[caption caption="Chatib basri. dokumentasi pribadi. "][/caption]The Economist membuat suatu ilustrasi dalam bentuk karikatur tentang situasi global saat ini. Dalam karikatur tersebut, seorang pebisnis datang menemui seorang peramal, dan bertanya, “Apa sih yang dipikirkan oleh Donald Trump?” Di saat yang bersamaan, di ruangan yang berbeda, duduk seorang pelanggan lainnya. Pelanggan itu bertanya kepada peramal, “Apa sih yang sedang saya pikirkan?” Ya, pelanggan lain tersebut adalah Donald Trump.
Ilustrasi tersebut menggambarkan betapa tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi dalam perekonomian global. Semua orang mengira-ngira, mereka-reka kebijakan US berdasarkan pidato-pidato Trump pada saat kampanye saja.
Setidaknya, yang kini dikenal dengan Trumponomics bertumpu pada ekspansi fiskal berupa peningkatan government spending (belanja pemerintah, utamanya infrastruktur) disertai dengan pemangkasan pajak (yang akan menyebabkan inflasi). Hal ini secara langsung akan berdampak pada defisit anggaran US yang akan semakin membesar. Untuk membiayai defisit tersebut, pemerintah US akan menerbitkan utang. Agar utang ini menarik, dan juga untuk mengendalikan inflasi, tentu suku bunga harus dinaikkan. The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga 2 atau bahkan 3 kali tahun ini.
Di sisi lain, ada negara-negara yang menerapkan negative interest rate. Swiss, Swedia, dan Jepang pernah menerapkannya. Ide dasar dari negative interest rate adalah bank akan punya suku bunga negatif, sehingga bukan malah mendapat bunga, deposit akan dikenakan biaya. Hal ini akan memacu pemilik modal mengarahkan uangnya ke luar. Indonesia dengan makroekonomi yang relatif stabil, rate yang juga lebih tinggi akan menjadi tujuan menarik. Sehingga ada capital income yang masuk ke Indonesia dan membuat nilai rupiah terkerek kembali.
Nilai tukar Indonesia akan ditentukan dari tarik-menarik dua kekuatan tersebut.
Sementara itu, adanya kesepakatan OPEC untuk memangkas produksinya, lambat tapi pasti menaikkan harga minyak, yang telah melebihi 53 dolar/barel. Harga komoditas pun mengalami kenaikan, namun tidak terlalu drastis. Tidak ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga karena daya beli/ konsumsi masyarakat masih rendah, pebisnis berpikir tidak akan menaikkan kapasitas produksinya.
Naiknya harga minyak dan komoditas nonmigas berpotensi menaikkan penerimaan negara. Namun, yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana China dapat bertahan dari rencana proteksionisme dagang AS. Ancaman terbesar terjadi jika China mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Jika ekonomi China melambat 1% saja, maka pengaruhnya akan sangat besar hingga mencapai 0,7% PDB Indonesia.
Salah satu cara mengantisipasi proteksionisme dagang itu adalah dengan meningkatkan kerjasama antarnegara ASIA sendiri, terutama antarnegara ASEAN plus Australia.
Dengan beberapa informasi di atas, Indonesia seharusnya optimis ekonomi akan tetap tumbuh. Namun, apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 6% tahun ini? Hanya 5% saja sudah sangat baik, kok.