Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demo 121, Kontraproduksi bagi Hidup Berbangsa dan Bernegara

12 Januari 2018   06:37 Diperbarui: 12 Januari 2018   08:30 2699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demo 121, kontraproduksi bagi hidup berbangsa dan bernegara. Ingat ini kepentingan sekelompok orang yang bernama FPI, ingat besar-besar bukan soal agama.  

Coba dipikir dengan kepala waras dan jernih, kalau orang numpang di rumah orang, mau sementara atau terus menerus, tanpa kontribusi, artinya tidak bayar, tidak ikut merawat, hanya hidup di situ, eh malah ngamuk saat disurh pergi, karena tidak mau ikuti aturan yang punya rumah. Mana yang waras coba?

Demo, sejatinya sah-sah saja  bagi alam demokrasi, tapi juga lihat kepentingannya lah. Jangan demi sekelompok orang, merugikan lebih banyak kelompok. Apa sih urgensinya dengan berdemo dengan alasan yang sangat jelas dan mendasar kog pemblokiran akun itu. Memangnya bisa menekan orang atau lembaga lain dengan modal dan model yang itu-itu saja.

Reputasi panjang mengenai "pelanggaran hukum dan ketentuan" dan kekerasan tentu menjadi alasan yang cukup kuat bagi pihak FB untuk mengambil tindakan. Toh sudah banyak juga yang dibawa ke ranah hukum positif hidup berbangsa dan bernegara. Perilaku mereka sendiri yang memang tidak patut, bukan malah menuduh pihak lain sebagai pelaku penindasan dan ketidakadilan.

Dalam sebuah buku spiritual disebutkan, orang, jelas lembaga juga, kalau merasa selalu mendapatkan ketidakadilan, perlu melakukan cek ke dalam diri, ada masalah apa, keberanian untuk melihat hal ini, jujur pada diri sendiri, akan ketemu masalahnya di mana. Sering orang akan mencari-cari ke mana-mana padahal kotoran ayam itu nempel di pipi. 

Pantes baunya di mana-mana karena memang ikut itu. Nah di sinilah masalah itu, bukan pada siapa-siapa. Selalu saja menuduh pihak lain sebagai merugikan, ketika dikritik ngamuk dan melakukan intimidasi secara berlebihan.

Mengapa perlu bersikap reaktif dan berlebihan, tidak pernah mau memeriksa diri dulu? Karena bawah sadarnya sudah tahu kalau dia itu sebenarnya bermasalah. 

Tidak berani mengakui dan jujur dengan diri sendiri, akhirnya berlku reaktif, menuduh orang yang merugikan mereka, pembenaran atas perilaku buruk mereka biasanya mencari teman yang sama-sama memiliki persoalan. Ketika pribadi-pribadi demikian yang mengelola organisasi, ya kelihatan arah, warna, dan coraknya.

Masukan akan dinilai dan dipahami sebagai permusuhan, mengapa? Karenaa apa yang diukurkan itu, adalah takaran perilaku mereka. Baju tidak akan diukur oleh badan lain bukan?

 Dan itu selalu demikian karena tidak ada yang menyadarkannya. Semua memahami, mengalah, dan selalu memberi fasilitas.  Mengalah dalam konteks demikian dinilai kalah dan selalu ditindas.

Apa yang dilakukan jauh lebih merugikan daripada manfaat yang mereka berikan. Bagaimana bisa melakukan demo yang sering berakhir ricuh dan merusak, membuat jalanan macet, itu bukan semata warga Jakarta, di sana juga banyak orang asing yang tentu jadi miris, ini Jakarta apa hutan dengan hukum rimbanya sih? Demo sih demo, tapi juga yang jelas lah agendanya, apa yang mau dibela, bukan dikit-dikit demo, boikot, tapi masih juga memakainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun