TAYLOR SWIFT jadi bahan perbincangan lagi akhir-akhir ini karena kerja sama eksklusifnya dengan pemerintah Singapura yang sukses. Indonesia tidak disambangi dan 'gigit jari'. Luhut Binsar Panjaitan sampai geram karenanya.
Tapi di sini saya tidak mau membahas soal sisi ekonomi yang digerakkan oleh penyanyi wanita bergenre pop country kelahiran 1989 tersebut.Â
Saya ingin menyoroti selective activism yang dipraktikkan oleh Taylor Swift dan timnya untuk bisa menghasilkan lebih banyak popularitas dan uang tentunya.
Sebagai seorang selebriti dan penyanyi serta penulis lagu, Swift bisa dikatakan piawai menggunakan isu-isu sosial yang selaras dengan agendanya. Ia mengemas personanya dengan aktivisme selektif.
Apa itu aktivisme selektif? Berdasarkan penjelasan Marc Lamont Hill dan Mitchell Plitnick dalam tulisan mereka "Except for Palestine: The Limits of Progressive Politics" yang dikutip oleh laman sites.uab.edu, aktivisme selektif ialah fenomena saat seseorang secara sadar memilih menjadi vokal mengenai isu-isu tertentu tetapi abai dengan isu penting lainnya.
Bagi Hill dan Plitnick, saat kita melabeli diri sebagai seorang aktivis, kita harus menjadi aktivis dalam setiap isu penting. Memang sktivisme selektif tidak selalu dilakukan secara sengaja atau terencana. Bisa jadi ia terjadi dengan alami atau kurangnya pengetahuan mengenai beragam masalah terkini. Setiap manusia bisa mengalami aktivisme selektif, ungkap keduanya.
Sebagai aktivis cum pesohor, Swift memilih untuk terlibat aktif dalam pertarungan pengaruh politik. Dimulai dari akhir 2018, ia merekomendasikan para fans untuk memilih Phil Bredesen, seorang kandidat partai Demokrat untuk Senat di negara bagian Tennessee yang menjadi kampung halaman pacar Travis Kelce ini (sumber: billboard.com).
 Swift juga pernah merilis single bertema dukungan terhadap kaum LGBT yang judulnya "You Need to Calm Down". Ia juga pernah berkomentar melawan kekerasan senjata api yang marak di AS.
Tampaknya ia ingin menjadi ikon bagi hak-hak asasi kaum LGBT dan pendukung utama feminisme. Semua ini terjadi saat pemilihan presiden tahun 2016 saat Hillary Clinton yang Swift dukung kalah dari Donald Trump yang ia cap sebagai penentang kaum LGBT dan feminis.
Namun, aktivisme selektif Swift mulai kentara saat akhir-akhir ini perdebatan panas soal masalah genosida Palestina oleh Israel justru diabaikan oleh penyanyi tersebut di platform media sosial yang ia miliki seperti Instagram (dengan 282 juta pengikut) dan Twitter (dengan 95,3 juta pengikut). Â