"Kamu harus berkaca. Kamulah yang harus menerima pernyataan itu. Jangan sok suci dan benar." sergah saya.
Beberapa tetangga ternyata mengintip pertengkaran saya dengan diri saya sendiri. Merasa menjadi bahan tontonan, saya makin bersemangat.
Saya hujat diri saya yang ngeyel itu. Sampai dia tidak bisa berkata-kata lagi.
Ketika pintu terbuka, beberapa orang memegangi tangan saya. Saya berontak tentu saja.
"Maksudnya apa hah. Kenapa kalian meringkusku!! Bajingan. Lepaskan!" saya meronta sekuatnya. Berteriak sekuatnya.
Diri saya yang ngeyel itu tertawa terbahak-bahak. Karena tangan saya diringkus beberapa orang, saya semprot langsung dengan makian paling mematikan.
"Dasar komunis. Dasar teroris. Monyet. Anjing. Anak haram." dan lainnya, saya teriakkan sekeras-kerasnya.
Mereka menyeret saya dari rumah saya sendiri. Puluhan orang menumpuk di depan rumah. Saya diseret menuju ambulans.
"Bawa saja Merdeka ke RS. Jiwa Bahagia. Memang dia sering kumat." ujar salah seorang tetangga.
Mulut saya dilakban. Saya hanya merutuk dalam hati. Berteriak sekeras-kerasnya.
"Namanya Merdeka. Gangguan jiwa semenjak gagal menjadi anggota dewan." ujar seseorang yang wajahnya saya ingat, tapi lupa namanya. Ia mengatakan pada perawat yang menatap saya dengan tatapan penuh Cinta.
Jemundo
19/8/2019