Penghujung tahun 1979, ada even besar sastrawan Nusantara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kalau orang-orang datang dengan undangan, aku hanya berbekal nekad. Aku bukan orang ngetop, bukan sastrawan, tidak pula terikat instansi swasta atau pemerintah. Pokoknya nekad!
"Hm, inilah TIM, tempat para seniman Ibukota kongkow-kongkow," gumamku ketika berdiri di depan pintu gerbang TIM siang itu.
Itulah pertama kalinya aku akan menjejakan kaki di TIM, markasnya para seniman. Seorang Satpam berkumis baplang mencegat langkahku di depan pos keamanan.
"Mbak mau ke mana? Mau bertemu siapa?" tanyanya memandang curiga. Hmm, tongkronganku sungguh tidak meyakinkan ‘kali, ya?
"Eh, ya, mau masuk ke dalam. Mau lihat-lahat saja, boleh kan?"
Satpam lainnya ikut nimbrung. Hih, interogasi nih?
"Lihat KTP-nya, Mbak...."
Wuaduh, matilah daku!
Ini dia masalahku, KTP-ku sudah kadaluarsa. Jujur saja, aku paling alergi kalau sudah berurusan dengan birokrasi. Biasanya aku minta tolong pamanku di bale Desa untuk mengurusnya. Tapi belakangan itu aku sendiri jarang di Cimahi.
Saat aku celingukan dan rikuh begitu, tiba-tiba serombongan mahasiswa IKJ menyelusup sambil rame ngobrol. Salah seorang di antaranya seketika merandek dan memperhatikan aku.
"Hei, Anda ini... ehem! Kalau gak salah Pipiet Senja, ya kan? Dari Cimahi itu, kan?" anak muda itu, sebayaku, menyapa dengan ramah.