Di suatu gua di sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi namun cukup terjal, terdapat seorang manusia yang sedang menjalani rutinitas spiritualnya. Menyendiri dan merenung, menjadi hal yang perlu dilakukan untuk menjadi refleksi akan kesadaran tentang semesta dan diri sendiri.
Tak disangka, malam itu menjadi malam yang sangat bersejarah bagi peradaban Jazirah Arab, bahkan seluruh dunia. Sebuah titik awal dari peradaban menuju keselamatan (Islam). Sebuah awal dari rangkaian pedoman hidup yang diberikan kepada manusia pilihan -dipersiapkan selama 40 tahun, terbukti kapabilitasnya, dan merupakan manusia yang sangat dapat dipercaya-, yaitu Nabi Besar Muhammad SAW.
Ayat pertama berupa perintah membaca (bahkan diberikan sebanyak 3x karena mengalami penolakan dari Rasulullah) kepada seseorang yang tuna aksara. Ini menjadi menarik karena pemahaman ini akan menjadi polemik di masa sekarang.
Membaca untuk orang yang tidak membaca memang sangat aneh. Apa yang terjadi pada penolakan pertama, kedua, dan ketiga Rasul terhadap perintah membaca adalah hal yang sangat logis. Bagaimana mungkin dia diperintahkan sesuatu hal yang dia saat itu tidak bisa melakukannya, dan anehnya sampai akhir hayatnya dia masih tidak dapat membaca (apakah setelah turunnya wahyu Rasul lantas tidak belajar membaca?). Hal ini akan serupa apabila kita mendengar perintah melihat untuk orang buta, perintah mendengar untuk orang tuli, perintah berbicara untuk orang bisu, sungguh sulit ditangkap oleh nalar.
Pada akhirnya Rasul menerima perintah membaca, karena dia memahami bahwa sekedar membaca teks tidak lebih tinggi derajatnya daripada memahami konteks. Sehingga perintah "membaca" pun dia terima, bahkan sampai akhir hayatnya dia tidak perlu bisa membaca, karena dengan "membaca" pun dia sudah dapat memahami konteks-konteks berbagai hal dan dapat mengambil hikmah dari setiap hal -terlebih lagi dengan ingatan yang kuat dan kecerdasan Rasul, teks menjadi sangat tidak diperlukan. Situasi penurunan wahyu ini memang sangat tepat dan cerdas untuk menjadi prototipe bersikap di kemudian hari.
"Membaca" sendiri dapat diartikan dengan mengucapkan secara lisan, memahami dengan akal, meyakini dengan hati (ikhlas), dan mengamalkannya dalam perbuatan.
Di abad ke-21 ini ketika peradaban mulai berkembang, sudah saatnya pemahaman kita akan Al-Qur'an juga harus berkembang. Kita harus kembali kepada konteks yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan akhlah Rasulullah.Â
Di negeri kita ini banyak sekali contoh yang menunjukkan hilangnya konteks namun mengedepankan teks. Ayat-ayat suci diperlakukan sebagai mantra -tanpa faham isi dari ayat-, wirid/do'a yang begitu cepat pembacaannya tanpa menyelami makna dari do'anya, nama Allah yang menjadi yel-yel untuk kepentingan pribadi -takbir yang juga tanpa memahami makna kebesaranNya.
Dan yang terparah adalah tidak sedikit kaum yang mengaku muslim yang rajin shalat (minimal) 17 raka'at sehari, namun tidak hafal arti dari 7 ayat pembukaan Al-Qur'an -tahu artinya saja tidak, apalagi memahami ayatnya. Padahal minimal kita 17 kali sehari membacanya dan bertahun - tahun membacanya. Dapat dimaklumi apabila kita merupakan anak kecil berumur 6 tahun yang hanya menghafal surat Al-Fatihah tanpa mengerti artinya, namun kita yang sudah akhil baligh sudah seharusnya lebih dewasa dalam "membaca" Al-Fatihah (dan seluruh ayat suci Nya).
15 abad yang lalu, Islam masih berupa embrio, ayat-ayatNya masih mentah (butuh penjelasan lebih lanjut), disampaikan oleh manusia terpilih yang sangat dipercaya -bahkan oleh musuhnya, sehingga pada saat itu, kalimat kedua dari syahadat sudah cukup menjadi dasar mereka untuk meyakini agama ini.
Di era sekarang, begitu banyak yang merasa cukup dengan membaca Al-Qur'an. Merasa cukup dengan hafalan -- hafalan. Namun, zaman sudah berkembang, banyak pemahaman-pemahaman baru yang membutuhkan momen kembalinya ruh "membaca" sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah pertama kali. Dengan tidak mendahulukan teks daripada konteks, bayangkan wirid akan menjadi hikmad, yaitu ketika membaca takbir, hati kita akan bergetar karena mengingat betapa Maha Besarnya Rabb kita, sehingga tidak akan kita merasa besar di depan sesama makhlukNya, apalagi di depanNya. Bayangkan juga ketika kita berdoa dengan memahami arti dari doa tersebut, maka hati kita akan benar -- benar terfokus dengan keinginan/do'a kita.