Hujan bukan sekedar air jatuh dari langit yang kemudian membuat tanah menjadi becek. Lebih dari itu, baginya hujan adalah sebait syair yang dibacakan berirama dengan suara hati, memekikkan rindu-rindu yang hendak meledak. Di atas sana gemuruh dan awan yang sendu bersepakat untuk turut menjadikan bumi banjir oleh kenangan dalam sekejap. Di saat itulah ia tenggelam bersama suara-suara yang kian meninggalkannya dalam kesendirian sunyi dan terasing.

Habis harinya oleh penantian akan hujan. Jika tidak ada yang memaksanya makan, ia tak akan pernah beranjak dari jendela kamarnya. Menatapi langit, lambaian daun-daun, serta ranting kering yang sama sepertinya, menanti hujan. Kadang-kadang ia berbicara pada benda-benda itu, lalu berakhir marah-marah karena merasa ucapannya tak dianggap.

“Jangan diam saja! Bicaralah padaku! Nanti orang-orang menganggapku gila jika kalian begini terus.”

Namanya Nina, dan ia tidak pernah berencana menjadi gila. Pikiran-pikiran orang lah yang menyeretnya pada keadaannya sekarang, mengambang pada hembusan angin horizontal, antara sadar dan tak sadar. Hanya hujan yang dapat membuatnya tenang, mengembalikannya pada kehidupan manisnya dulu. Saat-saat hari bertebaran madu dan ia dapat menyesapnya sepanjang ia mau.

Yang paling madu di antara kenangannya adalah ketika ia bertemu Mandela Saputra, lelaki apa adanya yang mengungkapkan hatinya seada-adanya. Mandela mencintainya. Dengan kesungguhan yang menggunung, Mandela berjanji akan membangunkan sebuah kebersamaan yang indah. Di bawah awan putih dan awan mendung Mandela akan menanam bunga untuknya, menjadikan ruang hatinya sebagai hamparan taman yang tiada bertepi.

Sungguh malang bagi Nina, naskah hidupnya tidak seperti yang ia tulis. Rasanya baru kemarin ia katakan di kertas putihnya bahwa September ia akan menikah dan berencana memiliki tiga anak yang lucu-lucu. Namun semua kandas saat Mandela menarik ucapannya dengan diawali kata maaf yang diulang-ulang.

Mandela tentu lelaki baik-baik. Ia menjaga Nina seperti ia menjaga kehormatannya sendiri. Ia mencintai Nina seperti tidak ada lagi wanita yang bisa ia cintai. Namun tatapan kedua orang tuanya seperti sebuah jeruji yang membuatnya tak dapat kemana-mana. Ia bisa saja berontak, namun tatakrama yang ia anut menahan dirinya, bahkan untuk mengeluarkan sepatah katapun tidak.

“Bukannya Ibu tidak percaya lagi pada Tuhan, tapi Ibu mencoba melihat sejarah. Lihatlah silsilah keluarga Nina! Tidak bisa, Nak! Ibu mohon batalkan rencanamu menikahi Nina, masih banyak perempuan di luar sana yang akan menerima lelaki setampan dirimu!”

Dari awal sebenarnya Nina khawatir hal ini akan menimpanya, bahkan di hati terdalamnya meyakini ini akan terjadi. Tapi pikirnya, apa salahnya berharap. Ia ingin kehidupan yang normal seperti orang-orang lainnya. Mandela pun berbeda dengan laki-laki kebanyakan yang hanya ingin mengambil keindahan wanita. Mandela tak pernah barang sedikitpun menyentuhnya, ia begitu menghormatinya dan terlihat sungguh-sungguh dengan niat baiknya.

Gadis lembut itu merasa sakit yang terlalu dalam saat Mandela pamit meninggalkan hatinya. Meski lelaki tampan yang rendah hati itu tidak memberinya alasan yang jelas, namun jelas sekali Nina dapat menebak apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu diri. Sangat tahu diri bahwa ia terlahir di tengah keluarga yang aneh.

Nina memiliki ibu yang memliki lima saudara. Jadi, ibu Nina adalah enam bersaudara. Empat darinya adalah perempuan dan dua lainnya adalah laki-laki. Orang-orang menyakini bahwa keluarga ini terkena kutukan, meski kenyataan sesungguhnya tidak ada yang tahu. Semua anak perempuan dalam keluarga ini mengalami gangguan jiwa, sedangkan yang laki-laki tidak. Dari keempat perempuan yang ada, ibu Nina adalah yang paling terakhir menunjukkan gejala penyakit jiwa. Dan ia adalah satu-satunya yang sempat menikah dan dikarunia dua anak perempuan, yang satu diantaranya adalah Nina sendiri. Ifah, yang merupakan saudara kandung Nina pun juga terjangkit penyakit serupa. Puncaknya adalah saat usia pernikahannya baru tujuh bulan yang diawali oleh tragedi keguguran. Semenjak itu orang-orang berpikir bahwa Nina pun akan bernasib sama dengan ibu dan saudaranya kandungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun