Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Batak Tidak Makan Babi dan Anjing Tiap Hari

21 Mei 2020   17:17 Diperbarui: 21 Mei 2020   18:24 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sebuah pesta adat orang Batak Toba (Foto: tobatabo.com)

Baru-baru ini viral video seorang ustad mualaf, Kalifah Sinaga, yang bilang orang Kristen Batak itu mukanya seram dan jelek karena makan daging babi dan anjing.

Saya tidak hendak menanggapi ujaran ustad berdarah Batak itu.  Menurut saya dia tidak paham tentang Kristen dan Batak, sehingga keluarlah ujaran dan ajaran sesat seperti itu. Baiklah jika dia belajar lebih tekun lagi.

Ujaran "Batak makan babi dan anjing" sejatinya adalah stereotip pejoratif. Bernada merendahkan orang Batak. Seolah-olah bagi orang Batak, penganut Kristen tentu saja, babi dan anjing adalah makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari.

Saya akan coba mengungkap kesesatan stereotip itu dengan cara menunjukkan fakta yang sebenarnya. Dengan begitu, salah persepsi tentang Batak bisa dihindari.

***
Orang Batak itu sejatinya bukan masyarakat pemakan daging. Jika dihitung per tahun, porsi daging dalam menu hariannya kecil. Diperkirakan di bawah rata-rata nasional 2.5 kg/tahun.

Berdasar fakta sejarah sosial-budayanya, setidaknya sejsktahun 1300-an  orang Batak itu aslinya komunitas sawah lembah.  Jadi jelas mereka pemakan nasi.  Lauknya terutama ikan tebat, sungai, dan danau. Ditambah sayur tumbuhan liar, seperti pakis-pakisan dan ragam tumbuhan terna.  

Jika mau makan daging, maka para lelaki akan pergi berburu rusa ke hutan. Atau menjaring burung di sawah atau rawa.  Jika ada pesta adat besar, lazim disembelih kuda atau kerbau untuk lauk makan bersama. Mereka tidak makan babi karena domestikasi hewan ini baru dimulai pada akhir 1800-an.

Sampai sekarang, menu sehari-hari orang Batak, terutama di pedesaan, masih seperti itu. Nasi, ikan, dan sayuran. Bedanya, sekarang mereka tidak selalu makan ikan segar, tapi ikan asin yang dibeli sekali seminggu di onan, pekan.  

Sayur juga lebih beragam sekarang. Tidak melulu daun singkong tumbuk campur jipang, labu siam. Kini orang Batak makan sayur kubis-kubisan, terong-terongan, timun-timunan, sampai kentang-kentangan.
Lalu kapan orang Batak, atau keluarga-keluarga Batak, makan daging?

Nah, perlu dicatat, keluarga Batak tidak makan daging sembarang waktu tanpa alasan yang bisa diterima secara adat.

Tidak lazim, misalnya, satu keluarga Batak tiba-tiba menyembelih anak babinya untuk lauk makan malam. Tetangganya pasti bertanya ada kegiatan adat apa, sehingga harus menyembelih anak babi. Kalau hanya untuk lauk makan malam, tetangganya pasti bilang dalam hati, "Dasar sinting," atau, "Sombong!"

Keluarga Batak itu makan daging, entah itu ayam, babi, atau ruminansia (kuda, kerbau, lembu) jika ada ulaon, kegiatan, yang bermuatan adat.  Sekurangnya  terdapat empat momen upacara semacam itu.

Pertama, menjamu tamu keluarga dari salah satu unsur Dalihan Natolu  yaitu hula-hula, dongan tubu, dan boru.   Jika hula-hula atau dongan tubu datang bertamu, maka lazim dijamu dengan indahan na las dohot lompan juhut na tabo, nasi hangat dan lauk daging yang enak. Jika boru yang bertamu, maka dijamu dengan lauk ikan mas arsik.  

Kedua, makan bersama keluarga luas untuk merayakan hari besar, khususnya Hari Natal dan Tahun Baru.  Keluarga-keluarga Batak lazim berkumpul di rumah orangtua pada saat hari besar tersebut.  Pada kesempatan itu lazim dipotong seekor anak babi, atau dibeli kiloan dari pasar, atau diperoleh melalui pranata binda (urunan sekampung beli babi/kerbau).

Ketiga, merayakan atau menjalankan upacara ritus peralihan anggota keluarga.  Mulai dari kelahiran, sidi (pengakuan iman),  merantau (sekolah atau kerja), perkawinan, sampai kematian. Pada tiap momen peralihan kehidupan itu, keluarga akan menjalan acara adat, yang mempersyaratkan jamuan indahan na las dohot lompan juhut na tabo.  Karena pada setiap upacara adat tersebut, selalu hadir kerabat dari ketiga unsur Dalihan Natolu.

Upacara adat peralihan yang paling kompleks adalah perkawinan dan kematian.  Upacara ini melibatkan seluruh kerabat luas, orang sekampung, dan umat segereja. Jamuan pada upacara-upacara ini lazim mengorbankan 3-5 ekor babi besar atau 1 ekor kerbau.  

Keempat, pesta adat penghormatan pada leluhur sekaligus penguatan ikatan kekeluargaan.  Pesta ini bisa hanya mencakup kelompok kekerabatan saompu (satu tetua). Misalnya pesta peresmian tambak, kuburan batu tempat tulang-belulang para tetua keluarga. Atau pesta pemindahan tulang-belulang tetua ke tambak.

Bisa pula pestanya lebih besar dari itu, mencakup kelompok semarga. Misalnya  pesta peresmian tugu marga Sinaga (Toga Sinaga) sedunia di Urat, Samosir.

Pesta yang paling besar mencakup kelompok marga-marga satu leluhur. Misalnya pesta peresmian tugu Siraja Oloan di Bakkara.  Pesta ini melibatkan semua marga turunan Siraja Oloan yaitu Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, dan Simanullang.  

Dalam pesta adat besar seperti itu, lazim disembelih sejumlah hewan babi dan sedikitnya seekor kerbau atau kuda. Itu adalah momen makan daging dalam porsi cukup besar  bagi orang Batak.

Pesta adat itu juga tidak sekadar makan bersama. Dia adalah pemanggungan pengakuan atas status dan relasi sosial berdasar adat Dalihan Natolu. Hal itu dilakukan melalui pembagian jambar, bagian tubuh hewan santapan yang menunjuk pada status sosial adat tertentu.  

Begini pola umum pembagian jambar, dalam hal ini jambar juhut (lauk daging) dalam masyarakat Batak Toba. Misalkan daging babi, maka ulu (kepala) menjadi hak raja adat, rungkung (leher) untuk boru, soit (paha dan kaki) untuk dongan tubu, somba-somba (punggung dan rusuk) untuk hulahula (termasuk teman sekampung, sahabat karib, dan pemerintah), dan ihur (bagian belakang) untuk hasuhuton (tuan rumah).

Jadi, orang Batak tidak makan daging tanpa alasan yang dapat diterima menurut norma adat.  Makan daging, dalam hal ini babi yang kini merupakan "hewan adat", juga ada aturan adatnya. Tidak dimakan keluarga sendiri, tapi berbagi sesuai hak masing-masing dengan anggota kerabat dalam struktur Dalihan Natolu.

Stereotip "Batak makan babi (dan anjing)" dengan demikian, selain pejoratif, mengandung sesat paham tentang masyarakat Batak. Khususnya Batak Toba penganut Kristen.

***
Tapi mungkin masih ada yang menyanggah, "Bukankan orang Batak gemar marmitu, minum tuak dan makan daging babi dan anjing di lapo?"  

Pertanyaannya, apakah semua orang Batak marmitu?  Jawabnya, "Tidak." Bisa dipastikan 100 persen perempuan Batak tidak marmitu. Lalu paling sedikit 75 persen lelaki Batak juga bukan parmitu.

Jadi, paling banyak 25 persen lelaki Batak yang gemar marmitu. Ini adalah kelompok anak muda sampai dewasa usia pertengahan di pedesaan dan perkotaan.

Bagi kelompok itu, marmitu adalah pergaulan sosial.  Anak-anak muda marmitu sambil bernyanyi meluapkan suka-duka hidupnya. Termasuk kisah-kisah kasih tak sampainya.

Sementara itu orang-orang dewasa pertengahan marmitu sambil membincangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya dan politik tingkat lokal sampai global.  Ada pertukaran pengetahuan di situ, tapi juga banyak omong besar yang menghibur.

Sambil minum tuak, mereka biasanya menikmati tambul (teman minuman), berupa tanggo-tanggo, potongan daging babi atau anjing yang dimasak dengan darahnya.  Tambul seperti itu adalah "alas lambung", agar tidak sakit direndam tuak beralkohol.

Jadi, kelompok kecil Batak parmitu itu tidaklah cukup sebagai dasar membangun stereotip pejoratif "Orang Batak makan babi dan anjing". Stereotip semacam itu adalah kesimpulan menyesatkan yang ditarik secara pars pro toto.

Pada akhirnya, bisa dikatakan orang Batak Kristen tidak mengharamkan makan daging babi dan anjing. Tapi itu tidak berarti  daging babi dan anjing merupakan makanan sehari-hari orang Batak. Kecuali untuk kelompok kecil parmitu, bagi orang Batak makan daging babi lazimnya harus diletakkan dalam kerangka praktek adat Dalihan Natolu.

Demikian catatan saya, Felix Tani, tidak mengharamkan daging babi dan anjing tapi bukan parmitu.(*)

*)Dalihan Natolu = Tiga Batu Tungku, Struktur Masyarakat Adat Batak, terditi dari hulahula (pemberi isteri), dongan tubu  (kerabat segaris darah), dan boru (penerima isteri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun