Mohon tunggu...
Fahmi Namakule
Fahmi Namakule Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Pengungsi di Negeri Sendiri

9 Agustus 2017   15:12 Diperbarui: 9 Agustus 2017   15:23 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Nadif Wailissa

Ibarat hembusan badai gurun yang menyibak tumpukan jerami yang selama ini menutupi butir-butir permata di tengah-tengah sahara.

Seperti itulah kalimat yang pernah disampaikan oleh seorang guruku saat usiaku baru beranjak remaja dan bersyukur masih tersimpan kuat dalam memori ingatanku. Maka pantas dipersandingkan untuk menerjemahkan hiruk - pikuk yang melanda Negeriku. Negeri yang menggunung di tengah belantara dengan sejuta masalah hingga para penguasa seolah tersesat dan tak mampu melihat jalan keluarnya lagi. Dari yang zarah sampai membatu, Menumpuk dan berbaris, berserakan tak terurus sampai yang masif terstruktur rapi. Semua sedang tersembunyi subur diberi pupuk oleh para Kleptokrasi.

 Ya... seperti itulah mereka para Penguasa dan Pengusaha yang pandai bersekongkol untuk tetap surfive dengan mengisap keringat tiap manusia di Negeriku. Alhasil dari persengkongkolan itu adalah: tumbuh jamurnya berbagai masalah, Menggurita hingga tak mampu melepaskan diri darinya. Padahal Negeriku ini, dalam bayangan jauh memiliki visi besar yang digagas oleh para pendirinya. Adalah, sebuah Negeri yang berdaulat. Dengan kedaulatan itu, diharapkan pemerintah dan rakyat dapat bekerja bahkan berjuang bersama-sama untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan yang merata.

Namun dalam perjalanannya, cita-cita besar ini seringkali  diselewengkan oleh pengejaran tujuan jangka pendek atau "Pragmatisme Transaksional", kepentingan mempertahankan kekuasaan, budaya feodal-patron-client dan diperparah dengan hegemoni cengkraman idiologi kapitalisme global. Yakni, neoliberalisme dengan segala agenda dan kepentinnganya untuk mempertahankan Kuku Penjajahan (Neoimperialisme) masih terus berlangsung.

Akibatnya adalah : Kedaultan Negeriku makin hari terus terenggut, kapasitas Negeri untuk mengurus kesejahteraan rakyatnya tergerus, posisi Negeriku di mata manusia dunia terpinggirkan dan yang lebih parah adalah, Rakyat telah Teralienasi, Termarginalkan dalam proses pembangunan baik fisik maupun pembangunan manusia dan terjebak dalam bayang-bayang negara gagal (Failed State).

Lihatlah imbasnya, Korupsi seolah terpelihara manja, para pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin mengeluarkan taringnya, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mendapatkan tempat, eksploitasi hutan yang tak karung, pemeliharaan gerbong dinasty dalam manajemen kepemimpinan telah mengakar kuat, narkoba, bahkan yang lebih menjadi-jadi adalah Pemerkosaan terhadap anak usia dini, dan yang tak mau ketinggalan dalam catatan pentas permasalahan rakyat adalah derasnya arus Asing yang memukul telah mendominasi segala lini, juga ketidak percayaan terhadap investor-investor lokal selalu menjadi-jadi.

Itulah serangkaian sampel problematik di Negeriku yang akhirnya akan berhujung pada terbukanya kunci kemelaratan dan seolah memaksa rakyat untuk membuka hati menerima kenyataan. Yang sungguh ironisnya lagi adalah, ketika keputusan yang diambil oleh pemerintah Negeriku untuk diberlakukanya Masyarakat Ekonomin Asean (MEA). Sementara Negeriku dalam segala sisi belum siap menerima realita untuk bersaing dengan negara-negara tetangga di semenanjung Asean. Akhirnya banyak yang frustasi dan memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang tak semestinya dan yang semakin membuat gila adalah, dimana kaum minoritas Neoliberalis bersembunyi di bawah rapuhnya regulasi Negeriku. Kesemuanya adalah bagian atas representasi bayang-bayang dari sebuah Failed State.

Aku dan sekian engkau... masi terpenjara dengan kondisi kekinian Negeriku. Hingga mungkin ada yang bertanya. Apa nama Negeri itu? Kawan... Negeri itu bernama INDONESIA dan itu adalah Negaraku, Bangsaku, Negara-Bangsa kita semua.

Itu... si-Indonesia, yang bila dirincikan lebih mendetail, maka ditandai dengan tingginya angka kemiskinan, penjualan aset-aset strategis bangsa (Privatisasi), ancaman disintegrasi bangsa, membudaknya angka pengangguran, menguatnya Etnonasionalisme membuat miris akan Indonesiaku di hari ini dan tentu berkepanjangan hingga esok. Harapan gerakan Reformasi sampai saat ini masi sebatas cita-cita yang bergantung di langit Indonesia, atau dalam bahasa kaum kiri disebut"Reformasi mati sebelum berkembang". Mungkinkah seperti itu ? aku tidak memiliki kemampuan untuk berkonklusi.

Tapi, kenapa tidak? Saksikanlah: Restrukturisasi ekonomi penyehatan bank dan lembaga-lembaga usaha, penggelaran jaringan pengaman sosial hanya menghasilkan utang Luar Negeri yang menjebak dan menggunung. Terjeretnya Negeriku dalam gurita ekonomi Ultra Liberal yang menyusup berdasar pengkondisian International Financial Institutons(IFI'S), seperti IMF, Band Dunia, ADB dan berbagai lembaga bantuan lainya. Hal itulah yang membuka peluang kepada Konglomerat Hitam untuk bebas merampok Bank dan membabat habis keuangan Negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun