Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kupang dan Ruteng: Dua Doktor di Dua Kota Kotor

17 Januari 2019   17:20 Diperbarui: 18 Januari 2019   03:28 2426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: POS KUPANG/GECIO VIANA

Surabaya di bawah kepemimpinan, Walikota Ibu Risma. Surabaya kota besar. Itu kota, sanggup meraih perhatian dunia. Surabaya pantas bagi bertumbuhnya peradaban manusia  beradab.

Risma, belum meraih gelar sampai di batas gelar tertinggi. Risma membangun kota Surabaya. Aparatur penyelenggara negara dibuatnya enteng bekerja dan sehat berhubungan satu dengan lainnya. Dia pun tanpa tedeng aling-aling menempatkan stafnya pada posisi yang tepat. 

Prinsip Merit System sebagaimana diterangkan Max Weber diterapkan serius dan konsisten. Maka staf inti di lingkungan kekuasaannya adalah para the right man on the right place. Tak ada hubungan dengan balas jasa dan balas dendam politik. Tak pula ada pertimbangan sopan santun untuk penempatan di posisi yang diperlukan. Risma tegas, lugas dan terutama tidak korup. Impiannya sederhana, buat rakyat senang dan tinggal di kota yang menyenangkan.

Jangan salah kira. Di tempat lain ada pemimpin bergelar doktor. Kota dan kabupaten yang dipimpinnya berubah luar biasa, spektakuler. Sebut saja, Kabupaten Bantaeng ketika dipimpin DR.Ir. H.M. Nurdin Abdullah,M.Agr.

Pak Nurdin bekas dosen. Dia pernah pimpin perusahaan berkelas dunia. DR. Kamelus Deno, mantan dosen Undana, konsultan handal untuk pembuatan aturan main yang tidak main-main. DR. Jefry Riwu Kore, mantan Direktur Perusahaan di Jakarta, mantan anggota DPR RI. Pengalaman internasionalnya luas. Di dalam lingkungan keluarganya, tradisi komunikasi berbahasa Inggris adalah biasa.

Apa yang salah hingga kisah Surabaya, Bantaeng dengan ceritera Ruteng dan Kota Kupang bisa lain?  Dari kisah individual tentang Risma di Surabaya dan Pak Nurdin di Sulawesi, ditemukan dua tokoh ini rendah hati dan open mind. Keduanya sensitif terhadap realitas sosial rakyatnya. Berpikiran terbuka,  gemar mencari dan menemukan jalan terbaik dan tercepat. Inovatif, kreatif dan dinamis positif. Sangat obsesif dengan perubahan besar.

Gelar yang dipunyai bukan sekadar dipajang di nama individual, untuk menambah sedikit keangkeran sosiologis, tetapi juga digantung di rak tanggung jawab sosial yang paling hina di kehidupan rakyat. Diyakini, kapasitas individu akhirnya tidak ditentukan gelar yang diperoleh, melainkan  diuji kebenaran substansial akademis melalui kelola masalah di dalam periuk sosial agar matang dalam ujian sosial.

Jika kita tak sanggup melahirkan kota bersih, sehat dan sejahtera, maka benarlah sinisme sosial Thomas Fuller. Kata dia: Kebodohan bertumbuh tanpa perlu disiram.

Namun, kata saya, dua doktor pemimpin di dua kota kotor, adalah dua orang cerdas NTT yang  agak sedikit menunda  kebaikannya. Diperlukan sedikit kesabaran, karena perubahan itu segera menjelang tiba tanpa iba. Bukankah orang Indonesia suka beragama dan cukup sopan mengatur ujar: "Orang sabar dikasih Allah".

Saya membela dengan menggunakan opini arif orang-orang Spanyol. Kata pepatah Spanyol, lebih baik lambat daripada terburu-buru. Saya duga, itulah yang diyakini DR. Kamelus Deno dan DR. Jefry dalam berurusan dengan dua kota kotor NTT ini. Keduanya, saya lihat, tokoh baik adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun