Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Bingung Nak, Kita Akan Puasa Arafah 21 Agustus dan Idul Adha 22 Agustus

16 Agustus 2018   13:13 Diperbarui: 16 Agustus 2018   13:20 3681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : www.pinterest.com

Anakku bertanya, Idul Adha tahun ini, kita akan ikut yang mana? Ikut waktu para jama'ah haji untuk membersamai mereka, atau ikut kondisi di Indonesia? Persoalan seperti ini adalah hal yang klasik, namun asyik, karena bisa menjadi bahan berdiskusi dengan semua anggota keluarga. Untuk itu, saya harus memberikan jawaban yang memadai agar anakku mengerti duduk persoalan sebenarnya, dan tidak sekedar ikut-ikutan kata orang. Berikut jawabanku untuk anakku yang bertanya.

Anakku, sebagaimana telah banyak diberitakan media, Mahkamah Agung Kerajaan Arab Saudi menetapkan Hari Raya Idul Adha 1439 H bertepatan dengan Selasa tanggal 21 Agustus 2018. Hari Arafah akan jatuh pada hari Senin 20 Agustus 2018. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil sidang itsbat yang digelar Mahkamah Agung Saudi, Sabtu (11/8/2018) waktu setempat, yang dipimpin oleh Syekh Ghihab bin Muhammad Al-Ghihab.

Mahkamah Agung Kerajaan Arab Saudi menetapkan 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Ahad 12 Agustus 2018, setelah menerima laporan dari tim rukyat di beberapa wilayah di Arab Saudi. Oleh karena itu, hari Arafah tahun 2018 terjadi pada Senin (20/8), dimana jutaan jamaah haji berbondong-bondong untuk berkumpul di Padang Arafah untuk berdoa.

Nah, itulah ketetapan Pemerintah Arab Saudi. Bagaimana dengan Indonesia, anakku? Berikut aku sampaikan pendapat ormas besar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, serta ketetapan dari Pemerintah RI melalui Kementrian Agama.

Pendapat Muhammadiyah

Anakku, Muhammadiyah selama ini dikenal konsisten menggunakan perhitungan berdasarkan hisab hakiki, dan memilih pendapat bahwa setiap negeri menetapkan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender masing-masing negara. Untuk tahun ini, PP Muhammadiyah telah menetapkan, Idul Adha tahun 2018 jatuh pada hari Rabu Wage, 22 Agustus 2018.


Penetapan tanggal itu didasarkan pada perhitungan hisab wujudul hilal yang menunjukkan ijtima' jelang Dzulhijah1439 H terjadi pada hari Sabtu Pon, 11 Agutus 2018 M pukul 17:00:24 WIB. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta (-00 37', 58" LS 11021BT ) = -037'58" (hilal belum wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di bawah ufuk.

Dengan data astronomi seperti ini, maka ditetapkan, 1 Dzulhijah1439 H jatuh pada hari Senin Kliwon, 13 Agustus 2018 M. Hari Arafah (9 Dzulhijah1439 H) bertepatan dengan hari Selasa Pon, 21 Agustus 2018 M. Shalat Idul Adha (10 Dzulhijah1439 H) dilaksanakan pada hari Rabu Wage, 22 Agustus 2018 M. Hilal Dzulhijjah saat tanggal 29 Dzulqa'dah masih belum wujud, sehingga tidak mungkin kelihatan ketika dilakukan rukyat dengan model apapun.

Ini adalah, pendapat Muhammadiyah yang karena menggunakan metode hisab selalu bisa mengumumkan lebih cepat. Bagaimana dengan ormas NU?

Pendapat Nahdhatul Ulama (NU)

Dilansir dari website NU, Lembaga Falakiyah (LF) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengikhbarkan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1439 H jatuh pada hari Senin (13/8). "Awal Dzulhijjah 1439 H bertepatan dengan hari Senin (mulai Ahad malam), 13 Agustus 2018 atas dasar penyelenggaraan ru'yah (Ahad, 29 Dzulqo'dah 1439 ) petang ini," demikian penjelasan LF PBNU yang diketuai KH Ahmad Ghazalie Masroeri.

Hal ini didasarkan pada hasil pengamatan tim rukyat dari berbagai daerah. Dengan demikian, Idul Adha 10 Dzulhijjah 1439 H jatuh pada hari Rabu (22/8/2018). "Maka Idul Adha 1439 H bertepatan dengan hari Rabu, 22 Agustus 2018," kata Kiai Ghazalie.

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) KH. Arwani Faisal berpendapat pelaksanaan Idul Adha tidak harus selalu mengikuti prosesi pelaksanaan ibadah haji di Makkah. "Menentukan kapan Idul Adha secara fikih berdasarkan tanggal 10 Dzulhijjah. Tanggal bulan hijriyah antara Indonesia dan Arab Saudi kan tak selalu sama. Jadi bukan mengikuti kejadian pelaksanaan ibadah haji di Makkah," ungkap beliau.

Beliau menjelaskan, pelaksanaan ru'yatul hilal dilaksanakan sesuai dengan situasi lokal wilayah masing-masing, sehingga daerah yang jauh hasilnya akan berbeda, tidak bisa semuanya disatukan dengan Makkah "Kajian fikih menekankan pada tanggal, meskipun ada yang berpendapat beda, tetapi minor, dalam arti yang harus menyamakan pelaksanaan ibadah di Arafah. Karena teks hadistnya yaumu arafah, menggunakan bahasa hari Arafah, ini yang dimaksud tanggal 9 di negeri setempat, bukan tanggal 9 di Makkah," tandasnya.

Alhamdulillah, anakku, ternyata pendapat dua ormas terbesar di negeri kita sama untuk menetapkan waktu Idul Adha tahun 2018 ini. Bagaimana dengan keputusan resmi Pemerintah RI ?

Keputusan Pemerintah Indonesia

Anakku, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 1 Dzulhijjah bertepatan 13 Agustus 2018 sehingga Idul Adha jatuh pada Rabu 22 Agustus 2018. Penetapan tersebut disampaikan Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin mewakili Menteri Agama usai sidang Itsbat penetapan awal Zulhijjah di Jakarta, Sabtu (11/08).

Sidang Itsbat yang dihadiri oleh sejumlah pimpinan ormas Islam, MUI dan sejumlah perwakilan negara sahabat menyatakan, sesuai laporan, posisi hilal di seluruh Indonesia masih berada di bawah ufuk. "Petugas ru'yatul hilal sampai sidang Itsbat ini berlangsung, tidak satupun di antara mereka menyaksikan hilal," ujar Muhammadiyah Amin

"Dari segi hisab dan ru'yatul hilal, maka sebagaimana yang dipedomani berdasarkan Fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004 tentang penentuan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Bulan Zulqa'idah 1439 Hijriyah kita sempurnakan, dengan cara istikmal atau digenapkan menjadi 30 hari. Dengan demikian tanggal 1 Zulhijjah jatuh pada hari Senin 13 Agustus 2018, dan tanggal 10 Zulhijjah 1439 H jatuh pada Rabu 22 Agustus 2018," kata Dirjen.

Sedangkan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Hasanudin AF menegaskan perbedaan waktu Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi bukanlah masalah. Hal ini karena standar penentuan Idul Adha sesuai dengan ketentuan negara masing-masing. Prof. Hasanudin menjelaskan hari Arafah 9 Dzulhijjah 1439 jatuh pada 21 Agustus 2018, maka Idul Adha di Indonesia sehari setelahnya, yaitu 22 Agustus 2018. "Standar kita waktu Arafah itu 9 Dzulhijjah, maka besoknya Idul Adha. Bukan berpatokan kapan waktu wukuf di Arab. Di Indonesia ditetapkan 9 Dzulhijjah itu tanggal 21 Agustus, jadi Idul Adha 22 Agustus," ucapnya.

Clear ya, anakku, dua ormas Islam terbesar di Indonesia, dikuatkan dengan Keputusan resmi Pemerintah Indonesia, hasilnya sama. Puasa Arafah jatuh pada hari Selasa 21 Agustus 2018, dan shalat Idul Adha pada hari Rabu 22 Agustus 2018. Jangan bingung ya Nak, kita ikut pendapat yang memiliki argumen kuat.

Bagaimana Pendapat Ulama Terdahulu?

Anakku, sebenarnya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Perbedaan tentang menetapkan waktu kalender Hijriyah, apakah menggunakan metode ru'yatul hilal ataukah metode hisab. Jika menggunakan metode ru'yatul hilal, apakah menggunakan asumsi bahwa tempat melihat hilal (mathla') untuk seluruh negara adalah sama (satu), ataukah berbeda-beda sesuai negara masing-masing. Jika menggunakan metode hisab, apakah dengan pendekatan wujudul hilal atau imkaniyatur ru'yat. Ini semua adalah contoh perbedaan pendapat yang sudah ditemukan sejak dulu.

Oleh karena sangat banyak ragam pendapat, maka kita bisa memilih sebuah pendapat, tanpa menyerang, menjelekkan, melecehkan atau melarang pendapat yang lain. Anakku, kita tahu sebagian ulama memang berpendapat, puasa Arafah 9 Dzulhijjah waktunya harus bersamaan dengan peristiwa wuquf Arafah para jama'ah haji. Bukan menggunakan waktu lokal di setiap negara, tetapi menyesuaikan diri dengan prosesi jama'ah haji. Kita menghormati pendapat ini, karena para ulama memiliki argumen yang juga kuat.

Namun apabila kita menggunakan pendapat NU, Muhammadiyah maupun Keputusan Pemerintah RI, kita juga memiliki argumen yang kuat. Coba kita perhatikan landasan dari hadits Nabi Saw berikut ini. Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

, ,

"Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya'ban menjadi 30 hari)." (Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).

Anakku, hadits Nabis Saw di atas menegaskan, bahwa yang dijadikan patokan adalah hilal di negeri masing-masing. Bukan berpatokan dengan hilal di Saudi. Selain hadits tersebut, ada pula riwayat yang menguatkan bahwa yang dijadikan patokan adalah masuknya waktu di masing-masing negara. Kisah dari Kuraib, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.

Kuraib menceritakan, "Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, "Kapan kalian melihat hilal?" tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, "Kami melihatnya malam Jumat." "Kamu melihatnya sendiri?", tanya Ibnu Abbas. "Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa," jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan, "Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal." Kuraib bertanya, "Mengapa kalian tidak mengikuti ru'yah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?" Jawab Ibnu Abbas, "Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami." (HR. Muslim no. 1087).

Kisah ini menjadi dalil bahwa yang dijadikan patokan adalah hilal di negeri sendiri, yang tidak mesti sama dengan hilal di Saudi Arabia. Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib ini, "Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya."

Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, "Hadits Kuraib dari Ibnu 'Abbas menjadi dalil untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi'iyah, penglihatan ru'yah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat." (Syarh Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi'iyah menyatakan bahwa penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya.

Anakku, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah ditanya oleh penduduk Madinah yang sebagian dari mereka telah melihat hilal Dzulhijjah, tetapi belum ada ketetapan dari Hakim Madinah. Apakah mereka berpuasa yang secara dzahir hari itu adalah tanggal 9. sekalipun ada kemungkinan itu adalah tanggal 10. Menjawab pertanyaan tersebut, beliau menyatakan, "Mereka berpuasa di tanggal 9 yang dzahir yang diketahui oleh masyarakat. sekalipun sebenarnya itu bisa saja tanggal 10".

Secara tegas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mensahkan hasil ru'yah penduduk Madinah dan tidak menyarankan untuk menunggu keputusan penduduk Mekkah. Hal ini berarti beliau meyakini waktu Idul Adha sesuai dengan terlihatnya hilal di negeri masing-masing.

Anakku, itulah pendapat beberapa ulama klasik zaman dahulu, yang menyatakan bahwa patokan waktu tidaklah mengikuti Saudi, namun kembali kepada negara masing-masing, Sudah jelas ya Nak, jangan bingung. Ini pendapat yang kuat.

Bagaimana Pendapat Ulama Masa Kini?

Anakku, untuk lebih menguatkan kamu, perlu aku nukilkan pendapat ulama mutaakhirin dari Saudi. Syaikh Muhammad Shalih bin Utsaimin, salah seorang ulama kharismatik dari Kerajaan Saudi Arabia, pernah ditanya tentang perbedaan hasil ru'yatul hilal antara satu negara dengan negara lain, mana yang harus diikuti. Beliau hafizhahullah menjawab:

"Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah ru'yah hilal apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu mathla' (tempat terbit hilal) dengannya", demikian jawaban beliau.

Lebih lanjut beliau menambahkan, "Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru'yah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi' hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal. Jika di salah satu negeri yang satu matholi' tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi' hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang lebih bersesuaian dengan Al Qur'an, As Sunnah dan qiyas".

Pada kesempatan lain, Syaikh Utsaimin menjawab, "Permasalahan ini adalah bagian dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah".

Selanjutnya, beliau memberikan contoh kongkrit, "Misalnya di Mekkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah, sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru'yah Mekkah; sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Idul Adha di negara mereka, yakni sudah 10 Dzulhijjah."

"Demikian pula jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru'yah di Mekkah, sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut negara mereka, meskipun hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah".

Syaikh Utsaimin menambahkan, "Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)". Lihat : Majmu Fatawa wa Rasa'il Fadhilah asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.

Sudah sangat banyak pendapat yang menguatkan argumen, puasa Arafah dan Idul Adha tidak harus sama dengan waktu di Arab Saudi dan jama'ah haji. Semoga engkau semakin paham, anakku.

Menghormati Perbedaan Pendapat

Seperti sudah aku sampaikan di depan, bahwa hal seperti ini memang menjadi lahan perbedaan pendapat yang dibolehkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa Arafah harus mengikuti peristiwa wuquf Arafah yang dilaksanakan jama'ah haji. Maka untuk pelaksanaan puasa Arafah dan Idul Adha di Indonesia, harus mengikuti prosesi haji, jangan menyelisihi peristiwa haji. Untuk itu, sebagian masyarakat muslim Indonesia ada yang melaksanakan puasa Arafah sesuai keputusan Pemerintah Saudi, yaitu pada hari Senin tanggal 20 Agustus, dan melaksanakan shalat Idul Adha pada hari Selasa tanggal 21 Agustus.

Anakku, itu merupakan pendapat yang juga memiliki dasar, namun tidak akan aku bahas di sini. Cukuplah engkau mengerti bahwa pilihan mayoritas muslim Indonesia untuk menetapkan puasa Arafah dan Idul Adha sesuai hitungan negara Indonesia, memiliki landasan yang bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan.

Namun demikian, kewajiban kita sebagai sesama muslim dan apalagi sebagai warga Indonesia, untuk memiliki sikap toleransi dalam setiap perbedaan pendapat. Jangan sampai perbedaan pendapat melahirkan perpecahan. Sepanjang perbedaan pendapat dalam batas ilmiah dan akademis, itu adalah hal yang mencerdaskan. Namun jika perbedaan penbdapat dibumbui dengan kebencian dan permusuhan, yang seperti ini berpotensi melahirkan  perpecahan. Wajib bagi kita semua untuk menghindarinya.

Semoga Allah berikan taufik dan hidayah kepada kita semua, terutama kepada bangsa Indonesia yang tengah bersiap menghadapi Pilihan Legislatif dan Pilihan Presiden 2019.

Bahan Bacaan

https://kemenag.go.id/berita/read/508422/pemerintah-tetapkan-idul-adha-1439-h-jatuh-pada-22-agustus-2018

https://kemenag.go.id/berita/read/508436/perbedaan-hari-idul-adha-1439h-di-indonesia-dan-saudi-karena-beda-mathla-

http://www.suaramuhammadiyah.id/2018/08/13/kapan-idul-adha-tahun-ini-dan-bagaimana-kalau-beda-dengan-saudi/

http://www.nu.or.id/post/read/25538/idul-adha-tak-harus-sama-dengan-makkah

https://www.nu.or.id/post/read/94277/lembaga-falakiyah-pbnu-ikhbarkan-idul-adha-1439-h-bertepatan-22-agustus

https://rumaysho.com/11882-bukan-masalah-bila-idul-adha-di-indonesia-dan-arab-saudi-berbeda.html

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/08/13/pde5k8384-mui-standar-idul-adha-sesuai-negara-masingmasing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun