Mohon tunggu...
Muhamad Nour
Muhamad Nour Mohon Tunggu... Buruh - Love traveling

Paguntaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Yusuf dan Mustaqim, Orang Sasak Lombok yang Merantau ke Tarakan

23 Mei 2017   08:40 Diperbarui: 23 Mei 2017   09:06 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lalu Yusuf"][/caption]Yusuf dan Mustaqim

Bertahun lampau, saat aku masih duduk disemester awal SMP di Tarakan, kampung ku di utara Kalimantan, rumahku mendadak riuh karena kehadiran beberapa orang berusia awal 20 puluhan, hitam legam, jelas habis terbakar sinar matahari dan kelaparan, karena ku lihat mereka berempat sedang menikmati lahap, biskuit dan teh manis, yang disuguhkan mama ku.

Setelah mencuri dengar percakapan mereka dan orang tuaku, baruku tau orang-orang ini dijumpai bapak ku di laut karena melarikan diri dari tempat mereka bekerja karena dipaksa bekerja dan tanpa gaji. Melarikan diri dari tengah malam dan mereka beruntung bisa bertemu bapakku keesokan harinya terombang ambing dilaut dan langsung dibawa kerumah.

4 orang ini bernama, Lalu Yusuf, Mustaqim, Ahmad dan satunya lagi aku lupa, dari Lombok NTB, orang Sasak, ternyata. Lalu Yusuf, yang sering kami panggil Yusuf dan Mustaqim, si Taqim merupakan kakak beradik. Padahal dulu, kupikir Indonesia ini sukunya hanya ada 5, Bugis, Banjar, Jawa, Dayak dan Tidung, karena di kampungku teman gaul kami hanya suku-suku itu aja. Singkat kata, mereka sementara tinggal dirumah kami sambil menunggu pemulihan dan rencana mereka selanjutnya. 2 orang dari mereka, setelah sempat bekerja di perusahaan kayu lapis, Ahmad dan seorang lagi memutuskan kembali ke Lombok dan kakak beradik Yusuf dan Mustaqim tinggal dan bekerja di Tarakan, dan resmi jadi keluarga kami sendiri dan tinggal dirumah serta menjadi teman main aku dan adik-adik ku.
Yusuf, karena ada sedikit pendidikan, pindah bekerja ke pabrik kayu lapis jadi buruh kasar, kurang berbakat dia jadi nelayan. Sementara, si Taqim, jadi anak buah paling handal karena badannya besar, tapi buta huruf.

Pernah suatu hari, setelah habis jual udang, aku dan si Taqim dibayar pakai cek dan disuruh mencairkan uang ke BRI. Si Taqim dari awal sudah wanti2, “nanti kau yang ambil uangnya ya” katanya. “Beres”. Di konter kami dipanggil dan aku maju, si Taqim diluar, menunggu. Karena masalah usia, petugas bank menyuruh ku memanggil si Taqim yang lebih dewasa, masuk dengan keringat dingin, “kenapa”? tanyanya. “Kau dipanggil” ku jawab enteng. Setelahnya, uang cair, yang ku tau, si Taqim mengumpat “kimbenya kau Mad”, “aku nda bisa baca apalagi nulis”. “Mana ku tau, jawabku, kami pun ketawa, sambil si Taqim, memamerkan jempolnya yang ada tinta. Kami pun makan nasi lalap ayam goreng, makan mewah, karena biasanya kami cuma makan kepiting, ikan udang.

Pernah satu tengah malam, aku dan Taqim hampir tenggelam krn kapal yg memuat kayu ulin yg kami bawa bocor, ditambah ombak besar dan hujan badai. Plus ngantuk, Taqim mengemudi kapal dan aku menguras air. Terpaksa, daripada tenggelam.

Sampai bikin surat cinta pun, si Taqim ini minta tolong aku yang tulis. Ada cewe depan rumah yang dia taksir. Hingga suatu hari, ada ribut2, rupanya hubungan si Taqim dan pacar nya tak direstui orang tua si pacar, hingga Taqim putus asa lari ke hutan bakau dan mencoba minum baygon, duhhh. Masalahnya, dia bilang buta huruf tapi giliran baygon dia bisa baca. Aku dan beberapa orang tua lain berusaha memberhentikan tindakan nekad si Taqim, hingga tenggorokannya berdarah dan syukur si Taqim malam itu selamat dan setelah beberapa lobi dan negosiasi bapak ku dengan orang tua sang pujaan hati, si Taqim pun menikah, beberapa bulan setelahnya. Happy ending. Setelahnya, mereka pun pindah ke Nunukan, lebih ke utara dekat perbatasan Malaysia. Sementara Yusuf, menikah dengan sepupu mama ku dan jadi tetangga kami didepan rumah.

Hubungan kami baik hingga aku berangkat keluar Tarakan tahun 1993, merantau kuliah dan bekerja, jarang mendengar kabar mereka. Meskipun, aku sering pulang kampung, hanya Yusuf sering ku temui dan si Taqim sangat jarang kudengar beritanya. Dari cerita mama ku si Taqim punya 3 anak dan menetap di Nunukan.

Waktu berlalu, aku mendengar si Taqim sakit dan pulang ke kampungnya di Lombok, akhirnya setelah 30 tahun lebih. Cerita mama ku, Yusuf lah yang merawatnya dan membawanya pulang kampung. Kalau kalian tanya, karena apa dia sakit dan bagaimana dengan anak-anak dan istrinya, aku pun tak tau sebabnya. Sedihnya tak lama dirawat di sebuah rumah sakit di Mataram, si Taqim, meninggal dunia di kampungnya dihadapan saudara dan orang tua yang dia tinggalkan puluhan tahun. Sedih. Dan karena pekerjaan ku, suatu hari aku janjian bertemu Yusuf di Lombok yang ternyata rumahnya dikampung Sengkol Pujut, hanya beberapa menit dari Bandara Internasional Lombok (BIL). Aku bertemu dengan saudara perempuan si Taqim yang sangat mirip wajahnya, dijamu teh dan biskuit. Begitulah kisah yang dirancang Tuhan, aku bahkan tak pernah menduga ketemu Yusuf dan keluarganya berpuluh tahun kemudian dikampungnya sendiri di kampung Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat, di balai seperti Berugak dan dibandingkan berpuluh tahun lampau saat aku pertama kali ketemu mereka dirumahku, di Tarakan Kalimantan Utara.
Yusuf, masih tinggal di strat buntu, Tarakan aktif di Mesjid Darul Taqwa dan menikmati masa tuanya. Anaknya, sepupuku, bekerja sebagai pegawai negeri di Bandara Nunukan.

Seperti sudah diatur oleh Allah SWT, tempat dimana Yusuf pernah dulu bekerja, sekarang merupakan tempat tinggal mama ku dan Yusuf sendiri masih tinggal disekitar tempat pertama kali dia diselamatkan bersama Mustaqim dan teman2nya. Tukar tempat.

Hampir 3000 km, Yusuf, Mustaqim, Ahmad dan orang-orang Lombok lain merantau ke Kalimantan Utara dan ke penjuru dunia, bekerja. Hingga kini pun, 30 tahun setelah mereka mengalami kerja paksa tanpa gaji, kondisi pekerja kita di Indonesia dan merantau jadi TKI tetap sama: tereksploitasi, dilanggar haknya, upah murah, jam kerja panjang, dideportasi, dikejar2 seperti binatang dinegara orang, tinggal dikebun sawit dan dibawah jembatan. Sementara, pejabat kita…ah sudahlah….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun