Mohon tunggu...
Muh Zein
Muh Zein Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kematian Terhormat

24 Juli 2017   15:41 Diperbarui: 24 Juli 2017   15:53 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebaik-baik nasihat adalah kematian

Saya melihat kematian dengan tubuh berdarah. Penuh darah dan jijik bagi sebagian orang. Tapi saya tersenyum. Karena darah inilah yang menjadi saksi di hadapan tuhan. Bahwa saya mati dengan terhormat.

Lalu orang-orang itu membawa raga saya ke sebuah kamar pemandian. Setelah lebih dulu dicongkeli batang tubuh ini. Otopsi. Dan meski disayat seribu gores. Ditusuk sekian dalam. Tak ada perasaan perih.

Saya tetap tersenyum. Karena semakin banyak lubang di badan. Semakin banyak saksi yang akan berbicara pada tuhan. "Kami bersaksi bahwa dia mati dengan luka yang membanggakan,"

Sudah tak ada medan laga. Tapi bukankah kita masih bisa mati dengan berdarah? Dengan peluh. Dengan sikap ksatria. Bukan mati di ranjang bertilam empuk. Didampingi anak istri yang menangis atau membaca ayat-ayat tuhan. Ah, betapa itu cara mati orang sakit. Cara mati orang lemah.

Kalau selama ini kau ingin hidup kuat dan sehat, kenapa pula kau membayangkan mati tergeletak di tempat tidur dengan kondisi berpenyakitan? Atau kau tidak pernah membayangkan ingin mati seperti apa? Betapa aneh!

Kau mungkin sering membayangkan akan menghabiskan masa tua dengan anak dan cucu di rumah asri dekat sawah. Atau bercita-cita menjadi orang kaya dan terkenal di seantero negeri. Berkeinginan menjadi artis atau pemikir nomor wahid. Hidup berbahagia dengan banyak uang. Tapi ternyata kau tidak pernah sekalipun membayangkan ingin mati seperti apa? Hai, bukankah kematian adalah lebih pasti dari semua angan muluk-mulukmu itu? Sekali lagi, betapa aneh!

Keluarga yang saya cintai tetap meneteskan air mata. Tapi tidak meratap atau meraung. Sebab, sudah sejak lama saya katakan: saya akan mati muda dengan tubuh penuh darah. Tak hanya sudah sejak lama. Saya juga sudah mengatakan itu berkali-kali, sesering matahari terbit.

Sehingga saat saya mati, mereka tidak terkejut. Mereka merasa kematian adalah dongeng yang tertunda kejadiannya. Kemudian menjadi realitas yang sudah disangka-sangka sebelumnya.

bukankah kematian lebih pasti dari hari esok?

Mungkin burung-burung di langit ikut mendoakan arwah saya yang penuh darah. Tidak, bukan penuh darah. Sudah tidak ada darah di alam baqa tempat arwah bersemayam. Darah hanya ada di dunia fana yang kemunculannya disisipi oleh berbagai interpretasi tak adil. Darah adalah sesuatu yang menjijikkan. Darah adalah penyakit. Darah adalah zat yang mesti dibuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun