Kelima, yang terpenting, para PKL itu tetap tidak memiliki hak milik usaha, sehingga posisinya tetap lemah, tidak punya akses pada perbankan dan peluang pengembangan usaha. Penggantian istilah PKL menjadi PKM (Pengusaha Kecil Mandiri), selain salah kaprah, sama sekali tidak berimplikasi pemandirian.
Langkah penanganan PKL oleh Ahok dulu sebenarnya lebih mendekati "jalan lain" de Soto. Ambil contoh lokasi PKL di  Blok S (sekeliling lapangan), Blok M (depan RSIA Asih), dan Blok B (depan kuburan) Kebayoran Baru yang kini bersih, rapi, dan tertib.
Didukung kontribusi dana perusahaan swasta, Ahok  telah merevitalisasi PKL di sana. Tempat jualan dibangun dan ditata-ulang, tiap PKL wajib buka rekening di Bank DKI, dan wajib bayar iuran Rp 3,000 per kios per hari. Artinya, status PKL ditingkatkan menjadi semiformal, dengan kewajiban iuran ke kas Pemda sebagai bentuk pengakuan pemerintah.
Tentu tak perlu dipertanyakan mengapa Anies tidak melanjutkan atau mereplikasi program Ahok. Sejak masa kampanye sampai hari ini Anies telah memposisikan diri sebagai anti-tesis Ahok. Bukan saja dia menolak cara Ahok, tapi bahkan rajin mencari dan mengungkap "kelemahan" Ahok.
Anies hendak mengesankan bahwa di era pemerintahannya, pembangunan "Jakarta Baru" dimulai dari "nol". Tak hendak mengakui bahwa dia sekarang  bisa tegak karena berdiri di atas keberhasilan Ahok.
Tapi, kendati nyaris mustahil, tak ada salahnya berharap Anies bisa lebih rendah hati dan obyektif tahun 2018 ini. Cobalah Pak Anies belajar "jalan lain" dari Ahok untuk penguatan sektor ekonomi informal atau bazaar Jakarta.***