Mohon tunggu...
Munib Abduh
Munib Abduh Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Pemerhati media, Jurnalis Pejalan Kaki & Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Matinya Makna

25 September 2017   08:36 Diperbarui: 25 September 2017   09:08 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera tidak bermakna bila berkibar dijasad yang ruhnya tidak ada.

Bila karya seni hilang dimensi auranya dan dakwah hilang dimemsi ruhnya, maka pada saat ini, apa  yang dilontarkan oleh Potter seorang ilustrator kebangsaan Inggris -not only jung food but jung information (tidak hanya makanan sampah tapi informasi sampah)- menjadi keterdesakan yang wajib adanya.

Apalagi di era cyber seperti dekade sekarang dimana derasnya informasi, lahirnya bermacam style, dan munculnya produk-produk anyar bagai jamur dimusim penghujan yang tidak bisa dibendung. Segalanya serba cepat, hingga nyaris tidk ada waktu dan ruang untuk sejenak ber-khalwat dengan penciptaNya serta men-tafakkuri kreasiNya.

Akibatnya, kulit nampak lebih menawan dari pada isi, kadangkalan lebih diminati dari pada kedalaman, luar lebih digandrungi dari pada dalam, begitu seterusnya. Maka kalau fenomina macam ini tidak diimbangi dengan kejelian pola pikir dan kejernihan hati tidak bisa disangkal -pasti terjadi- seluruh obyek akan kehilangan esensi serta maknanya.

Selanjutnya, user tidak mengerti maksud yang digunakan, jamaat gereja tidak mengerti esensi seruan Bapaknya, jamaah haji lupa akan makna hajinya  hingga hanya branding, life style yang diburu, dicita-citakan juga diagung-agungkan. Puncaknya tanpa sadar -atau pura-pura tidak sadar- mereka terperosok pada simulacra (baca: realitas semu). Betapa naifnya, bila esensi dan makna bukan lagi dianggap sebagai nilai yang harus dipertahankan sekaligus ironi sekali kalau esensi tidak digubris.

Alih-alih westernisasi dihindari justru menjadi sesuatu yang dituankan. Padahal nyatanya, budaya tersebut telah menggeser kesegaran menjadi kelayuan, keadaban menjadi kebiadaban, dan menciptakan sekutu yang berkubu-kubu. Imitatif yang tidak henti-hentinya dilakukan juga telah menjaring manusia dekade ini kedalam sebuah panggung drama yang berkelas-kelas.

Tidak sekupu, lo-gue beda menjadi untaian yang mudah dilontarkan lalu diimani oleh beberapa orang tanpa memperhatikan barometer dan kualitas pengabdian kepada sang Gusti. Sebagian lagi merasa setara dengan aktris kelas atas bila merek barang -meski harus banting tulang, peras keringat untuk mendapatkan barang bermerek tersebut- yang dikenakan sama dengan idolanya walaupun harus menukar 'kedalaman' dengan 'kedangkalan'.

Sedang bagi manusia yang menggunakan kejernihan pola pikirnya -sebagaimana Potter yang diperkuat oleh Yasraf Amir Piliang dalam buku Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinys Makna-  budaya macam diatas (baca: meninggalkan esensi dan makna obyek) tak ubahnya bagai makanan sampah, jangankan melahapnya, mencium baunya saja sudah muak. Karena lantaran ini, kontemplasi menjadi langkah dan menebar solusi dirimba hutan yang dihuni oleh angkara ego dan libido.

Penulis, tuan rumah di https://gubugkaryaku.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun