Mohon tunggu...
Novel Abdul Gofur
Novel Abdul Gofur Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan di Bidang Kepemerintahan yang sudah pengalaman di sektor / isu pembangunan berkelanjutan selama 20 tahun

Lahir di Jakarta 28 Maret 1975 dan menempuh pendidikan S1 di UI Jurusan Adm Negara (FISIP) 2000, dan S2 di Makati, Phillipine, Asian Institute of Management (AIM), jurusan Development Management, 2005. Bekerja di sektor kepemerintahan untuk pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Singkat Seputar Kemiskinan

13 Februari 2020   07:06 Diperbarui: 13 Februari 2020   07:04 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malas Bukan Penyebab Kemiskinan

Belum lama ini salah satu surat kabar nasional berbahasa Inggris, Jakarta Post (JP), menyajikan opini mengenai "Understanding the Root Causes of Absolute Poverty" (13/8/2005). Terdapat suatu kalimat yang sangat "menggelitik" hati penulis sehingga penulis berkeinginan untuk dapat mengembangkan lebih jauh atau meresponnya dalam short essay ini. 

Dalam opini tersebut, JP telah mengutip statement dari salah satu menteri dalam Kabinet SBY-Kala, yang secara utuh akan penulis sajikan sebagai berikut: "Coordinating Minister for People's Welfare Alwi Shihab stated during the closing ceremony of the Millennium Development Goals meeting last week that poor people lack the motivation to improve their lives".

Apakah betul orang miskin itu malas alias kurang motivasi? Apakah betul orang miskin itu tidak mau terlepas dari derita kemiskinannya? Yang terakhir adalah apakah betul (valid) atas pernyataan seorang menteri yang dikutip oleh JP tersebut?

Menjawab tiga pertanyaan diatas kiranya perlu menyikapinya dengan arif dan bijaksana, yaitu setidak-tidaknya kita dapat "melongok" terlebih dahulu kepada suatu pertanyaan-pertanyaan singkat seputar penyebab kemiskinan, seperti: kenapa demikian? Apa sebabnya (latar belakangnya)? Kenapa begitu? Kok bisa? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap dikenal oleh development worker sebagai cause and effect analysis.

Melalui beberapa pertanyaan itulah kemungkinan dapat terungkap dasar atau sebab musabab atas terjadinya kemiskinan di suatu daerah atau terjadi di suatu community tertentu. Oleh sebab itu, tidaklah pantas seorang menteri, secara serta merta, mengeluarkan suatu statement yang malah tidak mencerminkan kecerdikannya dalam mengatasi suatu masalah sosial.


Beragamnya Penyebab Kemiskinan

Berangkat dari prolog tersebut, kiranya sungguh kemiskinan itu merupakan suatu persoalan yang sangat bersentuhan dengan segala aspek atau merupakan suatu persoalan struktural nan kompleks (Donny Gahral Adian, Kompas, 19/5/2005). Pelbagai variable, yang datang dari segenap penjuru, senantiasa turut mengitarinya. 

Dari buruknya pelayanan birokrasi, kebijakan pemerintah (budget dan non budget) yang tidak pro poor, bad governance (high of corruption), minimnya sarana infrastruktur (jalan, transportasi, dll), rendahnya tingkat pendidikan, tidak memiliki lahan pertanian, rendahnya masyarakat mendapatkan akses atas jasa micro finance/kredit kecil, tidak adanya ketrampilan usaha, keterbatasnya akses atas informasi mengenai pasar/market, ketimpangan struktur social-cultural-gender, dll. Bahkan kemiskinan seperti yang ada dibeberapa negara di benua Afrika disebabkan oleh land-lock.

Mengetahui atas kondisi munculnya penyebab (latarbelakang) kemiskinan ini, maka sudah menjadi sine qua non terhadap penerapan strateginya yang tidak mengambil langkah one-size fits all alias satu cara untuk semua penyebab masalah (kemiskinan). Hal ini diusung karena melihat beberapa kasus kebijakan (aktual) pemerintah yang justru, hemat penulis, tidak akan optimal dalam mengurangi tingkat kemiskinan. 

Seperti contoh kasus dalam kebijakan pemberian dan relokasi subsidi BBM serta kebijakan subsidi beras. Dua kebijakan ini kalo dikaitkan dengan penyebab kemiskinan, seperti miskin karena tidak punya lahan pertanian, miskin atas terbatasnya akses perkreditan dan terbatasnya atas informasi pasar (market), maka sudah dapat dikatakan kedua kebijakan tersebut tidaklah tepat.

Holistic Approach: dari Economic Growth Model sampai Pemberdayaan Kapasitas Orang Miskin

Jangan Hanya Terpana pada Satu Model - Economic Growth

Sungguh pun seorang yang super duper alias ahli dalam ekonomi ataupun seorang yang ahli anthropologi yang berkeinginan memecahkan masalah kemiskinan dengan the way he/she wants, alhasil adalah pintu kegagalan yang akan dijumpainya. Kemiskinan yang merupakan masalah sosial merupakan manifestasi dari unresolved development. 

Development, secara bebas dapat diterjemahkan sebagai proses pekerjaan yang multi sektor dan saling mempengaruhi yang mempunyai tujuan untuk menciptakan kondisi ideal atau sesuai yang diinginkan (baik/bagus). Beranjak dari hal tersebut, adalah suatu keharusan bagi penggiat, penggagas atau bahkan pelaksana - baik itu dari kalangan pemerintah dan non pemerintah - yang terlibat dalam kebijakan poverty alleviation harus melihat pada pendekatan hollistic.

Optimisnya pemerintahan SBY -- Kala atas kebijakan economic growth-nya, yaitu ditandakannya dengan penggalakan rezim investasi, maka janganlah hanya terlena atas kebijakan itu semata. Adalah betul dalam perspektif ekonomi makro dimana terdapat aksioma dalam pengurangan jumlah angka kemiskinan sebanding dengan tingginya angka investasi.

Lebih jauhnya adalah untuk mengurangi angka kemiskinan maka diperlukan penciptaan lapangan kerja yang hal ini akan terwujud dengan tingginya angka pertumbuhan (economic growth) dimana ditandakan dengan adanya tingkat investasi (infrastruktur (pabrik) dan modal) yang tinggi. 

Model strategi memfokuskan pada pencitraan investasi sebagai core-nya, yang selanjutnya diikuti dengan pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan pengurangan angka kemiskinan.

Berangkat dari model yang diusung oleh Pemerintah SBY-Kalla itu, maka yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan orang-orang yang paling miskin dari 50 juta jiwa orang miskin di Indonesia? Mereka tidak bisa lagi menunggu atas efek berantainya model strategi tersebut! Mereka hanya makan satu hari dan anak-anak mereka telah terjangkit berbagai penyakit dari polio, busung lapar, cacingan, dll. 

Mereka terkukung oleh oligarki kekuasaan para bromocorah-bromocorah baik yang bertengger di organisasi Pemerintahan maupun non Pemerintahan (Partai Politik) ataupun oleh para partikelir yang bengis dan kejam. Akhirnya mereka hanya akan menunggu ajal kematian yang memang menjadi satu-satunya harapan atas ketidakadilan ini.

Merujuk pada ketiga paragraf diatas dan menilik tulisan Kompas, 19/6/2003, yang memberitakan bahwa banyaknya investasi di salah satu Kabupaten di Propinsi Banten tidak serta merta mengurangi jumlah angka kemiskinan yang terjadi di wilayah propinsi tersebut. 

Oleh sebab itu, memperlakukan economic growth model secara hati-hati (waspada) dan kiranya terus dilakukan evaluasi pada tataran impact atas pelaksanaannya model tersebut. Belajar dari kekeliruan rezim Orde Baru, sebaiknya kita tidak mengulangi kesalahan yang sudah terjadi, di mana program kesejahteraan rakyat diukur hanya dengan economic growth model semata yaitu melalui angka-angka fantastis pertumbuhan 5 -- 7 % pertahun.

People Empowerment / Pemberdayaan Masyarakat

Dalam melakukan upaya pengetasan kemiskinan, belakangan ini baru saja diumumkan secara global, yaitu melalui perangkat badan multi nasional, United Nation (UN), mengenai pencanangan tahun 2005 ini sebagai tahun Mikro Kredit (JP, 10/8/2005). Tak luput dari dinamika global tersebut, Bangsa Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintahan SBY-Kala telah juga mencanangkan tahun 2005 sebagai Tahun Keuangan Mikro International (TKMI). 

Selain dari alasan ingin menggerakan roda perekonomian, pada dasarnya esensi atas apa yang tertuang dalam upaya ini adalah tidak lepas dari muatan utama sosialnya yaitu strategi pemberdayaan masyarakat kecil melalui jasa bantuan modal usaha yang bertumpu pada pembukaan kreatifitas masyarakat kecil tersebut untuk menjadi manusia produktif (people empowerment).

Hemat penulis atas dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah merupakan salah satu upaya (strategi) dalam mencipatkan lapangan kerja dan membuka akses-akses ekonomi/memberdayakan ekonomi masyarakat miskin usia produktif. Adapun salah satu pendapat dari orang miskin itu sendiri adalah mereka lebih suka mendapatkan akses kegiatan ekonomi atau lapangan pekerjaan daripada hanya menunggu bantuan dari pemerintah, subsidi. 

Menciptakan lapangan pekerjaan bukan hanya mengandalkan investor asing membuka pabrik atau membuka toko. Juga tidak harus mengandalkan utang luar negeri yang (kemungkinan) dapat makin memiskinkan rakyat. Melainkan, dengan lebih memberdayakan potensi ekonomi setiap orang, termasuk orang miskin (Gunawan Sumodiningrat).

Seiring dengan hal tersebut, perlu juga disimak atas pentingnya pemberdayaan orang miskin yang diusung oleh C.K. Prahalad dan Stuart L. Hart dalam buku The Fortune at the Bottom of the Pyramid. Kedua penulis ini mengatakan bahwa "The perception that the bottom of the pyramid, the poor, is not a viable market also fails to take into account the growing importance of the informal economy among the poorest of the poor, which by some estimates accounts for 40 to 60 percent of all economic activity in developing countries". 

Hal senada diutarakan oleh Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, yang menyatakan bahwa pengetasan kemiskinan melalui pemberdayaan kaum miskin dengan pola pemberian modal usaha atau pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan posisi strategis dalam struktur perekonomian nasional. 

Hal ini dibuktikan dengan tingkat absorbsi tenaga kerja yang menyerap 99,4 persen dari seluruh tenaga kerja pada tahun 1999 dan juga sektor usaha kecil dan menengah ini, memberikan sumbangan sebesar 59,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun yang sama.

Apa yang tersirat dalam pokok pikiran pada ketiga paragraph diatas adalah menitikbertakan pada pemberdayaan kaum kecil (miskin) dengan upaya pemberian fasilitas modal usaha dan pendampingan (pemerintah atau non pemerintah) dalam melaksanakan usaha tersebut atau dengan kata lain menciptakan dan menumbuhkembangkan entrepreneurs. 

Point pemberdayaan merupakan penjabaran atas melakukan suatu kegiatan yang produktif dan mengembalikan harkat dan martabatnya serta kedudukan si Miskin dalam struktur sosial kemasyarakatan. 

Oleh sebab itu guna mendukung point pemberdayaan masyarakat miskin, maka selayaknya strategi dasar atau prinsip atas pencanangan penanggulangan kemiskinan ke depan harus berdasarkan prinsip-prinsip adil dan merata, partisipatif, demokratis, tertib hukum, dan saling percaya yang menciptakan rasa aman. 

Berdasarkan prinsip ini, pendekatan adalah memberdayakan masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dan pemerintah hanya fasilitator dan motivator dalam pembangunan.

Berbagai cerita sukses - Mitra Karya (Jember), PEKERTI (Yogyakarta), Mitra Usaha Mandiri (MUM), Dompet Dhuafa (Jakarta), Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Sumber Rejeki (Jakarta), PPSW, dsb - atas suksesnya pengurangan angka kemiskinan melalui upaya masyarakat miskin sebagai pelaku utama dalam people empowerment model ini harus di kemas dan direplikasikan ke kantong-kantong kemiskinan yang ada di negeri ini. 

Peran pemerintah yang mempunyai power serta jaringan yang tersebar luas di wilayah nusantara ini adalah suatu keniscayaan belaka untuk memberikan fasilitasi agar cerita sukses ini dapat dikembangkan di daerah lain. Namun demikian, bukan berarti peran lembaga non Pemerintah, LSM, Universitas, business community, Pesantren (Masjid), Gereja, dan organisasi agama lainnya, dll tidak turut serta, justru ditangan-tangan merekalah banyak pemberdayaan masyarakat miskin lahir dan berkembang. 

Oleh sebab itu, apabila peran pemerintah yang mempunyai authority (power) serta jaringan dan digabungkan dengan Civil Society Organization (CSO) dimana mempunyai concern dibidang ini, maka akan berdampak pada hasil yang sangat signifikan (will resulted significant impact). Atau mengutip wawancara JP dengan Erna Witoelar bahwa "when we combine power with concern, poverty can be eradicated in no time" (20/06/2005).

Renungan

Kemiskinan bukanlah suatu nasib. Ia merupakan produk dari suatu institusi dan kebijakan yang mengitarinya. Ia dapat lahir dari pemerintahan yang tirani dan sewenang-wenang. Kemiskinan juga bukan semata dilihat dalam perpektif ekonomi belaka. Ia dapat juga menyangkut pada aspek sosial dan budaya. 

Kasus-kasus atas rendahnya akses perempuan dalam menentukan hak dasarnya, yang dalam hal ini hak ekonomi untuk mendapatkan pendapatan lebih dalam keluarga, adalah tidak dapat dilihat dari kaca mata ekonomi semata. Pendekatan kultural perlu diusung dalam hal ini. Segala upaya harus dilakukan, baik itu dalam tataran kebijakan makro ataupun pada aksi-aksi lokal yang langsung menyentuh kaum miskin.

Memberdayakan orang miskin untuk menjadi suatu yang produktif, paling tidak ada dua tahapan, pertama berikan modal (dana/uang) untuk usaha dan dampingi mereka, dan kedua berilah alat atau instrumen ketrampilan, entah itu ketrampilan dalam memproduksi suatu barang dan jasa ataupun ketrampilan dalam memahami arti konsep pasar (market). 

Dari dua tahapan itu harus mempunyai landasan utama, yaitu membebaskan si miskin dari belenggu-belenggu sosial yang membatasi inisiatif dan kreativitas mereka, yang hal ini akan menggusur pendapat kebanyakan bahwa orang miskin itu orang yang malas dan tidak punya motivasi. "If we stop thinking of the poor as victims or as a burden and start recognizing them as resilient and creative entrepreneurs and value-conscious consumers, a whole new world of opportunity will open up" (C.K. Prahalad dan Stuart L. Hart dalam buku The Fortune at the Bottom of the Pyramid).

Novel Abdul Gofur 

Agustus 2005, menjelang pelepasan ngebujang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun