Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengkritik "Jalan Lain" Anies Baswedan di Tanah Abang

1 Januari 2018   06:19 Diperbarui: 1 Januari 2018   11:41 4035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di Jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat| Sumber: Maulana Mahardhika/kompas.com

Langkah Gubernur Jakarta Anies Baswedan menurunkan pedagang kaki lima (PKL) dari troroar ke tengah jalan, dengan cara menutup Jalan Jatibaru di Tanah Abang, betul-betul "kejutan out of the box" di penghujung 2017.

"Out of the box" karena langkah menggeser lokasi dagang PKL dari trotoar (jalur pejalan kaki) ke tengah jalan  (jalur kendaraan) memang di luar nalar rata-rata orang. "Kejutan"  karena, di luar ekspektasi,  langkah itu  tak lebih baik dari ulah ormas di Jakarta yang gemar menutup ruas jalan untuk gelaran bazaar rakyat Sabtu-Minggu.

Langkah itu menuai kritik sinikal pada Anies. Katanya, betul sekali, menutup jalan adalah cara terbaik mengatasi kemacetan. Tapi kritik semacam ini salah arah karena masalah Tanah Abang bukan kemacetan tapi banjir PKL yang berdampak kemacetan. Jadi,  langkah Anies sudah benar fokusnya yaitu penataan PKL.

Yang tak tepat  adalah caranya yaitu menggeser PKL dari "habitat"-nya di trotoar ke "habitat buatan" di jalan raya. Dengan cara ini Anies di satu sisi tidak memberdayakan PKL. Di sisi lain memperparah konflik kepentingan antara PKL, pejalan kaki,  kendaraan bermotor, dan warga setempat. Bisa dipastikan, langkah Anies itu tak didasarkan pada AMDAL.

Langkah Anies itu sebenarnya  telah menyentuh salah satu isu penting pembangunan di negara berkembang yaitu penanganan sektor informal atau ekonomi bazaar. Ini  sangat menarik, karena dengan jargon "Jakarta Untuk Semua", Anies rupanya hendak mereplikasi pendekatan "Jalan Lain" (The Other Path) dari Hernando de Soto, ekonom dan praktisi pembangunan ekonomi kerakyatan Peru.

Sayangnya, "Jalan Lain" yang ditempuh Anies di Jatibaru, Tanah Abang itu  bertolak belakang dengan "Jalan Lain" de Soto.  "Jalan Lain" de Soto adalah penguatan sektor ekonomi informal Peru, tulang punggung ekonomi negara itu, melalui langkah legalisasi berupa pemberian hak kepemilikan usaha (property rights), sehingga  akses ke perbankan dan peluang pengembangan usaha terbuka.

PKL Turun ke Jalan di Tanah Abang ( Foto: tempo.co)
PKL Turun ke Jalan di Tanah Abang ( Foto: tempo.co)
Sebaliknya "Jalan Lain" Anies di Jatibaru justru  mengukuhkan ketakberdayaan pelaku ekonomi informal PKL, sebagaimana terindikasi dari lima hal berikut.

Pertama, lemahnya dasar hukum pemindahan PKL dari "trotoar" ke "tengah jalan" (penilaian Ombudsman).  Penggunaan badan jalan untuk berjualan dinilai melanggar undang-undang.

Kedua, perpindahan PKL dari "trotoar" ke "tengah jalan" itu tak berimplikasi mobilitas sosial vertikal dari "informal" (illegal) jadi "formal" (legal), atau dari "mikro" menjadi "kecil".

Ketiga, pemindahan lokasi dagang PKL ke "tengah jalan" itu bersifat temporer, terlihat dari tempat berupa tenda darurat dan rencana Pemda untuk mengevaluasinya.

Keempat, sebagian besar PKL yang menempati tenda ternyata adalah pedagang yang memiliki kios di dalam pasar Tanah Abang, sehingga PKL asli kembali berdagang di trotoar dan JPO.

Kelima, yang terpenting, para PKL itu tetap tidak memiliki hak milik usaha, sehingga posisinya tetap lemah, tidak punya akses pada perbankan dan peluang pengembangan usaha. Penggantian istilah PKL menjadi PKM (Pengusaha Kecil Mandiri), selain salah kaprah, sama sekali tidak berimplikasi pemandirian.

Langkah penanganan PKL oleh Ahok dulu sebenarnya lebih mendekati "jalan lain" de Soto. Ambil contoh lokasi PKL di  Blok S (sekeliling lapangan), Blok M (depan RSIA Asih), dan Blok B (depan kuburan) Kebayoran Baru yang kini bersih, rapi, dan tertib.

Didukung kontribusi dana perusahaan swasta, Ahok  telah merevitalisasi PKL di sana. Tempat jualan dibangun dan ditata-ulang, tiap PKL wajib buka rekening di Bank DKI, dan wajib bayar iuran Rp 3,000 per kios per hari. Artinya, status PKL ditingkatkan menjadi semiformal, dengan kewajiban iuran ke kas Pemda sebagai bentuk pengakuan pemerintah.

Tentu tak perlu dipertanyakan mengapa Anies tidak melanjutkan atau mereplikasi program Ahok. Sejak masa kampanye sampai hari ini Anies telah memposisikan diri sebagai anti-tesis Ahok. Bukan saja dia menolak cara Ahok, tapi bahkan rajin mencari dan mengungkap "kelemahan" Ahok.

Anies hendak mengesankan bahwa di era pemerintahannya, pembangunan "Jakarta Baru" dimulai dari "nol". Tak hendak mengakui bahwa dia sekarang  bisa tegak karena berdiri di atas keberhasilan Ahok.

Tapi, kendati nyaris mustahil, tak ada salahnya berharap Anies bisa lebih rendah hati dan obyektif tahun 2018 ini. Cobalah Pak Anies belajar "jalan lain" dari Ahok untuk penguatan sektor ekonomi informal atau bazaar Jakarta.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun