Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Menteri Tidak Bisa Menerjemahkan Instruksi Presiden, Siapakah yang Patut Disalahkan?

30 Juni 2020   12:43 Diperbarui: 30 Juni 2020   21:40 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Kompas.com / Agus Suparto / Fotografer Kepresidenan

Akan tetapi untuk kasus perusahaan besar, terlebih lagi dalam menampuk kepemimpinan suatu negara, tentu diperlukan jiwa yang besar untuk mengintropeksi diri, jajaran bawahan yang tidak mau paham dengan instruksi atau saya (pemimpin) yang tidak bisa menyampaikan pesan?

Bagaimana kita bisa tahu yang salah itu karyawan atau pemimpinnya dalam pemahaman instruksi? 

Mudah saja, kira-kira berapa persen orang yang sudah menjalani visi misi sang pemimpin? 

Kalau hanya dibawah 20% yang tidak bisa menjalani visi misi sang Pemimpin, nah itu, karyawannya yang memang bandel. Tapi kalau lebih dari 20% tidak bisa menjalani visi misi sang Pemimpin, akan ada baiknya Pemimpin mengambil langkah strategis, carilah ahli komunikasi yang bisa mem-brain wash para karyawan untuk bisa memiliki visi dan misi yang sama dengan pemimpin.

Menjadi seorang Presiden itu memang tidak mudah, karena beliau memimpin orang-orang yang ahli dibidangnya masing-masing, tidak itu saja, rekam jejak pengalaman dalam berorganisasi pun tentu sudah sangat tinggi. Tentu mereka semua sudah memiliki standar strategi dan prinsip sendiri dalam menjalani tugasnya, yang dimana bisa jadi strategi dan prinsip tersebut bisa bertentangan dengan divisi ataupun menteri lainnya.

Berkomunikasi bukanlah suatu hal yang mudah, asal cuap pasti langsung saling mengerti. 

Komunikasi harus melihat karakteristik masing-masing individu, ada yang enak diajak kerjasama, ada juga yang akan ngikut kalau cara berbicaranya masuk dengan logika individu tersebut.

Nah, maka dari itu, akan lebih baik bila Presiden memiliki tim PR (Public Relations) yang sudah pakarnya dalam menyatukan isi kepala dengan para menteri lainnya.

Karena, para pakar komunikasi, seperti PR, juga mempelajari psikologi, serta sudah menjadi tugasnya untuk menyatukan kepala dan badan suatu perusahaan. Jadi tugas tim PR tidak sebatas hanya untuk membentuk citra di media saja. 

Memarahi dan mengancam karyawan didepan publik sebenarnya sah saja apabila memang karyawan tersebut melakukan tugasnya dengan amat sangat tidak becus. Akan tetapi, kita harus melihat lagi ketidakbecusan yang dikerjakan karyawan sebenarnya karena dipicu oleh cara pemimpin berkomunikasi atau memang karena diri karyawan tersebut yang tidak mampu menerima instruksi?

Dalam kasus video Presiden Jokowi marah yang diunggah oleh pihak istana, akan lebih elok rasanya, kalau peneguran dilakukan secara privat. Apalagi proses pembuatan kebijakan dan instruksi yang diberikan kan selama ini berlangsung privat, kok giliran ada yang kerjanya kurang benar malah tegurannya dipublikasikan? Publik tentu hanya melihat apa yang dipublikasikan di media ataupun video yang diunggah, dan akhirnya akan membentuk penghakiman yang timpang, si A salah dan B benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun