Mohon tunggu...
Dahrun Usman
Dahrun Usman Mohon Tunggu... Essais, Cerpenis dan Kolomnis -

Manuisa sederhana yang punya niat, usaha dan kemauan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Berkerudung Merah Marun

5 Agustus 2017   22:01 Diperbarui: 5 Agustus 2017   22:09 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gerimis menyambangi ratusan deretan galeri di bibir jalan Malioboro, malam menjelang ketika kaki melangkah mendekat sebuah galeri. Sebentar aku buka ponselku dan melihat kalender untuk sekedar memastikan kalau malam ini adalah malam 31 Desember. Ya. Dua angka tanggal dan bulan dipenghujung tahun yang sudah hampir tujuh bulan aku nanti. Tidak kalah dramatisnya, seluruh kalender di rumah, kamar, kantor, dan tempat nongkrongku aku lingkari dua angka tanggal itu. Bahkan dalam konsep ponselku juga demikian, aku tulis dua angka tanggal dan bulan penghujung tahun plus tambahan sebuah janji; "Tunggu aku di galeri lukisan no 31 Malioboro, tanggal 31 Desember, jam 08.31, Mas!".

Entah kenapa perempuan berkerudung merah marun itu menjanjikan tempat, waktu, dan tanggal yang serba 31. Mungkin karena dia lahir ditanggal itu. Pikirku. Atau karena dia punya kenangan yang indah ditanggal dan tempat yang sama? Ah. Aku tidak mau berspekulasi untuk itu. Biarlah nanti dia sendiri yang akan memberikan penjelasan sejelas-jelasnya. Toh. Sebentar lagi dia juga akan segera datang di galeri nomor 31 pukul 08.31 ini.

Setelah turun dari becak di perempatan jalan depan gedung pos, saya sengaja jalan kaki melewati depan gedung negara dan benteng Vredeburg sambil menikmati dinginnya gerimis kota gudek ini. Sepanjang jalan saya menghitung sambil tengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau galeri nomor 31 belum kelewatan. Ratusan kios souvenir, jajanan, galeri, dan rumah makan berjejer di sepanjang jalan paling legendaris itu. Sesekali terdengar seruan dari Mbak-Mbak yang duduk di depan toko,"Monggo Mas pinarah! Tumbas oleh-oleh khas nJogja!". Saya hanya membalas dengan senyuman dan anggukan ritmis sambil menerobos gerimis yang kian deras mengguyur.

Saya memang sengaja datang lebih awal, supaya menunjukan kesungguhan dan kepastian seorang laki-laki dalam menepati sebuah janji. Setelah lima belas menit berjalan sambil mencari-cari galeri nomor 31, akhirnya ketemu juga. Saya berdiri di depan sebuah galeri yang lumayan besar berukuran tiga kali tiga meter, di depan galeri itu berjajar lukisan-lukisan bergaya ekspresionis. Di dalam galeri tersebut penuh dengan  sketsa-sketsa gambar di kanvas dengan gaya yang sama dengan ukuran media yang bervariasi. Seorang laki-laki paruh baya terlihat sedang asyik membuat gradasi pada kanvas yang berukuran cukup besar.

Saya sedikit ragu-ragu untuk langsung masuk ke dalam galeri itu. Saya masih berdiri sambil menahan sedikit dingin yang mulai mengikis kulit dan tulangku. Saya melirik jam di lenganku pukul 08.15. Masih ada waktu 16 manit lagi, pikirku. Saya melirik ke samping kanan depan galeri, di sana ada jajaran tempat duduk dan penjual "wedang jahe", lumayan untuk menghangatkan tubuhku yang sudah hampir basah kuyup. "Wedang Jahe satu Mbok!"pintaku. Tidak menunggu lama, Si Mbok penjual langsung menyodorkan segelas wedang jahe hangat. "Monggo Mas!"Mbok penjual. "Makasih Mbok!"jawabku langsung menyeruput wedang jahe yang hangat. Untuk mengusir kepenatan sebatang rokok saya bakar menghunus gerimis yang sekarang mulai reda.

"Dari mana, Mas?" tiba-tiba Si Mbok penjual menegurku.

"Dari Bandung, Mbok!" jawabku dengan ringan. "Oh. Soko Mbandung?"Si Mbok menimpali. "Mau ke mana, Mas?" tanya Si Mbok. "Mau ke galeri nomor 31 Mbok!" jawabku. "Oh. Ke galeri Pak Jumowo?" kembali Si Mbok. "Ya Mbok. Saya sendiri baru sekarang berkunjung ke sini," jawabku. Setelah badanku hangat dan dirasa cukup untuk mengusir penat, Saya kembali melirik jam, dan tepat pukul 08.31. Selekas mungkin saya segera masuk ke dalam galeri nomor 31.

"Selamat malam, Pak!" Saya menyapa pemilik galeri. "Selamat malam, Mas!" jawab pemilik galeri. Kami berdua berjabat tangan sambil memperkenalkan diri masing-masing. Benar kata Mbok penjual wedang jahe, ternyata yang punya galeri ini adalah Pak Jumowo. Pak Jumowo mempersilahkan saya duduk di pojok galerinya di atas sebuah kursi dari rotan dan meja bundar berukuran satu kali setengah meter. Sejurus kemudian, Pak Jumoho datang dengan sebaki minuman teh manis khas Jogja. Saya tidak terlalu fokus pada Pak Jumawa. Saya selalu menengok ke arah pintu dan keluar galeri, tapi sosok manis berjilbab merah marun belum juga datang. Padahal dalam firasatku, dia orang yang komitmen terhadap janji. Berkali-kali saya menengok jarum jam yang tergantung di atas pintu masuk galeri. Saya semakin gelisah, sebab jarum jam sudah menunjukan pukul 08.45, berarti sudah 14 menit perempuan manis berjilbab merah marun itu sudah keluar dari komitmennya. Apakah saya yang salah tempat?"tanyaku dalam hati.

"Silahkan diminum tehnya, Mas!" Pak Jumowo menawarkan teh hangat. Saya jadi kaget dan terjaga dari pikiran yang kalut. "Ya. Makasih Pak! Jadi merepotkan," jawabku sambil basa-basi. "Kok. Nampak gelisah toh Mas?" tanya Pak Jumowo. "Oh. Gak Pak!" saya mencoba menyembunyikan kegelisahanku tapi Pak Jumowo sepertinya sudah membaca kegelisahanku. "Ada yang bisa saya Bantu, Mas?"Pak Jumowo menawarkan jasa untuk membantu menyelesaikan kegelisahanku. Saya masih ragu dan masih berkelahi dengan pikiran dan hati sendiri. Saya menjadi gamang, apakah harus bercerita kepada Pak Jumowo atau tidak. Akhirnya saya memutuskan untuk  menceritakan semuanya kepada Pak Jumowo, siapa tahu beliau bisa memberikan jalan keluar.

"Begini Pak, saya pernah bertemu dengan seorang gadis enam bulan yang lalu di kereta saat perjalanan dari Bandung-Yogyakarta," Saya mulai bercerita kepada Pak Jumowo. "Gadis itu berhidung mancung, manis, baik, dan mengaku selalu memakai kerudung merah marun. Tetapi satu hal, dia tidak pernah mau memberi tahu siapa namanya kepada saya Pak!" Saya terus bercerita. Pak Jumowo terlihat serius dan seksama mendengarkan cerita saya. "Terus gimana, Mas?" tanya Pak Jumowo. "Dia berjanji akan memberitahukan semuanya di galeri jalan Malioboro nomor 31, tanggal 31 Desember, pukul 20.31 Pak!" lanjut saya bercerita.

"Oh. Jadi sampean ini toh yang janjian mau bertemu dengan Sulastri di galeri ini?" Pak Jumowo memotong cerita saya. "Jadi. Jadi benar ini galeri yang dimaksud gadis itu, dan gadis itu bernama Sulastri Pak?" tanyaku penasaran dan tidak sabar. "Benar Mas! Sulastri itu anak bapak satu-satunya yang kuliah di Bandung,"jawab Pak Jumowo. Hatiku sontak langsung kegirangan mendengar jawaban Pak Jumowo. "Wah. Jadi saya betul Pak. Tetapi di mana Sulastri Pak?"tanyaku tidak sadar. Pak Jumowo diam seribu bahasa, dia menyeruput teh hangat yang ada di meja bundar tempat kami berdua bicara. Aku mengikuti Pak Jumowo, meneguk teh manis yang dituang pada gelas keramik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun