Mohon tunggu...
Muhammad Rizki
Muhammad Rizki Mohon Tunggu... -

Sipil ITB dan MSc Sustainable Energy Futures Imperial College. Bekerja di PLN sejak tahun 2010.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menyoroti Isu Lingkungan dari Film "Sexy Killers"

18 April 2019   08:53 Diperbarui: 19 April 2019   15:13 4883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ingin ku sedikit menanggapi tentang film "Sexy Killers" yang cukup hype menjelang pemilu hari kemarin.

Kok telat komentarnya, apakah baru nonton? Engga juga sebetulnya, saya nonton sejak 2 hari yg lalu karena beberapa teman mengirimkan tautan sekaligus meminta tanggapan. Hanya karena filmnya sedikit menyasar ke pilpres, mungkin lebih objektif kalo saya posting nya setelah pemilu presiden.

Sebagai orang yang bekerja di perusahaan yang ikut andil menggunakan batu bara, saya ikut prihatin tentang apa yang dialami masyarakat terdampak di sekitar tambang batu bara dan PLTU. 

Honestly, saya pernah tinggal di lokasi dekat PLTU selama kira-kira 1 bulan dan benar, selama waktu tersebut saya berkali-kali harus ke dokter karena batuk dan radang. Kebetulan kah?

Ingin juga rasanya menyoroti berbagai pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang batu bara. Tapi saya justru hanya ingin membreak down kenapa kita masih butuh PLTU batu bara.

Pertama, penggunaan batubara ga lepas dari kebutuhan listrik kita sendiri. Mengenai kenapa batubara yang dipakai bukan gas, bbm, atau EBT jawabannya sdh ada di film nya sendiri, yaitu murah.

Itulah sebab mengapa harga listrik di Indonesia tetap murah, bahkan untuk listrik rumah tangga saja (1.300 VA keatas) harganya tidak naik sejak 2017. Hanya untuk kelas 900 VA rumah tangga mampu saja yang harganya disesuaikan meningkat dari harga subsidi menjadi harga normal di tahun 2017. Mengapa? karena subsidi hanya untuk masyarakat yang tidak mampu.

Kita tahu saat ini hampir setiap kegiatan membutuhkan energi listrik, mulai dari kegiatan rumah tangga sampai dengan industri. Sehingga listrik disebut mempunyai multiplier effect dan sebagai driver of economy. Konon, biaya listrik itu kira2 20% biaya produksi barang jadi. Biaya produksi listrik sendiri  70% nya berasal dari biaya bahan bakar. Kita bisa bayangkan jika harga listrik naik, hampir otomatis semua barang dan jasa akan ikut naik harganya. Jika listrik turun masyarakat tidak terbebani harga barang pokok yang mahal, meningkatnya investasi dan jumlah industri serta munculnya berbagai lapangan pekerjaan.

Pertanyaan kita yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan Energi Baru Terbarukan (EBT), kenapa tidak pakai EBT saja yang bersih dan gratis karena dari alam. Wait, tidak semudah itu karena kita harus melihat karakteristrik skema pembangkitan dari PLTU dibandingkan dengan pembangkit tenaga surya dan angin.

PLTU itu jenis pembangkit base load artinya pembangkit ini jadi tumpuan beban listrik minimum di satu sistem. FYI, beban listrik di 1 sistem sehari penuh itu berubah-ubah, penggunaan listrik tertinggi rata-rata ada di malam hari, namun khusus jakarta penggunaan listrik terbesar justru di siang hari.

Nah, untuk mengatasi naik turun beban dengan cepat, perlu penggunaan pembangkit yang ramp rate nya tinggi (bisa nyala dalam waktu cepat) seperti PLT Gas dan PLT Air. PLTU sendiri butuh waktu 7 jam untuk nyala. Jika PLTU disubstitusi seluruhnya dengan PLTG otomatis biaya produksi akan naik karena gas harganya 2 kali lipat batu bara, yang mana harga listrik juga akan naik, dan satu lagi, gas termasuk bahan bakar yang langka.

Saya percaya banyak yang bersedia untuk membayar listrik dengan harga tinggi kalau memang listriknya dari energi bersih. Tapi EBT seperti matahari dan angin punya karakteristik intermittency, yaitu kapasitasnya naik turun. Bisa-bisa lagi pasang AC, mencuci baju, nyetel PC di rumah listriknya mati beberapa jam karena sedang mendung atau angin tidak berhembus.

Saya malah lebih yakin teman2 akan menyesal sudah bayar listrik mahal-mahal tapi listriknya cepat mati. Belum peralatan listrik di rumah yang cepat rusak karena listrik yang on off. Pakai baterai dong? Ini cuma akan membuat harga listrik semakin mahal. Sungguh saya gak tega, karena saya pernah bersinggungan dengan orang tidak mampu yang selama Indonesia merdeka mereka baru mendapat listrik, tapi bayar tagihan listrik subsidi saja tidak mampu.

Seberapa kesal kita dengan batu bara, PLTU tetap akan dibutuhkan dan pembangkit solar PV serta angin belum mampu untuk menggantikan peran PLTU. Yang menurut saya misleading dari film ini adalah mengapa keberadaan PLTU dipermasalahkan, kenapa tidak fokus pada sustainabilitas proses penambangan batu bara yang ternyata diotaki oleh elite-elite kita sendiri

Sebagai pembanding, total jumlah ekstraksi batu bara nasional di tahun 2017 adalah 461 juta ton, dan yang digunakan untuk PLTU adalah 83 juta ton atau hanya 18% saja. Sisanya, untuk industri domestik sebesar 14 juta ton, dan selebihnya diekspor ke luar negeri. Seharusnya, yang disorot adalah kelebihan jumlah ekspor batu bara. Mengapa banyak sekali jumlah yang diekspor ketimbang yang digunakan di dalam negeri? Ya karena harga jualnya lebih tinggi.

Di sini siapa yang diuntungkan? tentunya pengusaha-pengusaha batu bara. Jangan sampai kita terbodohi dan mengorbankan kepentingan nasional dengan berusaha memblokade PLTU. Siapa yang dirugikan? lagi-lagi masyarakat.

Seandainya si pembuat film tidak malas riset, mungkin di dalam filmnya tidak akan mengambinghitamkan PLTU. Karena hampir di seluruh belahan dunia, setiap negara pun masih menggunakan PLTU. 

UK saja masih menggunakan PLTU padahal revolusi industri sudah lebih dari 200 tahun yang lalu. China, negara yang giat membangun EBT pun apalagi, kapasitas PLTU mereka secara total adalah satu Juta Megawatt, satu juta bro, kita saja masih 28 ribu.

Amerika pun masih menggunakan batu bara untuk 30% kebutuhan listriknya, berapa jumlahnya? 5 kali lipat total listrik yang dibangkitkan PLN. Mereka protes adanya PLTU, terus gimana solusinya? Dimatikan hanya membuat rakyat sengsara karena listriknya ga ada.

Jika kita harus berbicara tentang penghapusan PLTU, satu-satunya cara paling feasible mensubstitusi PLTU adalah dengan membangun PLTN. Inilah yang diterapkan oleh Perancis yang 70% listriknya berasal dari nuklir. 

Apakah Indonesia bisa mengikuti Perancis? Bisa jawabannya, tapi apakah mau? Ini yang harus diteriakkan ke telinga para elite-elite politik yang bisa jadi punya konflik kepentingan penjualan batu bara.

Percayalah, banyak hal yang ditutupi di film ini, tentang bagaimana masyarakat yang mendapat listrik murah dan bagaimana ekonomi mereka bisa maju dengan adanya listrik di tempat mereka. Inilah yang sayangnya tidak disampaikan di film.

Menutup tulisan saya, ada beberapa solusi yang bisa saya sampaikan, let's say mewakili pembuat film yaitu:

  • Perbaiki aturan penambangan dengan harapan pemerintah dan perusahaan tambang juga komit untuk melaksanakan aturan tersebut. Pemerintah yang tidak tegas hanya akan membawa banyak kemudharatan bagi rakyat
  • Optimalkan PLTU Mulut Tambang jadi tidak perlu ada transportasi batu bara via tongkang
  • Maksimalkan potensi daerah, bangun industri di sekitar tambang dan PLTU mulut tambang. Disini akan muncul lapangan kerja baru, para petani, nelayan bisa mendapat pekerjaan di PLTU maupun dari industri.
  • Bangun Solar PV rooftop di rumah kamu sendiri, a simple thing to reduce electricity generation from coal (ask me if you want one)
  • Segera bergeser ke pembangkit nuklir, bangun pembangkit nuklir tidak murah dan tidak sebentar. Untuk target generation tahun 2030, maka kita harus mulai kick off dari sekarang. Selepas itu hanya akan menjadi wacana dan wacana.
  • Perbaiki Sistem CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan pembangkit terhadap lingkungan sekitarnya. Apa yang terjadi pada masyarakat di sekitar PLTU bukan kebetulan ataupun kemalangan belaka dan perusahaan harus bertanggung jawab. Oleh sebab itu, sejak awal pemilihan lokasi PLTU sebaiknya jauh dari pemukiman warga.
  • Batu bara itu kearifan lokal yang disatu sisi bisa kita gunakan dan kita jual tapi juga di sisi lain sebaiknya tetap menjadi cadangan nasional. Reserve kita tidak sebanyak China, Amerika dan Rusia, tapi sayangnya ekspor kita terbesar di dunia. Alangkah baiknya pemerintah menahan jumlah ekspor batu bara. Kebijakan menahan harga Domestic Market Obligation (DMO) sudah sangat baik dilaksanakan, namun menabung jumlah batu bara yang digali akan berguna untuk kemandirian energi nasional di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun