Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Belajar Ejaan dari Plang

14 Oktober 2019   20:57 Diperbarui: 15 Oktober 2019   03:30 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari nuelacipedes.blogspot.com

Saya selalu berusaha sekurang-kurangnya menulis kata, frasa, dan kalimat dengan ejaan yang benar saat beraktivitas menulis. Sebab, saya merasa ada yang selalu salah dalam tulisan saya. 

Kata-kata yang sering saya gunakan barangkali tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi, kata-kata yang baru kali pertama saya gunakan, saya harus berhati-hati, karena sering bermasalah. 

Untuk menghindari kesalahan ejaan, saya sering memanfaatkan buku panduan, yaitu Tata Bahasa Baku. Terhadap kata-kata yang jarang saya gunakan, saya harus mengingat-ingat karena takut kalau mengalami kesalahan dalam hal ejaan. Saya sering lupa. Oleh karena itu, saya berusaha belajar.

Kenyataan yang saya alami dialami juga oleh anak-anak didik saya. Barangkali itu sebabnya mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia diajarkan kepada anak-anak didik. Sekalipun tentu saja tidak hanya melulu aspek ejaan. 

Mapel Bahasa Indonesia diajarkan untuk mendalami aspek kebahasaan dan kesastraan. Akan tetapi, karena dalam tulisan ini hendak membahas ejaan, maka aspek yang disinggung sebatas ejaan bahasa Indonesia. Apalagi, hampir setiap hari saya menemukan kesalahan ejaan yang dialami anak-anak didik saya. 

Kesalahan itu bisa saja berhubungan hanya dengan kata tertentu. Maksudnya, ketika suatu hari mereka menulis kata tertentu salah ejaannya, terhadap kata yang sama salah ejaannya pula pada hari yang lain. Hal itu tidak dialami oleh satu-dua anak, tetapi banyak anak.


Kejadian itu bukan karena saya tidak mengajarkan ejaan. Saya sudah mengajarkan ejaan bahasa Indonesia yang benar kepada mereka. Karena faktor kurang berlatih, kesalahan itu terjadi berulang-ulang. 

Selain itu, entah ini benar atau salah, adanya anggapan bahwa bahasa itu yang penting komunikatif. Jadi, selama bahasa yang ditulis itu maksudnya tersampaikan dengan jelas, dianggaplah sudah cukup. 

Faktor ini memungkinkan seseorang, termasuk anak-anak didik saya, kurang memperhatikan aspek ejaan.

Hal itu, menurut saya, dialami juga oleh sebagian besar guru. Di sekolah tempat saya mengajar, beberapa teman guru melakukannya. 

Jadi kesannya, sebatas yang penting "maksud" atau "pesan" yang disampaikannya dapat diterima secara jelas oleh anak-anak. Hal tersebut sebetulnya tidak bermasalah kalau komunikasinya dilakukan secara lisan. 

Akan tetapi, menjadi bermasalah kalau komunikasinya dilakukan secara tulis. Pesan dapat diterima secara jelas sekaligus  penulisan yang benar akan jauh lebih bermanfaat, yaitu sebagai upaya edukasi berbahasa. 

Sebab, penerima pesan (anak didik) kecuali mengerti isi pesan, juga memahami kaidah berbahasa tulis.

Gambaran di atas sebetulnya hendak menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah mempelajari ejaan bahasa Indonesia yang benar. 

Oleh karena itu, kita patut bersyukur kalau ternyata di tengah-tengah masyarakat ada orang atau badan yang memiliki kepedulian terhadap penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang benar. Coba Anda sesekali mencermati papan identitas (plang) di apotek saat Anda antre membeli obat. 

Plang itu ditulisi kata apotek atau apotik? Kalau plang itu ditulisi apotek, tentu diikuti kata yang menandai nama apotek, orang atau badan usaha yang memiliki apotek itu sudah pasti peduli terhadap ejaan bahasa Indonesia yang benar. 

Ada contoh lain yang dapat kita inventarisasi. Misalnya, kata museum (di papan penunjuk menuju museum), praktik (di plang tempat praktik dokter), dan dr. (singkatan dokter yang umumnya terpampang di papan informasi di rumah-rumah sakit). 

Intinya, sekarang sudah mudah ditemukan tulisan-tulisan dengan ejaan yang benar di plang di tempat-tempat terbuka dan lokasi-lokasi pelayanan masyarakat.  

Dahulu, hampir semua plang sebagai penanda sesuatu, yang mudah terlihat oleh mata, tidak terisi teks dengan ejaan yang benar. Sepertinya asal ditulis, yang penting komunikatif. Sisi artistik memang diperhatikan. 

Jadi, masyarakat mengerti maksudnya dan nyaman saat membacanya saja, dipandang sudah layak. Plang tersebut dipajang dalam waktu yang lama. Bisa bertahun-tahun. 

Ketika rusak, diganti dengan papan yang baru dengan teks dan ejaan yang tidak berubah. Yang,  berarti kesalahan berbahasa terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, orang yang membaca  memiliki pengetahuan yang salah.

Sangat disayangkan hal tersebut bisa terjadi. Ejaan yang Disempurnakan (EYD) yang sudah ada sejak 1972, tidak digunakan sebagai pedoman. Sehingga waktu itu banyak ditemukan tulisan atau teks dengan ejaan yang salah di papan-papan identitas. 

Misalnya, kata apotik (di semua apotek), kata praktek (di tempat praktik dokter), frasa awas banyak anak-anak (di ujung jalan masuk gang), dan singkatan P.T. (di perusahaan-perusahaan).

Saat ini, ketika EYD sudah berubah menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), tulisan atau teks dengan ejaan yang salah di papan-papan identitas masih dapat kita jumpai. 

Akan tetapi, di beberapa tempat sudah dapat kita temukan teks dengan ejaan yang benar. Fenomena tersebut menandakan bahwa kesadaran menggunakan bahasa Indonesia yang benar sudah mulai tumbuh di kalangan masyarakat meskipun baru sebagian kecil. 

Di beberapa tempat praktik dokter,  apotek, dan  papan informasi di rumah-rumah sakit, sudah dapat kita temukan ejaan yang benar. 

Penulisan kata praktik, apotek, dan dr.(singkatan dokter), misalnya, sudah benar. Kenyataan tersebut saya temukan di daerah tempat saya tinggal. Ketika saya bepergian ke beberapa daerah, saya menjumpai pemandangan  serupa. 

Di beberapa lokasi di daerah tersebut, teks di papan-papan identitas sudah menggunakan ejaan yang benar. Saya meyakini di daerah Anda pun dapat ditemukan papan-papan identitas dengan teks yang berejaan benar.

Adanya plang dengan ejaan yang benar dan salah di ruang-ruang terbuka, yang dapat dipastikan hingga sekarang masih ada, bagi sebagian orang tidak menjadi masalah. 

Sebab, umumnya kedua-duanya masih komunikatif, yang berarti petunjuk yang dimaksudkan dalam plang itu tidak membingungkan orang. 

Akan tetapi, bagi sebagian orang, lebih-lebih mereka yang terpelajar dan kritis terhadap fenomena-fenomena di sekitar, hal itu merupakan masalah yang menggelisahkan. Namun, justru pada titik kegelisahan itulah yang memungkinkan mereka  membangun diskusi bahasa. 

Di mana dan kapan saja. Di warung-warung kopi, tenda-tenda nasi kucing, warung makan siap saji, sanggar budaya, dan taman-taman kota; saat pagi, siang, sore, dan malam mereka dapat berdiskusi secara santai.  

Papan-papan identitas di tempat-tempat terbuka, dengan demikian, dapat menjadi media mendalami ilmu kebahasaan. Sebab, pada akhirnya mereka akan mengetahui mana yang benar dan salah.

Disadari atau tidak, sekolah (dalam hal ini guru, lebih-lebih guru mapel Bahasa Indonesia) akhirnya terbantu juga. Sebab, bukan mustahil anak-anak didik sudah memperoleh ilmu kebahasaan dari lingkungan pergaulan mereka. 

Atau, setidak-tidaknya mereka digelisahkan oleh temuannya. Mengapa ada ejaan yang begini, ada yang begitu untuk kata tertentu. 

Sebagian anak ada yang tidak menanyakan kegelisahannya itu kepada guru karena malu. Akan tetapi, pengalaman yang mereka dapatkan itu masih memiliki manfaat, yaitu sebagai sarana  konfirmasi saat mereka mempelajari materi yang kebetulan bersinggungan dengan temuannya itu. 

Saat guru mengajak mereka  mendiskusikan materi tersebut, mungkin mereka baru menyadari bahwa temuannya dapat menjadi referensi yang berarti.

Saya memang tidak pernah meneliti secara ilmiah perihal teks di papan-papan identitas di ruang-ruang terbuka. Akan tetapi, berdasarkan kenyataan yang saya lihat sehari-hari, teks dengan ejaan yang benar di papan-papan identitas menunjukkan tren positif, yang tentu membanggakan pemerhati bahasa Indonesia. 

Misalnya, di salah satu lokasi  setahun yang lalu terpampang plang dengan teks yang ejaannya salah, pada tahun ini telah diganti dengan ejaan yang benar. 

Kenyataan seperti itu tidak hanya saya lihat di satu-dua lokasi, tetapi di banyak lokasi di daerah saya berdomisili. Dan, saya yakini kenyataan itu dapat ditemukan juga di daerah lain.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa persebaran penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang benar di masyarakat sudah meluas. Dari segi kuantitas keragaman teks yang terpublikasi di masyarakat memang belum banyak. 

Akan tetapi, setidak-tidaknya sudah ada pihak-pihak  yang berupaya menjaga eksistensi ejaan bahasa Indonesia yang benar di masyarakat. 

Ejaan-ejaan yang sudah benar tersebut dapat menjadi model. Dan, sangat mungkin pihak-pihak yang masih mengalami  kesalahan termotivasi mengubah kesalahannya berdasarkan model yang sudah ada. 

Kalau sudah mengetahui mana yang benar dan salah, niscaya ada upaya mengganti ejaan yang salah dengan yang benar.  

Dengan begitu lambat laun  persebarannya semakin meluas. Bahkan, oleh karena perkembangan informasi, jumlah keragaman teks dengan ejaan yang benar dapat saja bertambah. Tidak hanya sebatas kata praktik, apotek, dr., dan PT, tetapi kata-kata yang lain.

Kontribusi plang dengan ejaan yang benar di ruang-ruang publik terhadap pembinaan bahasa Indonesia memang tidak signifikan. Akan tetapi, keberadaannya tidak lantas diabaikan begitu saja. 

Sekecil apa pun kontribusi yang diberikan, tetap memiliki manfaat. Oleh karena itu, keberadaan plang dengan ejaan yang benar harus terus didorong agar dari waktu ke waktu semakin  bertambah. 

Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah pihak yang berwenang barangkali perlu mengidentifikasi papan-papan identitas dengan ejaan yang benar di tiap-tiap daerah. 

Tentu akan ditemukan daerah yang memiliki papan identitas dengan ejaan benar paling banyak, sedang, dan paling sedikit. 

Dari sini akan dapat kita simpulkan bahwa daerah yang memiliki plang dengan ejaan yang benar di ruang publik paling banyak berarti  memberikan kontribusi paling baik terhadap pembinaan bahasa Indonesia bagi masyaarakat. 

Daerah yang demikian layak untuk menerima penghargaan dari pihak yang berwenang. Dan, bukan mustahil cara ini akan memotivasi daerah-daerah lain untuk meneladani.

Kalau langkah itu ditempuh secara kontinu, yang tentu saja berkonsekuensi pada penganggaran, maka dapat dipastikan pembinaan bahasa Indonesia bagi masyarakat Indonesia betul-betul akan terasa. 

Memang dalam hal ini baru menyentuh satu aspek bahasa Indonesia, yaitu ejaan bahasa Indonesia yang benar. 

Akan tetapi, menempuh langkah itu lebih baik ketimbang membiarkan keberadaan papan-papan identitas, yang jelas-jelas tidak dapat dilepaskan dari ejaan bahasa, itu hanya sebatas sebagai petunjuk.  

Sementara (sebenarnya) memiliki sisi lain yang dapat diberdayakan untuk pembinaan bahasa Indonesia bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun