Mohon tunggu...
MS
MS Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, minimal bagi diri sendiri

Great power comes great responsibility

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Sakit Berlanjut Perlukah Hubungi Dokter?

26 April 2016   08:49 Diperbarui: 26 April 2016   09:17 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertanyaan itu seringkali muncul akhir-akhir ini jika saya sakit. Kenapa bisa begitu? Bagi sebagian besar orang, dokter, puskesmas, klinik, atau pun rumah sakit menjadi rujukan utama saat kondisi badan mengalami penurunan dari biasanya. Sebagai seorang yang berpendidikan hal itu tentu sangat logis dan ilmiah. Namun entah kenapa ada rasa ‘ragu’ dalam diri saya untuk mempercayai dokter sepenuhnya.

Boleh dibilang sejak kecil hingga usia 30-an ini saya sangat jarang ke dokter. Momen saat saya sampai harus mendatangi dokter atau yang berhubungan dengan dokter benar-benar semua saya ingat: (1) saat kecil waktu saya tidak sengaja meminum minyak tanah yang ditaruh nenek saya dalam gelas, (2) saat kuku jari tangan saya kena kawat dan infeksi sampai bengkak parah, (3) saat memenuhi prosedur medical chek up untuk syarat tertentu (4) saat melahirkan anak pertama, (5) saat saya sakit sepulang dari diklat. Nah itu dia...pengalaman saya.  Awalnya saya tak ada masalah apapun dengan dokter, tapi pengalaman yang terakhir saya ke dokter membuat saya trauma.

Mungkin saya lebih suka yang alami-alami. Diklat kurang lebih 1 minggu di hotel bintang lima bukanlah sebuah kemewahan dan kebanggaan untuk saya, justru  itu sebuah penderitaan yang harus saya tahan. Sedingin apapun cuaca di pegunungan tidak pernah membuat saya sakit, tapi sekali masuk ruangan ber-AC yang terlalu dingin (menurut saya padahal tidak untuk sebagian yang lain) maka hidung saya langsung mampet dan kepala lama-lama cenat-cenut. Meski demikian, saya paham dan harus segera beradaptasi. 

Mungkin karena belum terbiasa akhirnya sepulang diklat tersebut saya langsung drop. Satu minggu saya tunggu-tunggu tidak ada perubahan dan akhirnya saya memeriksakan diri ke dokter spesialis. Sayang sekali, dokter yang saya datangi tidak seperti dokter-dokter yang saya baca di buku atau majalah. Hampir sebagian besar dokter di daerah saya ini terlalu komersil. Susah sekali berkonsultasi dengan mereka. Cara mendiagnosis dan memberi obat pun terkesan sepihak. Sudah saya katakan bahwa saya sangat jarang minum obat sejak kecil, kalau minum obat jantung saya berdebar kencang dan jadi gemetar jadi misal pun harus tetap minum obat saya minta dosis yang paling bersahabat. Tapi kata dokter tersebut tidak ada hubungan antara dosis dengan jantung berdebar. Akhirnya saya percaya saja dan minum obat sesuai petunjuk. 

Seperti yang saya khawatirkan, tepat setelah minum obat saya benar-benar seperti orang linglung, jantung berdebar, gelisah luar biasa. Efek ini bisa sampai 3 jam baru mulai hilang. Rasanya tidak ingin saya minum obat itu lagi, tapi karena yang saya minum ada antibiotik yang ‘katanya’ harus habis sampai pengobatan selesai kalau tidak ingin bakterinya tambah kuat sehingga saya teruskan minum hingga 1 hari (3x). 

Bukannya tambah sehat malah saya semakin sakit dan muncul bentol-bentol merah di kulit. Karena sudah tidak kuat minum obat itu lagi dan kondisi badan semakin lemah, saya putuskan datang ke puskesmas terdekat untuk rawat inap. Saya sampaikan riwayat sakit saya kepada petugas. Lagi-lagi entah mengapa sebagian besar baik petugas maupun dokter kok ya susah sekali hanya sekedar mendengarkan pasien. Tapi karena saya memaksa akhirnya ada satu dokter baik hati yang berkenan menangani keluhan saya. 

Segera saya diinfus dan Beliau minta agar saya menghentikan konsumsi obat yang ada, setelah itu darah saya diambil sampel untuk dicek di lab. Sehari setelah itu hasilnya keluar dan ternyata ‘hati’ saya keracunan.

 Dokter bilang bahwa saya alergi dengan jenis antibiotik yang saya minum (cipro). Tiga hari saja saya dirawat di puskesmas hanya diinfus tanpa obat dan kondisi saya telah pulih seperti sedia kala.

Sejak saat itu saya selalu ‘ragu’ untuk memilih dokter sebagai rujukan. Memang pengalaman tersebut bukanlah acuan untuk menyamaratakan kesimpulan. Hanya saja dari sini saya berpendapat bahwa:

  • Yang lebih tahu tentang tubuh kita adalah diri kita sendiri. Ada pola dan terapi tertentu yang sudah kita pahami cocok saat kita sakit, maka tidak perlu kita latah mengikuti kebanyakan cara orang lain. Jika memperbanyak istirahat dan meningkatkan nutrisi cukup untuk memulihkan kesehatan kita maka lebih baik itu kita lakukan.

  • Dokter atau pun rumah sakit saya yakin memiliki aturan dan kode etik masing-masing. Hanya saja namanya juga manusia tentu sering ada ‘unsur lain’ yang menyebabkan ia khilaf. Jika memang kita akan menaruh kepercayaan kepada mereka maka pilihlah dokter atau pun rumah sakit yang bisa memberikan pelayanan terbaik untuk kita.

  • Tidak selamanya yang mahal itu berkualitas dan tidak selamanya yang mewah itu membuat nyaman. Kita memiliki alur masing-masing yang membawa kita pada suasana nyaman dan baik. Yakinlah bahwa kualitas itu ditentukan oleh integritas dan profesionalitas yang tinggi.

  • Berprofesi sebagai apapun berusahalah untuk memberikan yang terbaik. Jangan cemari profesi karena kelalaian kita.

  • Adakalanya dokter tetap menjadi rujukan pertama dan utama. Penting bagi dokter untuk mau mendengar keluhan pasien sekecil apapun karena banyak pasien yang memiliki ‘kekhususan’ tertentu yang harus diperhatikan. Saat ini juga sudah banyak obat-obatan herbal yang bisa menjadi alternatif dari obat kimia. Bijaklah dalam memilih dan menentukan mana yang paling tepat untuk kita.

Saya yakin saat seseorang sakit, dia akan berusaha untuk sembuh tanpa mempermasalahkan biaya. Meskipun tulisan saya demikian, sungguh saya sangat menghormati dan salut dengan profesi ‘dokter’. Pilihan ada pada kita apakah akan memilih dokter sebagai rujukan pertama ataukah terakhir...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun