Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perjalanan Lahir Batin Prolet; Stasiun Manggarai

25 April 2017   22:16 Diperbarui: 26 April 2017   12:00 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perlahan lahan Prolet meletakkan pantatnya ke bangku panjang Stasiun Manggarai dengan lega.  Hari ini sungguh melelahkan.  Pekerjaan kantor luar biasa menguras tenaga.  Hampir bungkuk rasanya punggung bolak balik mengangkat galon galon air.  Bayangkan, dari basement ke lantai 5.  Lift satu satunya sedang perbaikan, jadi dia harus naik turun tangga. Syukurlah dia tidak perlu menggunakan pikirannya juga.  Dia memang tidak pernah menggunakan pikirannya untuk bekerja.  Maklumlah dia hanya seorang office boy.  Kalau dia harus menggunakan pikiran, itu adalah saat dia harus berkelit menjawab pertanyaan si bos pantry setelah menghilang beberapa saat untuk merokok di basement.

Prolet mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk menelisik situasi di stasiun Manggarai.  Sekarang pukul 18.00.  Ini adalah puncak orang pulang kerja.  Tidak heran, stasiun Manggarai seperti pasar ikan saat nelayan baru pulang melaut.  Bertumpuk tumpuk orang menunggu Commuter Line yang sebenarnya mondar mandir setiap 10 menit sekali.  Tetap saja, kerumunan orang tidak pernah habis habis.  Biasanya, pukul 21.00 penumpang sudah jauh berkurang.  Saat itulah Prolet biasanya memutuskan untuk pulang.

Matanya terbentur pada gerak gerik mencurigakan seorang pemuda tanggung di sisi utara peron.  Pemuda itu terlihat gelisah.  Sebentar sebentar tangannya pindah dari kantong jaket ke kantong celana.  Wajahnya ada di antara bingung, takut dan resah.  Sebentar sebentar dia menengok ke keremangan di pojok stasiun yang tak terjangkau lampu.  Prolet mengikuti arah pandangan si pemuda tanggung.  Tidak ada siapa siapa di situ.  Hanya warna kegelapan yang biasa.  Hitam.

Prolet mengalihkan pandangannya.  Dia mencoba abai terhadap sikap yang aneh dan mencurigakan itu.  Siapa tahu pemuda itu sedang menunggu seseorang, atau tidak punya ongkos untuk pulang.  Atau bisa juga seorang pendatang dari kampung yang sedang kebingungan.

“Hati hati Jang, dompet maneh terlalu nongol tuh di kantong belakang.  Banyak copet di sini...”

Sebuah suara mengejutkan Prolet.  Tergagap dia meraba kantong belakangnya.  Benar, dompetnya yang ramping dan sepanjang tas pinggang memang mencuat tinggi seolah olah menantang.  Prolet tertawa dalam hati.  Dompet bekas yang dibelinya di pasar ular memang terlihat keren.  Tapi semua orang di kantornya juga tahu, isinya adalah nota cashbon dan kertas kertas jimat yang didapatnya dari Mbah Karmo yang buka praktek dukun di kampungnya.

Tak urung dia mengucapkan terimakasih kepada laki laki paruh baya yang mengingatkannya tadi.  Jarang jarang orang di kota memberikan perhatian kepada orang lain.  Apalagi kepada orang sekelas dia yang sama sekali tak punya kelas.

Suara terompet kereta membelah kerumunan di depannya.  Seperti laron laron mendatangi sinar lampu.  Berserabutan, berebutan, saling mendahului naik ke dalam gerbong yang separuhnya belum terbuka.  Prolet memperhatikan mereka dengan hati tidak terima.  Orang orang berdesakan tidak memperhatikan sama sekali sekelilingnya.  Betapa seorang ibu hamil terpaksa terdorong kesana kemari mengikuti arus manusia.  Juga seorang kakek tua bertongkat yang hampir saja jatuh terjerembab karena tak kuasa menahan desakan.  Prolet bangkit dari duduknya.  Orang tua itu perlu dibantu untuk naik kereta.

Langkah Prolet terhenti seketika.  Pemuda aneh tadi ada di antara berdesakannya manusia yang berjuang naik gerbong kereta.  Prolet memperhatikan dengan seksama.  Tangan pemuda itu dengan gemetaran menyusup di tas seorang wanita, lalu terjadilah proses perpindahan kepemilikan yang tidak semestinya terjadi.  Prolet terbelalak, copet! Ternyata pemuda kikuk tadi seorang copet!

“copeeeettt!!...copeeeetttt!!”

Suara melengking tinggi wanita pemilik dompet sambil telunjuknya mengarah kepada si pemuda kikuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun