Menuang secawan kegelisahan. Di malam ketika hujan bahkan enggan mengajak berdansa. Aku larut dalam perbincangan di sebuah kota yang kehabisan percakapan.
Sunyi menggiring dirinya sendiri ke dalam sebuah ritual kecemasan. Di malam yang begitu sempurna untuk menyusun rencana bagaimana cara terbaik menuju surga. Di sebuah kota yang bahkan menamakan dirinya sebagai pinggiran neraka.
Langit lebih memilih berdiam diri menjadi filosofi. Angin ikut berhenti. Menciptakan ruang-ruang kekhawatiran tentang cuaca yang tak lagi sanggup mengendalikan diri. Saat orang-orang menenggak habis setiap tetes kemarau. Menjadi musim pancaroba yang bersuara parau.
Aku mencari di mana letak bintang pada susunan tata surya yang nampak kalang kabut. Di sebuah malam yang hanyut ditelan kabut. Aku ingin memotretnya sebagai sebuah cara mengingat cahaya. Setelah lebih dari separuh kegelapan menghuni emplasemen kepala.
Jika saja malam ini ada satu mimpi yang memperlihatkan dirinya di langit-langit kamar yang semakin pudar oleh berbagai keinginan samar, mungkin aku akan menemaninya tanpa ragu. Sembari menghitung detak pendulum yang bergerak satu-satu. Pada sebuah jam dinding yang tergeletak di atas meja. Setelah begitu banyak kehilangan angka yang terbuang sia-sia.
Pancaroba. Adalah sebuah ketika. Peralihan tidur ke dalam terjaga yang menyalakan alarm tanda bahaya. Bahwa bisa saja hari terus berganti. Namun hati, akan tetap terkurung dalam peti mati. Saat dinihari hanya menjadi sepotong kosakata yang masih melakukan pencarian arti.
Jakarta, 10 Desember 2019