Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ambon Kota Hujan

28 Juli 2017   09:01 Diperbarui: 28 Juli 2017   09:29 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ambon Manise. Julukan berabad-abad melingkari pulau kecil ini. Usianya melebihi rata-rata umur semua daerah di Indonesia. Secara geografis kota berbentuk huruf U diapit oleh Pulau Papua dan Sulawesi. Letaknya menjadi sumbu pemerintahan Maluku, Ibukota. Ambon, sudah sejak lama dikenal oleh perantau dari dalam maupun luar negeri.

Ambon, kota kecil yang sudah sangat padat penduduknya. Jalan raya menjadi sempit akibat tak bisa lagi diperlebar akibat diatasnya berdiri permukiman masyarakat. Sehingga macet menjadi tontonan hari-hari. Yah, ini Jakarta kedualah.

Selain itu, ada yang menarik lagi dari kota multikultural ini. Apa itu? Hujan. Hujan hampir tak pernah reda. Pelan, sedikit kuat, deras, lari-lari itulah ritme hujan di kota multietnis.

Melalui BMKG, hujan tak bisa diramalkan datang dan perginya kapan. Sedia payung sebelum hujan, atau pakai mantel hujan sewaktu keluar rumah. Selalu waspada. Pawang hujan kehilangan pekerjaan.

Benar sekali hujan yang tinggi mengakibatkan banjir. Air meluap mencari muaranya. Pastinya rumah-rumah beton atau kayu milik warga ikut dibawa sang air. Toko-toko kayu paling laris didatangi. Becak-becak mendapat saweran lebih.

Ambon memiliki tiga sungai besar yang membelah kotanya. Pertama, sungai yang mengaliri daerah STAIN hingga Galala. Kedua, sungai yang mengaliri Batumerah. Ketiga, sungai yang mengaliri lokasi SKIP hingga Waihaong.

Barangkali jika hujan tidak lebat, air sungainya biasa-biasa saja. Ikan-ikannya bisa bermain petak umpet tanpa takut mati diguling tanah dan batu. Tetapi, jika hujan berkali-kali datang maka semua ikan harus rela melepas nyawanya.

Seperti cerita beberapa tahun lalu. Manisnya kota dibanjiri lumpur. Kota menjadi mati seketika. Perjalanan untuk menikmati ikon pariwisata Pantai Liang, Pintu Kota, Santai Beach, Gong Perdamaian diaduk rata dengan gumpalan sisa tanah berwarna coklat.

Angin dari Leitimur takandas di atas Gunung Nona. Pantai-pantai telukku berubah warna. Akhirnya speedboot harus berhati-hati melaju, ada batang-batang pohon dan bekas botol minum berantakan di depan sampingnya.

Tetapi tetap saja. Ambon masih bernama Ambon Manise. Kota pemilik sejarah. Kota museum. Bukan kota hujan.

Later-Amboni, 27 Juli 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun