Mohon tunggu...
Puspita Kamil
Puspita Kamil Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Obsessed with science and how to communicate it. In love with the works of Al-Jāḥiẓ, A.R. Wallace, Carl Sagan, Garrett Hardin, and Jane Goodall. Enjoys Balinese dance, botanical illustration, flower arrangements, and everything in between.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

2000 to Zero mdpl

12 Januari 2012   03:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan kali ini merupakan perjalanan istimewa. Perjalanan pada 23-27 Desember 2011 ini mengganti 2 trip sebelumnya, Semeru dan Kawah Ijen. Karena naiknya status dua gunung tersebut, kami mencari pengganti trip. Maka pilihan jatuh pada Dieng Plateu atau Dataran Tinggi Dieng. Dataran Tinggi dengan banyak kawasan wisata ini diperkirakan masih memiliki 400 candi di bawah lapisan tanahnya. Maka tujuan utama kami ke sana tentu saja melihat kompleks candi di tengah hempasan udara dingin, camping di sana dan Telaga Warna. Saya memiliki tiga partner kali ini, Dwi, teman sebelah kamar kos saya, Tiko sang wanita gila dan HP, partner sejati saya. Kami memang perpaduan yang aneh dan akhirnya menjadi tim perjalanan lawak. Kawah Sikidang Begitu sampai di Dieng, kami masuk kawasan Candi Arjuno dan menikmati banyak candi. Udara dingin semakin membuat lapar dan mengantuk. Rasa lelah semalaman di kereta juga memaksa kami ingin segera beristirahat. Namun, kami semakin tertarik masuk dan menjelajahi seluruh kawasan Dieng. Setelah puas melihat candi, kami berjalan jauh menuju Kawah Sikidang. Kawah ini merupakan salah satu kawah utama di Dieng. Saya melihat kawah berisi belerang panas yang menggelegak. Rasanya seperti akan menelan apa saja ke dalamnya. Sulfur menyengat masuk ke dalam hidung bersama udara.

Menerabas Setelah melihat kawah kami masuk pasar. Kami mencari beberapa bahan masakan yang belum kami beli di bawah tadi. Ada kentang kecil dengan harga 2500 rupiah per kilo! Maklum, Dieng adalah penghasil sayur mayur. Setelah membelinya saya melewati pedagang edelweis. Sampai kapan bunga ini terus dipetik dan hanya akan menyisakan gundulnya padang edelweis? Kami kembali dengan menerabas jalur yang tak semestinya. Jangan dicontoh, karena kami kira ini adalah daerah tanah padat, ternyata rawa basah. Ada sungai juga yang melintas.Tak tahunya, daerah tersebut memang terlarang untuk dilewati. Maafkan kami wahai penduduk setempat. Heheheh.
Telaga Warna Selanjutnya tentu saja, Telaga Warna. Kawasan telaga ini menyimpan sensasi mistis tersendiri dengan semburat hijau toska di airnya. Kami mencari jalan melewati daerah semedi Soekarno untuk mencari tempat tinggi hanya untuk menikmati telaga ini. Susah payah mendaki dan memanjat, tak tahunya ada tangga menuju kawasan tersebut. Kami merasa bodoh seketika. Kami kemudian turun kembali ke daerah candi untuk mendirikan camp. Akhirnya kami mendapat tempat yang diijinkan untuk mendirikan camp, tepat sebelah salah satu candi pemujaan. Parangtritis menanti kami jelajahi esok hari.
Senja di Parangkusumo Esoknya kami menuju Parangkusumo, salah satu deretan pantai Parangtritis, mencari daerah padang pasir bernama Gumuk Pasir. Kawasan ini cukup terkenal karena seharusnya tidak ada padang pasir di sana. Hanya menemukan pantai Parangkusumo, kami mendirikan tenda karena hari semakin gelap. Ternyata setelah pulang ke Jakarta dan melihat Google Earth, Gumuk Pasir hanya terletak di sebelah tempat saya menidrikan tenda. Zzzzz. Kami melihat bintang, dan beristirahat. Sementara Dwi dan Tiko masih terus bercengkrama sampai dini hari, saya mencoba tidur.
Lapangan Parangkusumo Esok paginya kami bangun pagi. Saya dan HP memasak, Dwi tidur di luar (lagi), dan Tiko menghilang. Kami harus menuju Kroya pagi ini untuk naik kereta dari sana. Bis yang kami tumpangi menuju Kroya amat kocak, bermacam kejadian ada di sana. But yeah, it was traveling. Rasanya justru aneh kalau tidak ada kejadian aneh. Haha. Sampai di Kroya kami masih punya waktu 2 jam. Kami wisata kuliner di dekat pasar stasiun. Satu hal yang membuat saya kagum, meski sang pedagang tahu kami dari Jakarta, harga minuman dan makanan yang kami beli tidak dinaikkan, masih tetap murah. Aih, kayaknya Bapak itu mengerti kalau kami backpacker. Haha. Kami mandi di stasiun lalu kemudian menuju Jakarta. Ini merupakan perjalanan paling on time yang pernah saya jalani. Menuju jalan pulang, kami banyak mendiskusikan filsafat, dan sampai pada satu kesimpulan: jangan bertanya mengapa orang lain melakukan ibadah dan agama berbeda dengan cara yang kita lakukan, karena tiap orang pasti memiliki pemahaman dan indikator tersendiri untuk melakukan cara beragama. Biar kita melakukan apa yang kita anggap baik. Jangan persepsikan Tuhan secara komunal, tapi secara individual. Visit my another blog.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun