Mohon tunggu...
Novia Kartika
Novia Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Stay Healty and Positive

Halo, saya Novia seorang mental health enthusiast, saya hobi menulis seputaran gaya hidup, kesehatan mental, kritikan sosial dan pendidikan. Visi saya adalah mengedukasi dan memberi pengetahuan pada oranglain mengenai hal-hal yang mungkin tidak bisa didapatkannya secara bebas. Saya adalah orang yang teoritis (sebagian besar orang berkata seperti itu haha) jadi jikalau mungkin artikel saya terkesan bertele-tele mohon maaf sekali, namun saya sangat terbuka dengan kritikan dan sarannya. Salam kenal

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Essay : Dibalik "Slacktivisme"Fenomena Aktivisme Baru: Patutkah Dilestarikan?

26 April 2017   16:29 Diperbarui: 22 Maret 2018   14:54 2574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari, setiap jam, setiap menit dan detik hampir semua individu masa kini tidak dapat lepas dari salah satu produk teknologi komunikasi yang bernama, media sosial. Media sosial menjadi salah satu penemuan yang cukup populer di abad ke 21 ini, menawarkan komunikasi yang cepat tanpa perlu terhambat oleh jarak dan waktu membuatnya banyak diminati oleh individu manusia dari berbagai generasi.Media sosial memang menawarkan banyak fasilitas untuk penggunanya, selain dapat menghubungkan kita dengan orang-orang yang jauh maupun orang-orang yang belum pernah kita temui sebelumnya, media sosial kini juga memberikan kemudahan  untuk mengakses berbagai informasi didunia, informasi dan berita yang tersebar di media sosial ini juga sangat beragam jenisnya.

Kemudahan pengguna untuk mengakses informasi dan berita yang tersebar melalui media sosial ini pun dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, dimana salah satunya adalah sebagai tempat kampanye sosial dan tempat untuk menggerakkan  orang-orang agar lebih peka dengan isu-isu sosial tertentu yang sedang terjadi disekitar kita. Tentunya kita sudah tidak asing dengan suatu postingan yang berisi gambar/foto dramatis dengan sebuah caption(tulisan dibawah foto) yang tidak kalah menyentuh hati, dimana terkadang juga disertai dengan ajakan untuk mendukung / mengutuk aksi tertentu, membantu dengan memberi donasi, menjadi sukarelawan, atau hanya sekedar membangkitkan rasa simpati saja dengan harapan siapapun yang melihatnya akan ikut tersentuh (bahkan mungkin bisa ikut memberi bantuan secara nyata). Namun apakah semua postingan, hastag, caption,gambar, dll tersebut memang benar-benar dapat menggerakkan siapapun yang melihatnya bahkan membuat suatu perubahan nyata di dunia?

Dalam hal ini reaksi seseorang memang tidak dapat dipastikan akan langsung memutuskan untuk menolong atau memberi bantuan, akan terdapat beberapa kemungkinan reaksi seseorang ketika melihat suatu gambar atau post yang seolah menggugah sisi kemanusiaan seseorang. Ada yang akan melakukan semua hal berikut ini: memberi like, membagikan kembali suatu post (yang umumnya berisi ajakan, arah pandangan, dukungan atau kritikan mengenai aksi tertentu, dst), mewarnai foto profil dengan sebuah atribut dan mungkin juga ada yang memberi bantuan berupa upaya nyata (yakni memberi donasi/menjadi sukarelawan). Ada yang hanya akan melakukan beberapa upaya diatas atau salah satunya saja bahkan ada juga yang mengabaikannya begitu saja.

“Look, if you make a Facebook page we will “like” it—it’s the least we can do. But it’s also the most we can do.” (Seth Meyers, Weekend Update, Saturday Night Live, September 22, 2012)

Kutipan tersebut adalah salah satu kata-kata fenomenal dari pembawa acara Seth Meyer yang diambil dari sebuah jurnal berjudul The Nature of Slacktivism: How the Social Observability of an Initial Act of Token Support Affects Subsequent Prosocial Action, sebuah kata-kata satiredan menggelitik sisi kemanusiaan kita yang mana seiring kemajuan jaman nilai-nilainya terus bergeser. Dikenal dengan istilah Slacktivismatau istilah lainnya disebut armchair activism.Berasal dari kata Slackerdan Activism,kalimatSlackermenunjukkan karakter yang malas, sementara activismatau aktivisme menurut KBBI adalah (1) suatu kegiatan yang dilakukan oleh para aktivis. Dan aktivis sendiri adalah orang-orang yang bekerja secara aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Kegiatan para aktivis “tradisional” biasanya dilakukan melalui kegiatan seperti kampanye di jalan, menyebarkan pesan melalui sosialisasi, penggalangan dana di lapangan, dst. Namun seiring perkembangan teknologi kegiatan ini menjadi berkembang dan berafiliasi dengan teknologi masa kini, yang salah satunya terwujud dalam bentuk “kampanye digital” ini.

Slacktivism didefinisikan sebagai sebuah keinginan untuk menunjukkan suatu dukungan sosial tanpa mengeluarkan banyak biaya ketika menanggapi suatu isu sosial yang sedang terjadi, namun hal ini tidak diiringi dengan keinginan memberikan suatu usaha yang benar-benar signifikan untuk membuat suatu perubahan yang berarti (Davis; Mozorov dalam Kristofferson, White & Peloza, 2013).

Sementara Lee dan Hsieh (2013) mendefinisikannya sebagai suatu “aktivitas dengan biaya rendah dan resiko rendah yang dilakukan melalui media sosial dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, membuat perubahan atau meningkatkan kepuasan orang-orang yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Sebagai contohnya aktivitas yang termasuk dalam Slacktivism adalah meng-klik “like” / “suka” untuk menunjukkan dukungan bagi suatu kelompok di facebook, menandatangani petisi online, meneruskan/membagikan surat dan video tentang suatu isu, serta mewarnai foto profil seseorang dengan tanda tertentu untuk mendukung pemilihan pemimpin, dst.”

Prinsip-prinsip kemanusiaan yang sesungguhnya terbiaskan oleh suatu bentuk dukungan maya yang seolah-olah telah membentuk sebuah kepercayaan pada diri seseorang bahwa dia sudah melakukan suatu perubahan besar untuk dunia. Seseorang yang seharusnya bisa secara nyata memberikan bantuan / uluran tangannya untuk orang lain, namun karena fenomena ini kepuasan membantu tersebut akan diperolehnya dengan mudah tanpa perlu mengeluarkan biaya atau resiko sedikitpun dan berujung pada tindakannya yang hanya melakukan share/like/giving thumbs uppada suatu kampanye sosial.

Kritik terhadap slacktivismbanyak dilayangkan dimana-mana, pihak kontra berpendapat bahwa tindakan slacktivismini hanya akan membuat orang yang melakukannya “merasa puas” pada dirinya sendiri. Tidak hanya membatasi kontribusi sosial yang nyata, mengambil bagian menjadi seorang slacktivistakan berpotensi membahayakan aksi-aksi aktivisme dimasa depan karena slacktivismmemberikan kepuasan lebih mudah pada seseorang yang berniat mengambil bagian dalam suatu aksi, yang sebenarnya tidak berimbas secara nyata. Sayangnya, sedikit yang mengetahui bahwa slacktivismmungkin saja berefek pada pilihan partisipan apakah mereka akan memutuskan untuk mengambil bagian pada aksi lanjutan yang lebih nyata. Jika efeknya memang besar, maka seharusnya penggunaan slacktivismuntuk membuat perubahan sosial perlu dipertimbangkan lagi.

Banyak penelitian dilakukan untuk melihat kecenderungan seorang pengguna media sosial melakukan tindakan slacktivism.Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh University of British Columbia's Sauder School of Business.Dalam studi ini para peneliti mengundang partisipan untuk terlibat dalam inisiasi aksi memberikan dukungan bebas untuk sebuah isu sosial, dengan cara mengundang mereka untuk mengikuti sebuah kelompok di facebook, menanda tangani petisi atau menerima pin dan magnet. Kemudian para partisipan ini diminta untuk mendonasikan uangnya atau ikut berpastisipasi dalam kegiatan sukarelawan.

Peneliti menemukan bahwa semakin dukungan yang diberikan dapat dilihat oleh banyak orang (seperti membagikan post, memakai atribut kelompok misal mewarnai foto profile, memakai pin atau magnet), partisipan menjadi kurang menunjukkan dukungan yang lebih berarti untuk kedepannya. Kemudian partisipan yang disediakan kesempatan untuk menunjukkan dukungan secara lebih pribadi (seperti menandatangani sebuah petisi), mereka malah menunjukkan keinginan untuk lebih terlibat dan memberi dikemudian hari. Peneliti berasumsi bahwa hal ini terjadi dikarenakan menunjukkan suatu dukungan secara publik memberi kepuasan untuk terlihat baik didepan orang lain dan mengurangi urgensi untuk “memberi” dikemudian hari. Sementara memberi dukungan secara pribadi akan mengarahkan seseorang untuk merasakan nilai yang mereka percayai yang dihubungkan dengan suatu isu kemanusiaan tanpa memberi kesempatan oranglain untuk menyaksikannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun