Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kupang dan Ruteng: Dua Doktor di Dua Kota Kotor

17 Januari 2019   17:20 Diperbarui: 18 Januari 2019   03:28 2426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: POS KUPANG/GECIO VIANA

Diundang rapat jam 08.00 pas, misalnya, datang jam 09.00 dan rapat dimulai jam 10.00 atau molor jam 11.00. Biasa saja. Bahkan perihal lambat datang kadang dianggap keunggulan. Makin lambat datang dianggap sebagai salah satu takaran jenjang kepangkatan dan kehormatan sosial. Makin datang terlambat, kian tinggi posisi sosial.  Yang datang terlambat dianggap orang penting.

Hubungan lintas personal antarorang kampung dikemas dalam relasi komunal untuk menjaga harmoni nan kuat dan mesra di antara mereka. Bagi manusia kampung, membagi rejeki hasil kerjaan individual pun dianggap biasa dan selalu biasa membagi kebaikan di antara mereka. 

Sebetulnya, korupsi dapat ditelaah dari sudut pandang ini juga. Di Manggarai dikenal cimpa, yaitu memberi tetangga hasil buruan atau hasil pertanian atau membagi bersama hasil buruan.

Sikap santun orang kampung adalah tabiat normatif. Memang agak sulit dibedakan, bersikap santun atau munafik. Mereka pun percaya mistik. Percaya ada kekuatan gaib yang mengatur hidupnya.

Jika ada orang sakit dan sakit-sakitan tak kunjung sembuh, sertamerta dikaitkan dengan kemungkinan peristiwa lain. Misalnya, orang sakit-sakitan itu mungkin tak menaruh hormat entah kepada  nenek moyang atau kekuatan lain yang tak tampak.

Seolah-olah nenek moyang itu tidak pernah lelap tidur. Mereka gelisah menunggu gugusan kebaikan dari turunannya yang sedang memgembara di dunia ini. Nenek moyang menanti dalam ketidakpastian, sehingga dia gelisah dan sibuk mengirim energi buruk kepada para turunannya. Dukun, saat itu mulai laku keras.

Manusia kampung mengatasi masalah itu dengan memohon petuah dan petunjuk dukun. Dukun diyakini memiliki kesanggupan lebih. Dukun unggul karena dia sanggup berkomunikasi dengan alam gaib dan juga tajir mendengar bisikan para nenek moyang. Sebutan nenek moyang di sini, tidak harus selalu berarti moyang itu berjenis kelamin perempuan.

Karena itu, tidak mengherankan kalau petuah para dukun dipatuhi seperti hukum alam. Dukun seolah-olah pustaka kebenaran, ensiklopedi kepastian, dan pusat informasi jitu dari alam gaib. Tampang fisik dukun kadangkala tak jauh beda dengan para pencari dukun. Sama dekil, dan sama-sama berhuruf buta.

Air ludah dukun pun ditelan si penderita saat minum  air penyembuhan yang disuguh dukun. Tampilan fisik dukun pun kecuali mengesankan, tutur katanya pun bernuansa magnet misterius.

Kadangkala, kelakuan dukun dan proposalnya merepotkan orang kampung. Tetapi toh titah dukun harus diikuti jika si sakit ingin lekas sembuh.

Lihatlah! Semburan dan percikan air sirih pinang dan ludah dukun dinikmati para pesakit saat menelan air yang diduga telah berkekuatan jampi-jampi penyembuhan. Intinya, mereka tidak perlu tafsir cermat tentang ludah dukun sebagai ancaman hadirnya penyakit lain. Pokoknya, telan saja, tutup mata. Minum saja dengan sedikit tambahan rasa asin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun