Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PAN, Reformis Setengah Hati

22 Juli 2017   06:50 Diperbarui: 24 Juli 2017   12:01 1917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ingat artikel lama melihat perilaku PAN saat membahas UU Pemilu. Mendapat menteri namun berbeda ketika ada persoalan yang membutuhkan kekuatan di parlemen. Hal ini bukan hanya sekali ini, tapi kesekian kalinya mereka berbuat yang sama. Tidak heran rekan sesama di pendukung pemerintah meradang. Apalagi mereka ini "rival" utama di dalam pilpres, eh sekarang malah mendapat kursi, coba apa tidak pusing yang merasa bekerja sejak awal harus "dirampas" mereka? Ditambah perilaku mereka terus menerus seperti itu?

Enak dong kalau di dewan mendapat kursi padahal dulu juga "menelikung" pemenang pemilu, eh di eksekutif pun tidak ada bedanya.  Mendapatkan kursi namun perilakunya tidak sejalan. Perbedaan di dalam berpolitik itu jelas ada, namun tentu dibarengi dengan etis, bukan kemudian membenarkan jalan demi hasil, katanya antifasis kog mengikuti jalannya?

PAN merupakan anak kandung reformasi, beda kandungan dalam diri seperti P3, Golkar, dan PDI, produk masa lalu, yang alamnya memang seolah-olah demokrasi. Reformasi yang digulirkan adalah mau menepis kolusi, korupsi, dan nepotisme. Demokrasi yang dulunya seolah-olah hendak dibangun dengan menepikan KKN yang begitu kuat mencengkeram. Salah satu sarananya adalah lahirnya partai politik yang selama orde lalu dibungkam. Partai yang menggunakan nama nasional itupun masih patut diragukan kualitas  nasionalisnya, apalagi melihat sepak terjangnya hingga detik ini.

Kekuasaan, jabatan, dan eksekutif menjadi motivasi partai politik

Miris sebenarnya ketika parpol hanya berorientasi pada jabatan eksekutif, kepala daerah, menteri, bahkan presiden dan wakil presiden semata. Pada dasarnya mereka adalah kader untuk menjadi legislator, bukan malah menunjuk ke eksekutif. Eksekutif itu sejatinya ranah birokrat karir jauh lebih baik. Benar bahwa menteri dan presiden dan kepala daerah pun cenderung jabatan politik. Di sinilah kekacauan sistem politik di negeri ini. Sistem presidensial namun dewan pun merasa jauh lebih berkuasa dan merasa bisa segala-galanya. Jangan kaget kalau ada menteri yang lowong atau mau pemilihan menteri, kader-kader yang duduk di dewan pun bermanis-manis untuk bisa dilirik agar duduk di kabinet. Mengapa begitu seksi eksekutif?

Budaya feodal yang melihat bahwa kekuasaan itu kehormatan dan jaminan hidup. jelas ini produk feodal yang masih mengakar kuat. Orientasi mereka adalah jabatan dan pemerintahan, istilah penjajah dulu pegawai gubermen.Parlemen hanya pilihan kedua dan seterusnya, bahkan DPR pusat pun rela turun menjadi bupati atau walikota.

Jaminan materi dan uang ada eksekutif. Ini jauh lebih payah jika demikian artinya mereka mau bancaan uang dan anggaran dari sumbernya langsung. Jauh lebih parah daripada sekadar kehormatan dan jabatan, karena orientasinya maling anggaran.

Eksekutif ATM partai politik. Tidak perlu heran dan kaget jika ini yang menjadi tujuan berdirinya partai politik. Lahan basah di kementrian tentu akan menentukan roda organisasi mereka lebih kencang melaju. Ini harus diubah.

Sikap mau menang tanpa mau menanggung risiko kalah dalam berdinamika politik. Sikap ini yang membuat partai politik main dua kaki, munafik, dan bahkan culas. Menggunakan segala cara yang penting mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Kedewasaan berpolitik yang masih rendah. Sikap untuk mencari kekuasaan tanpa mempertimbangkan etis yang sama sekali tidak pernah menjadi pertimbangan. Yang penting dapat kekuasaan dan turunannya.

Sikap PAN demikian tentu lahir karena kondisi perpolitikan di sini memang demikian. Tidak heran Presiden Jokowi yang berbicara diplomatis dan normatif, mengatakan kalau PAN mendukung penuh pemerintah, meskipun dalam pilihan UU Pemilu berbeda sikap. Tidak ada yang salah, karena tentu presiden tidak akan menjerumuskan pemerintahannya sendiri dalam polemik. Ini tidak masalah memang, tataran etis tentu sangat tidak etis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun