Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Cermati 6 Pertanyaan Ini Sebelum Beralih Profesi

21 Desember 2018   21:26 Diperbarui: 23 Desember 2018   18:55 1352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tahun 2019, berminatkah Anda untuk alih profesi? (www.inc.com)

Tahun 2018 hanya tersisa 10 hari lagi. Apa resolusi Anda di tahun 2019? Tahun baru identik dengan resolusi. Selain hidup sehat dan menabung (lebih) rutin, berganti profesi termasuk resolusi yang diminati saat pergantian tahun berlangsung. 

Polling YouGov di akhir tahun 2017 mendapati sebanyak orang 14% di Amerika Serikat menjadikan ganti profesi atau pekerjaan baru sebagai resolusi tahun 2018. Era ekonomi digital membuat profesi kaum milenial (usia 20 sampai 30-an) lebih fleksibel.

Saat generasi sebelum milenial bisa menekuni satu profesi pada satu perusahaan hingga pensiun, generasi milenial acapkali dipandang sebagai kutu loncat (job hopping) di dunia kerja. Para kutu loncat ini berpindah kerja dalam 1-2 tahun.

Job hoppers umumnya terdiri atas dua kategori. Ada kutu loncat yang berganti-ganti perusahaan dengan posisi dan bidang kerja yang sama. Tak sedikit pula, kutu loncat yang tidak hanya pindah kantor, namun juga berganti bidang atau profesi kerja.

Lalu, apakah kutu loncat itu menguntungkan atau merugikan? Bagaimanakah cara agar berganti profesi itu tak hanya karena (emosi) ingin naik gaji? 6 hal ini patut dicermati jika kita ingin berganti profesi di tahun baru nanti. 

Sebelum berganti profesi, ketahui dulu manfaat dan resikonya (www.sciencemag.org)
Sebelum berganti profesi, ketahui dulu manfaat dan resikonya (www.sciencemag.org)
Adakah keterampilan dan ilmu baru yang didapat dengan berganti profesi?
Saat jawabannya "Ya", berarti kita telah yakin dengan profesi baru. Misalnya, seorang akuntan yang memutuskan untuk memulai bisnis kue kering sesuai hobinya selama ini. Keterampilan masak-memasak jelas berbeda dengan ilmu ekonomi.

Namun, hal ini tidak berarti kita melupakan keterampilan dan ilmu dari profesi sebelumnya. Bisnis apapun, termasuk kue kering, memerlukan keahlian dalam pengaturan keuangan. Maka, profesi lama sebagai akuntan tentunya sangat membantu.

Patut diingat pula, ilmu dan keahlian pada profesi baru itu juga selaras dengan minat (passion) dan kemampuan kita. Ketika dihadapkan dengan tantangan maupun kesulitan, kita tetap bersemangat untuk mempelajari ilmu dari profesi baru tersebut.

Apakah profesi baru sesuai dengan tahapan kehidupan kita?
Ketika masih lajang, berganti profesi (relatif) lebih mudah dijalani. Contohnya, staf full-time di kantor yang lalu berganti menjadi pekerja lepas di bidang ekonomi kreatif (blogger, vlogger). Semula memiliki gaji tetap lalu penghasilan sesuai pesanan.

Bisa pula dari seorang ibu yang tadinya berbisnis catering dari rumah, lalu menjadi food blogger sehingga harus sering pergi meliput. Idealnya, anggota keluarga diberikan pemahaman terlebih dahulu tentang profesi baru untuk menghindari konflik.

Tahapan kehidupan seseorang seperti halnya lajang dan menikah serta lanjut sekolah atau kuliah harus menjadi pertimbangan sebelum berganti profesi. Komunikasi dan kompromi menjadi kata kunci sehingga profesi baru bisa dijalani sepenuh hati.

Bertambahkan jejaring pertemanan kita dengan profesi baru nantinya?
Pertemanan di sini tidak sebatas profesional, namun juga personal. Baik rekan profesional maupun teman personal membuat adaptasi pada profesi baru lebih menyenangkan. Kita bisa saling berbagi tentang pengalaman dan ilmu masing-masing.

Penambahan jejaring profesional dan sosial dalam profesi baru tentu saja lebih dari sekedar kuantitas. Tak tertutup kemungkinan, secara jumlah tidak bertambah secara signifikan. Tetapi, jejaring semakin bermutu karena kita dikelilingi para pakar.

Ini terutama akan sangat terasa pada profesi yang menuntut keahlian khusus maupun masih jarang pelakunya. Sebut saja, profesi seperti perencana keuangan (financial planner) dan fotografer untuk para ibu hamil (maternity photographer).

Pastikan kita beralih profesi memang lebih karena panggilan hati nurani (online.jwu.edu)
Pastikan kita beralih profesi memang lebih karena panggilan hati nurani (online.jwu.edu)
Bersediakah kita untuk belajar dan memulai dari nol (lagi)?
Profesi baru berarti (harus) keluar dari zona nyaman. Contohnya Achmad Hamami, kolonel termuda AU yang kemudian berbisnis. Sempat menjadi guru les matematika, pendiri PT Trakindo Utama itu kini termasuk orang terkaya di Indonesia.

Mantan Dirut KAI yang kini menjadi Menteri ESDM, Ignasius Jonan juga harus belajar dari nol saat memimpin PT KAI. Sekalipun awalnya awam tentang perkeretaapian, kualitas KAI semakin membaik di bawah komandonya selama 6 tahun.

Sebelum berganti profesi, ada baiknya seseorang sudah mengetahui segala macam resiko yang akan dihadapinya kelak sehingga tak mudah panik. Sikap optimis sekaligus realistis patut dimiliki seseorang yang telah mantap berganti profesi, setuju?

Sabarkah kita untuk menerima kenyataan yang tak sesuai harapan?
Kesabaran ini mutlak diperlukan agar seseorang yang berganti profesi tak lantas dicap sebagai kutu loncat. Wajar ketika seseorang mendambakan kehidupan dan penghasilan yang lebih baik dengan berganti profesi. Tapi, hidup (bukanlah) jalan lurus.

Tak heran, banyak orang yang menjalani profesi ganda sebelum akhirnya mantap memilih satu profesi saja. Adiwarman Karim, akademisi dan praktisi ekonomi syariah, sempat menjadi petinggi di bank swasta syariah sebelum menjadi konsultan.

Di awal karirnya sebagai konsultan, Adiwarman kesulitan untuk memperoleh klien. Sedangkan, ada sejumlah staf konsultan yang harus digajinya. Alhamdhulillah, kini lembaga konsultan miliknya -- berdiri sejak 2001 -- telah dipercaya klien terkemuka.

Siapkah kita menghadapi komentar (pedas) dari lingkungan sekitar?
Bisa dibilang, pola pikir (mindset) mayoritas orangtua di Indonesia adalah sang buah hati tercinta memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap per bulan. Padahal kan, anak zaman now lebih memilih "tetap berpenghasilan (besar) setiap bulannya" hehehe...

Wajarlah ketika sejumlah profesi baru di bidang ekonomi kreatif dan digital (blogger, vlogger, Youtuber, Selebgram) dianggap belum menjanjikan kemapanan masa depan. Untuk profesi kedua, tak mengapa. Tapi, jadi profesi utama? Eiit, nanti dulu!

Solusinya tentu saja kembali ke pelaku profesi baru tersebut. Saat dirinya sudah tahu (pasti) tujuannya berganti profesi atau bukan karena emosi sesaat, maka tantangan dan anggapan apapun dari orang lain tak akan menggoyahkan tekad bulatnya.

Sejatinya, profesi (halal) yang ditekuni dengan setulus dan sepenuh hati akan membawa kebaikan bagi semuanya. Selama profesi tersebut menggabungkan minat (passion), bakat (talent), dan kemampuan (skill), berganti profesi akan lebih berarti.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun